Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wawancara Kerja
Pagi ini, Kimberly alias Kimi memulai hari dengan semangat. Meski telah sepuluh kali ditolak berbagai perusahaan, Gadis itu berharap pada interview kali ini setidaknya ia dapat menunjukkan kemampuannya. Bukan malah menghabiskan waktu membahas niqab yang ia pakai, seperti terjadi pada beberapa interview sebelumnya.
Kimi mematut diri, menata niqab—banyak orang menyebutnya cadar—yang menutup wajah kecuali mata dengan rapi di depan cermin, lalu berdoa sebelum melangkah keluar rumah.
Kali ini, ia akan memenuhi panggilan wawancara kesebelas pada sebuah perusahaan besar di kawasan Kuningan. Mereka mencari penerjemah untuk pasar internasional—posisi yang sangat sesuai dengan keahlian Kimi.
Kimi melangkah keluar dari rumah kontrakannya yang sederhana di daerah Kemang, menyapa udara pagi Jakarta yang mulai terasa hangat.
“Kimi!” panggil seorang wanita dari samping rumah.
Kimi berbalik memperlihatkan penampilannya yang mencerminkan keseimbangan antara keanggunan muslimah dan gaya modern. Ia mengenakan niqab Yaman dua lapis berwarna hitam yang menjuntai lembut. Niqab itu dipadu dengan jilbab abu-abu yang menutupi kepala. Sementara sepasang mata hazel tampak bersinar terang di balik kacamata bulat minus dua-nya, memancarkan pesona kecerdasan gadis itu.
Ia melihat ibunya baru saja menjemur pakaian di halaman samping.
“Yes, Mom!” (Iya, Bu,) sahut Kimi.
“Have you had breakfast yet, sweetie?” (Apakah kamu sudah sarapan, sayang?)
“Not yet, Mom. I’ll grab something on the way, insyaAllah!” (Belum, Bu, nanti sarapan di jalan saja. InsyaAllah!) jawab Kimi. “Sekarang sudah telat, Mom!” sambungnya.
“Okay!” kata wanita itu dengan tatapan cemas.
Gadis itu berjalan cepat. Gamisnya terkibas. Hari ini Kimi mengenakan gamis abu-abu muda dengan lipatan-lipatan tegas di bagian lengan. Sekilas mirip blazer. Hasilnya ia tampak profesional dan modern di balik jilbab dan niqab-nya. Gamis tersebut membangun elemen formal dan kasual, membuatnya terlihat tegas namun tetap santai.
Di bahunya, Kimi menyandang tas soren wanita berwarna hitam, tampak serasi dengan flat-shoes kekinian yang membalut kakinya.
Kimi selalu memastikan penampilannya tidak hanya mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai Islami, tetapi juga selera fashion yang stylish dan dinamis mengikuti zaman. Namun tak terlalu mencolok dan mengundang perhatian.
Setiap detail pakaiannya dipilih dengan hati-hati, mencerminkan kepribadian yang percaya diri dan berkelas. Maka ia tampak sudah siap menghadapi tantangan hari ini dengan elegansi tak terbantahkan. Setidaknya sebelum naik angkot dan bertemu orang-orang dengan segala reaksi mereka yang kerap membuat Kimi merasa risih.
Kimi menghembuskan nafas. Mengingat tantangan setiap hari yang ia hadapi terkadang membuatnya lelah. Namun ia sudah memiliki obatnya. Dengan memperbanyak dzikir, sholawat dan istighfar, Kimi selalu merasa lebih baik.
Setelah melewati deretan kafe dan butik kecil yang masih sepi, akhirnya sampai di jalan besar. Dengan cekatan, gadis ber-niqab itu melambaikan tangan pada sebuah angkot berwarna biru yang melaju perlahan, lalu naik dengan langkah sigap.
Di dalam angkot, Kimi memilih duduk di pojok belakang, mencoba menyesuaikan diri dengan jok angkot yang tidak terlalu empuk. Penumpang lain, dua orang ibu-ibu dan dua anak sekolah sedang mengobrol. Namun dua anak sekolah itu tiba-tiba terdiam setelah menyadari kedatangan Kimi. Mereka menatap Kimi dengan ekspresi terkejut.
Kimi sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan seperti itu. Namun sesekali masih merasa risih terutama jika terdengar ada yang membicarakannya. Seperti kali ini, ketika salah satu dari anak sekolah itu menyikut temannya sambil berbisik :
“Lihat, ada ninja...”
“Bukannya itu… kostum hantu?”
Kimi merengut, lalu membetulkan letak kacamatanya seraya mengalihkan pandangan ke luar jendela angkot. Kendaraan itu terus melaju mengikuti jalanan Jakarta yang tak pernah sepi.
Seiring perjalanan, angkot melintasi jalanan Kemang. Melewati deretan ruko dan apartemen. Kimi menikmati momen itu, merasakan dirinya seperti bagian dari arus kehidupan kota yang selalu bergerak.
Setelah beberapa menit, angkot berhenti di sebuah persimpangan besar. Kimi turun dengan hati-hati, memastikan niqab-nya tidak tersangkut pintu angkot yang agak sempit.
Dengan cepat, ia bergegas menuju halte bus di seberang jalan untuk melanjutkan perjalanan ke Kuningan. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan angkot itu, ia sempat mendengar ibu-ibu berbisik pada temannya :
“Mungkin dia mau syuting film horor.”
Kimi kembali merengut. Ninja, hantu, syuting film horor. Apa lagi? batin Kimi. Kimi tak habis pikir. Ia berharap tidak ada lagi komentar miring seperti itu, karena itu berarti mengomentari miring syariat Islam.
Mungkin tidak semua orang tahu bahwa ber-niqab atau bercadar itu wajib dalam mazhab Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Kecuali mazhab Imam Hanafi dan Imam Maliki yang menghukumi sunnah, namun itupun menjadi wajib jika khawatir terkena fitnah.
Kimi melanjutkan langkah dengan ringan. Kimi sadar, setiap hari adalah petualangan kecil yang memang selalu menawarkan tantangan, dan ia mencoba belajar untuk menikmatinya.
Ketika tiba di kantor perusahaan yang dituju, Kimi disambut oleh resepsionis yang terlihat agak bingung saat melihatnya. Namun, di balik niqab-nya Kimi tersenyum ramah, mengabaikan tatapan heran yang sejak tadi tertuju padanya. Setelah menunggu beberapa saat di ruang tunggu berhawa dingin, akhirnya ia dipanggil.
“Selamat pagi, Ibu… Kimberly,” sapa si pewawancara dengan bingung.
Si pewawancara merupakan seorang pria dengan jas rapi dan dasi mencolok yang mungkin lebih cocok untuk pesta, tapi terlalu berlebihan untuk wawancara kerja. Kimi mengangguk dan duduk dengan tenang di kursi depan meja.
“Selamat pagi, Pak. Assalamu'alaikum... Terima kasih sudah memberi saya kesempatan,” jawab Kimi dengan lembut.
Pria di depannya terus menerus melirik niqab-nya.
“Wa'alaikumsalam... Wah, Anda... memakai cadar, ya? Sungguh... unik sekali. Tapi tentu saja, tidak masalah,” katanya, berusaha terdengar santai, meski jelas terlihat bahwa dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. “Jadi, eh... bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?”
Kimi mengangguk dan mulai menjelaskan latar belakang pendidikannya, bahwa ia lulusan UAI jurusan ilmu komunikasi jalur beasiswa dan lulus dengan nilai terbaik serta memiliki kemampuan multibahasa.
Pewawancara itu tampak mendengarkan. Namun Kimi tidak bisa mengabaikan cara si pewawancara berusaha keras menghindari menatap niqab Kimi.
Setelah beberapa pertanyaan formal, pria itu tampaknya mulai kehabisan bahan wawancara. Dia batuk kecil, menyesuaikan dasinya, dan bertanya :
“Hmm, saya penasaran, bagaimana Anda melihat layar komputer saat bekerja? Maksud saya, apakah cadarnya tidak menghalangi pandangan?”
Kimi menahan senyum. “Tidak, Pak. Cadar ini hanya menutupi wajah saya, bukan mata. Mata saya masih berfungsi dengan baik, alhamdulillah,” jawabnya sambil tersenyum di balik niqab.
“Oh, begitu ya,” kata pewawancara, sedikit merah di wajahnya. "Tentu saja, tentu saja. Bagaimana dengan interaksi dengan tim? Apakah... cadar ini... eh... tidak menghambat komunikasi?"
Kimi tertawa kecil. “Tidak sama sekali, Pak. Saya masih bisa berbicara, mendengar, dan memahami candaan seperti orang lain. Mungkin saya hanya tidak terlihat saat tertawa, tapi saya jamin, saya bisa tertawa.”
Pewawancara tersenyum kikuk, kemudian beralih ke beberapa pertanyaan lain yang lebih serius.
Wawancara berlangsung cukup lama, tetapi Kimi merasa bahwa fokus pria itu terus kembali ke niqab-nya, seolah-olah itu adalah hal paling menarik di dunia ini.
Di akhir wawancara, pria itu menarik napas dalam-dalam dan berkata :
“Baiklah, Ibu… Kimberly, terima kasih sudah datang hari ini. Kami akan mempertimbangkan dengan baik. Oh, satu pertanyaan lagi, apakah... apakah Anda bersedia... sesekali... mungkin... membuka cadar, demi kepentingan pekerjaan?”
Kimi menghela napas dalam-dalam, tetap tersenyum meski hatinya sedikit tenggelam.
“Maaf, Pak. Cadar ini adalah bagian dari keyakinan saya. Saya memakainya bukan untuk bergaya, tapi sebagai bentuk ketaatan. Jadi, sayangnya saya tidak bisa melakukannya,” tutur Kimi tanpa ragu.
Pria itu mengangguk, meski terlihat jelas bahwa jawaban Kimi membuatnya semakin bingung.
“Tentu, tentu... Saya menghormati itu. Terima kasih, Ibu Kimberly. Kami akan menghubungi Anda segera.”
Saat Kimi melangkah keluar ruangan, dia bisa merasakan bahwa sekali lagi harapannya mungkin akan berakhir dengan penolakan. Namun, gadis itu berusaha tetap tenang, meski agak sulit, seraya meyakinkan dirinya sendiri bahwa setiap penolakan adalah langkah menuju kesempatan yang lebih baik.
Gadis ber-niqab itu melangkah keluar gedung. Langkahnya serasa melayang. Tidak dipungkiri, usai wawancara kesebelas ini semangatnya terasa mulai goyah.
Kimi duduk di halte seraya memperbanyak dzikir, sholawat dan istighfar. Dengan begitu hatinya menjadi lebih tenang. Ia mensyukuri keistiqomahannya sebagai bukti kecintaan kepada Rabb-nya daripada menuruti keinginan diri sendiri atau kehendak perusahaan-perusahaan yang meng-interview dirinya.
Perusahaan terakhir ini masih cukup halus ketika menyikapi niqab Kimi. Beberapa perusahaan sebelumnya bahkan menyarankan Kimi supaya melepas jilbab.
Sebelum naik bus tak lupa Kimi membeli roti dari pedagang asongan untuk disantap selama perjalanan. Makan sambil memakai niqab tidak masalah bagi Kimi. Apalagi cuma roti. Tak seperti dugaan kebanyakan orang. Selama mengunyah makanan lancar-lancar saja, makan sambil ber-niqab sama sekali bukan halangan.
Sampai di rumah, ibunya menyambut dengan tatapan cemas namun juga penuh harap.
“Kimi, bagaimana? Berhasil?” tanya ibunya.
Kimi mencium tangan ibunya kemudian menjawab :
“I don’t know, something didn’t go right... I guess.” (Aku tidak tahu, kayaknya ada yang tidak beres... mungkin.) jawab Kimi seraya menghembuskan napas. “Sepertinya mereka lebih tertarik pada cadarku daripada kemampuan bahasaku Mom! Mungkin… mereka butuh penerjemah yang bisa berbicara dengan mata, atau… wajah, bukan dengan mulut.”
Ibunya tersenyum getir seraya mengikuti Kimi melangkah masuk ke dalam rumah. Kimi melepaskan tas dan niqab-nya kemudian duduk di meja makan. Ibunya sudah menyiapkan teh hangat. Kimi menghirup aroma teh, mencoba menenangkan pikiran.
“Kimi, kamu sudah berusaha keras,” kata ibunya lembut. “Mommy akan terus berdoa agar kamu segera menemukan jalan terbaik.”
Kimi tersenyum lemah dan mengangguk. “Terima kasih, Mom. Aku juga akan terus berdoa. InsyaAllah, suatu saat nanti ada jalan terbaik.”
Kimi sudah merencanakan langkah berikutnya. Gadis itu memiliki satu perusahaan lagi yang akan ia kunjungi untuk wawancara kerja dalam beberapa hari ke depan. Ia sangat berharap perusahaan kedua belas ini nanti dapat menerimanya dengan baik.
Setelah agak sore, dalam setelan niqab-nya Kimi bergegas ke halaman rumah kontrakan. Dua buah pohon Terminalia mantaly menjulang indah dan teduh di sana. Namun daun-daun kecilnya sering jatuh dan berserakan. Sore ini Kimi mengambil alih pekerjaan menyapu halaman.
Tiba-tiba sebuah SUV mewah datang, berhenti di samping gerbang kontrakan Kimi. Kimi menghentikan pekerjaannya, lalu menengok. Ini kali kedua Kimi melihat mobil hitam itu berhenti di sana, di depan gerbang rumah sebelah. Jarak Kimi ke mobil itu tak begitu jauh hanya sekitar sepuluh meter.
Seperti waktu itu, adegan sore ini pun hampir sama. Di depan stir seorang pria berjambang tipis dengan gaya rambut slicked-back mengkilap, mengenakan kaca mata hitam klasik berlensa gradasi tampak melongok-longok sambil membunyikan klakson. Kemudian pria itu berteriak-teriak memanggil nama seseorang.
“Budi… Budi…!!! Bukaaa…!!!”
Kimi terkejut mendengar suara klakson dan teriakan itu. Padahal ini bukan kali pertama. Lalu—seperti waktu pertama itu—si pria pengemudi mobil melihat ke arah Kimi dengan tatapan aneh. Kimi beradu pandang dengan pria itu lagi. Sesaat saja. Habis itu ia segera berpaling sambil membaca istighfar beberapa kali.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.