Lihat saja, aku bersumpah, aku akan membuatnya memohon untuk menikah dengan ku kurang dari 100 hari ini.
Luna mengucapkan sumpah di depan sahabatnya, Vera yang hanya menganga menatap ke arahnya, merasa sumpahnya itu konyol dan takkan pernah terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RatihShinbe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
04.00
Seperti biasanya, Luna bangun tiba-tiba.
Rambut yang berantakan dan wajah yang sembabnya karena bangun tidur, membuka scene ini.
"Gue bahkan ga pernah inget semalem mimpi apa" gumamnya.
Masih duduk mengumpulkan nyawanya yang masih separuh. Luna berusaha meraba-raba mencari ponselnya.
Membuka matanya lebar-lebar, dan hanya pesan dari Pak Abel yang muncul, satu-satunya.
-Jangan lupa, hari ini kau harus merapikan perpusatakaan di rumah ku-
Luna merengut, ini hari minggu tapi dia tetap harus ke rumah bos nya untuk pekerjaan tambahan.
Kalau bukan karena putri kembarnya yang ingin masuk sekolah menengah pertama terkenal, dia tak mungkin rela melakukan semua ini.
Luna merengek, menendang-nendang selimutnya.
"Arghhhh! masih ngantuk..... ! " teriaknya.
Malas menghadapi hari itu, tapi dia harus bangun.
#
Dorr dorr dorr.
"Raa.... cepetan! " teriak Luna pada Vera sahabatnya yang sedang di kamar mandi.
"Bentar, gue baru masuk! " ucap Vera yang terdengar malas.
"Lu, boker sambil tidur ya! " seru Luna.
"Hmmm! " jawab Vera singkat.
"Cepetan, gue mesti pergi! " Luna menggedor lagi.
"Iya... iya... " Vera selesai dan membuka pintunya.
"Mau kemana sih, ini kan minggu! " ucap Vera.
"Ke rumah Pak Abel! " Luna masuk tapi kemudian keluar lagi.
"Bau Veraaa...! " Luna berteriak.
Vera menggaruk pantatnya sembari berjalan menuju kamarnya lagi, dia tak peduli sahabatnya mengeluh, dia mau melanjutkan tidurnya. Tak boleh ada yang mengganggunya termasuk bosnya.
Luna mengerutkan dahi, terpaksa dia harus menunggu sampai bau di kamar mandi hilang.
#
Luna berlari menuju halte bus, bus pertama yang menuju pemberhentian selanjutnya dan harus naik satu bus lagi yang menuju tepat di depan apartemen bosnya.
Duduk manis menatap ke arah jalan, sesekali Luna membetulkan kacamatanya yang sudah mulai longgar nose padsnya.
Berpikir tentang 5 tahun terakhir yang dia abdikan menjadi sekretaris sekaligus asisten pribadi Pak Abel, bosnya.
Pertama kali Pak Abel menjadikannya asisten pribadi yang mengerjakan semua pekerjaan rumah dan kebutuhannya di apartemen barunya.
Pak Abel memilihnya karena rasa ibanya terhadap Luna yang punya dua putri kembar dan harus berjuang sendiri.
Perjuangan Luna menjadi karyawan restoran yang selalu dikunjungi Abel, membuatnya merasa sayang akan kemampuan Luna yang gesit dan terampil.
Abel memintanya memikirkan tawaran kerja bersamanya di rumah saat dia memutuskan untuk membeli apartemen dan pindah dari rumah orang tuanya.
Awalnya Luna tak yakin, dia harus bekerja di rumah seorang pria asing terlebih harus meninggalkan putri-putrinya.
Namun, takdir berkata lain. Luna akhirnya mengambil pekerjaan itu setelah bibi Luna, Maya mengambil kedua putrinya untuk dia jaga.
"Pergilah, bekerja dengan baik. Jangan pikirkan putri-putri mu, biar aku yang jaga"
Suara Maya begitu yakin terdengar. Luna pun mengambil kesempatan bekerja bersama Abel.
Terdengar mudah, tapi ternyata, Pak Abel adalah orang yang sangat perfeksionis. Luna hampir kewalahan dan menyerah di dua bulan pertama bekerja dengannya.
Pindahan pertama, Luna dan Abel yang merapikan rumah sendiri. Tak ada orang lain yang membantunya.
Luna juga di tuntut harus bisa menjadwalkan semua kegiatan Abel setiap harinya. Mencatat semua klien yang akan dia temui dengan semua pendapat Abel tentang klien tersebut.
Luna hendak mengundurkan diri di bulan ketiga, merasa tak sanggup dengan semua tanggungjawabnya.
Namun, Maya memutuskan untuk pindah ke kota lain karena suaminya dipindahtugaskan. Anak-anak sudah sangat dekat dengannya. Luna tak bisa membujuk mereka untuk kembali ke rumah susun yang mereka sewa dulu.
Anak-anak lebih memilih pindah dengan Maya, yang juga tak keberatan asalkan Luna tetap mengirim uang untuk keperluan mereka.
Terpaksa Luna bertahan dengan Abel dan semua pekerjaannya.
"Hmmm, bisa juga gue ternyata" gumam Luna saat bus pertama berhenti di halte tempat dia harus ganti bus.
Luna duduk lagi di halte bus. Cukup ramai hari ini, jelas hari minggu. Orang-orang pasti akan ke mall dekat apartemen Pak Abel. Liburan, menghabiskan menghabiskan waktu bersama keluarga.
"Huuutfhhhhh! " Luna menghela lagi saat busnya sudah datang.
#
"Pagi Pak! " seru Luna saat membuka pintu.
Yup, dia sudah hapal nomor sandi pintu dan langsung masuk.
Abel yang baru bangun dan sedang minum air putih, menatapnya sambil menggaruk pinggang.
"Hmmm! " jawabnya singkat karena masih minum.
Luna tak menatapnya, dia langsung masuk ke perpustakaan rumah dan membuka semua lemarinya satu persatu.
Abel memperhatikannya dari ambang pintu.
"Ganti posisi raknya, aku sudah minta dua orang untuk datang, mungkin dua jam lagi datang" ucap Abel.
Luna tersenyum, senang dia tak harus memindahkan rak-rak buku besar itu sendirian.
"Kamu siapkan sarapan dulu, aku mau mandi" lanjut Abel seraya pergi ke kamarnya.
Luna meniup poninya, tak habis pikir dengan bosnya yang tak pernah mau dirinya istirahat sejenak.
Dengan langkah berat dia masuk ke dapur. Perutnya berbunyi, dia juga lapar, belum makan sejak keluar dari apartemennya.
Luna membuka lemari es dan memilah bahan masakan yang hendak dia buat.
"Hmmm, makan apa ya? " gumamnya.
"Aku mau sandwich saja, itu tinggal hangatkan!" seru Abel dari kamarnya.
Luna menoleh, merasa Abel tahu apa yang dia ucapkan.
"Apa dia ga bosen tiap pagi makan sandwich? Sekian banyak yang dibeli, sampai penuh begini, cuma sandwich yang dimakan" gumamnya lagi.
"Aku suka sandwich, kau pilih sendiri mau sarapan apa, beli lontong sayur saja kesukaan mu" teriaknya lagi dengan nada mengejek.
Luna mengerutkan dahinya.
"Apa dia pasang cctv di dapur? " Luna mencari.
#
Dua orang pria datang dan membantu Luna.
Akhirnya, dia bisa tinggal tunjuk saja untuk melakukan semua hal. Abel memperhatikannya dari luar, dari meja makan sambil menyantap sandwichnya.
Tak tahan melihat Luna hanya menancapkan tangan di pinggang, dia memanggilnya lagi.
"Buatkan aku kopi! " serunya.
Luna menatap sinis padanya yang berpindah duduk ke sofa di depan televisi.
"Benar-benar dia ini! " keluh Luna.
Luna berjalan ke dapur.
"Kopi hitam saja, jangan terlalu manis" seru Abel.
"Ya Pak! " jawab Luna.
Suaranya terdengar biasa tapi wajahnya berekspresi lain.
Luna meletakkan cangkir kopinya di meja. Kemudian dia menatap acara yang sedang dia tonton. Luna tersenyum.
"Kenapa? Bangga sama diri sendiri? " tanya Abel.
"Hehe" Luna tersenyum bodoh.
Acara itu adalah gagasannya yang begitu terobsesi dengan kuis dengan tema anak sekolah.
Abel mengambil kopinya dan menyeruput perlahan.
"Hmmm, ini kopi yang Frans beri untuk ku tempo hari kan? " tanya Abel mencium wanginya.
Luna yang hendak ke dapur, mundur lagi menjawab Abel dengan anggukan dan senyum.
"Wahhh, enak juga" puji Abel.
"Siapa dulu yang buat! " gumam Luna.
"Kopi ini terkenal mahal loh Lun, siapa saja yang buat pasti enak" seru Abel.
Luna merasa dipukul kepalanya agar dia tak terus membanggakan diri. Tapi merasa heran juga karena Abel mengatakan hal jawaban dari semua gumaman nya.
"Dia punya indra ke enam sekarang? " Luna mengusap pundaknya sendiri merasa merinding.
\=\=\=\=\=\=>