Azzam tidak menyadari bahwa wanita yang ia nikahi bukanlah kekasihnya, melainkan saudara kembarnya.
Sejak kepulangannya dari Kanada, sebenarnya Azzam merasa ada yang aneh dengan kekasihnya, ia merasa kekasihnya sedikit berubah, namun karena rasa cintanya pada sang kekasih, ia tetap menerima perubahan itu.
Bagaimana jika suatu saat Azzam mengetahui yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shangrilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembalinya Azzam
Happy reading..
Azzam adalah seorang mahasiswa asal Indonesia yang menempuh pendidikan di Kanada. Ia dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan ambisius.
Begitupun dengan Azahwa, Zahwa juga mahasiswi dari Indonesia yang menempuh pendidikan di Kanada. Azzam dan Zahwa kenal dan menjalin hubungan ketika mereka sama-sama di negeri asing untuk menempuh pendidikan.
Namun Zahwa pulang ke Indonesia lebih dulu di banding Azzam yang masih harus menyelesaikan pendidikan beberapa bulan kedepan.
Mereka bertemu dan menjalin hubungan ketika di Kanada, di Indonesia mereka belum kenal.
Sebelum pulang ke Indonesia, Zahwa memberikan alamat rumahnya pada Azzam, supaya nanti ketika Azzam pulang ke Indonesia mencari Zahwa ke rumahnya.
Dan hari ini adalah hari kepulangan Azzam. Bahkan ia tidak pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Dari bandara rencananya Azzam akan langsung ke alamat yang di berikan Zahwa, ia ingin segera bertemu dengan sang kekasih karena tiga bulan yang lalu semenjak Zahwa pulang ke Indonesia, sejak itu pula Zahwa tidak bisa di hubungi.
Rasa cinta dan rasa rindu yang membuat Azzam memutuskan untuk langsung ke alamat Zahwa.
Setelah berjam-jam penerbangan yang melelahkan, Azzam akhirnya tiba di bandara. Dia mengambil tasnya dan segera menyewa taksi untuk menuju alamat yang telah diberikan Zahwa. Jalanan terasa asing baginya, karena bertahun-tahun Azzam tidak pulang. Namun petunjuk dari Zahwa sangat jelas, sehingga taksi tersebut melaju tanpa kesulitan menuju ke rumah yang dituju.
Setibanya di depan rumah yang tampak sederhana itu, Azzam merasakan degupan jantungnya semakin kencang. Dia membayar ongkos taksi dan berdiri sejenak di depan pagar rumah tersebut. Dengan nafas yang berat, ia membuka gerbang dan melangkah menuju pintu depan.
Azzam mengetuk pintu beberapa kali. Sesaat kemudian, pintu itu terbuka dan seorang wanita paruh baya dengan wajah bingung menyambutnya.
"Selamat siang Bu, saya Azzam." ucap Azzam seraya mengulurkan tangannya hendak menyalami wanita paruh baya yang ia duga itu adalah Ibu dari Zahwa.
Wanita paruh baya itu langsung membulatkan matanya. "Oh, nak Azzam."
Azzam tersenyum simpul, kemudian ia mencium punggung tangan wanita paruh baya di depannya ini. "Iya, Bu. Saya senang akhirnya bisa datang ke sini," jawabnya, sambil matanya mencari-cari sosok Zahwa.
"Mari masuk," ajak Maryamah ibu Zahwa seraya membuka pintu lebar-lebar.
"Terimakasih, Bu." Azzam pun mengikuti langkah Maryamah menuju ruang tamu di rumah ini. "Zahwanya ada Bu?"
"Ada. Sebentar Ibu panggilkan, nak Azzam silahkan duduk dulu,"
Azzam duduk di kursi di ruang tamu, sedangkan Maryamah melanjutkan langkahnya untuk memanggil Zahwa.
Tak lama kemudian wanita mirip Zahwa muncul. Seketika Azzam berdiri lagi, matanya berbinar di sertai senyum yang mengembang di bibirnya, ia bahagia akhirnya bisa bertemu dengan wanita yang ia cintai dan ia rindukan.
Azzam berlari untuk menyusul wanita itu, ia tidak sabar menunggu walau sekedar beberapa detik saja. Azzam langsung memeluknya erat. Sangat erat. Seolah jika ia melepaskannya sedikit maka ia akan kehilangan wanita yang sangat ia cintai ini.
Di pelukan Zahwa, Azzam bisa merasakan kehangatan yang telah lama hilang sejak mereka terpisah di Kanada.
"Kamu baik-baik saja kan, Sayang? Kenapa kamu tidak bisa di hubungi? Aku khawatir, aku kangen. Tiga bulan disana tanpa kamu rasanya bagaikan tiga tahun,"
Wanita itu hanya membeku di pelukan Azzam, karena yang di pelukan Azzam saat ini bukanlah Zahwa, melainkan Zura saudara kembarnya Zahwa.
Merasa wanita di pelukannya ini tidak merespon ataupun menjawab pertanyaannya, Azzam pun melonggarkan pelukannya untuk menatap Zura. "Kenapa kamu diam saja, sayang? Kamu tidak senang bertemu denganku?"
Zura mengerjab beberapa kali. "Em.. Bukan tidak senang, maaf, aku masih terkejut." kilahnya.
"Maaf, aku bikin kamu terkejut ya? Kalau begitu kita duduk dulu," ajak Azzam.
Zura menurut saja, mereka duduk di kursi ruang tamu. "Aku masih penasaran, kenapa kamu tidak bisa di hubungi semenjak kamu pulang?"
"Handphoneku hilang waktu di bandara," jawab Zura.
Azzam menghela napasnya. "Pantas saja, semenjak kamu pulang tidak bisa di hubungi lagi. Untung dulu kamu ninggalin alamat rumah, jadi aku bisa langsung kesini."
Zura tersenyum tipis untuk merespon ucapan Azzam.
"Dari bandara aku langsung kesini, demi kamu," ujar Azzam.
Zura memberanikan diri untuk menatap Azzam. "Belum pulang ke rumah?"
Azzam menggeleng sebagai jawaban.
"Kamu nggak kangen sama keluargamu?" tanya Zura.
"Kangen. Tapi mencari kamu lebih penting," jawab Azzam.
"Cari aku kan bisa nanti lagi, yang penting keluarga dulu."
Azzam kembali menarik tubuh Zura untuk di peluknya, rasa rindunya belum juga terobati walaupun sudah bertemu dengan wanita pujaan hatinya. "Aku udah nggak bisa menahan rinduku,"
Lagi-lagi Zura hanya membeku dalam pelukan Azzam.
"Kok kamu nggak bales meluk aku, kamu nggak kangen sama aku?"
Zura tersenyum kaku, perlahan tangannya terangkat untuk membalas pelukan Azzam.
Tak ada rasa curiga atau perbedaan dalam diri Zura. Azzam mengira yang di peluknya saat ini adalah Zahwa. Wanita yang di peluknya ini memang kaku, tapi Azzam menduga itu karena masih shock dengan kedatangan dirinya.
"O ya, secepat aku akan melamar kamu, kita resmikan hubungan kita, aku nggak mau pisah-pisah lagi dari kamu, aku maunya dekat dengan kamu terus." ucap Azzam sontak membuat mata Zura terbuka lebar.
"Nikah?" tanya Zura dalam hati.
"Kenapa buru-buru? Kita baru aja ketemu loh,"
"Tapi kita menjalin hubungan sudah lama. Cukup beberapa bulan yang lalu aku terpisah dari kamu, setelah ini aku nggak mau jauh-jauh dari kamu,"
Zura kembali terdiam, ia bingung harus menjawab apa.
"Zahwa," panggil Azzam. "Kamu bersedia kan, menikah denganku? Kita hidup bersama, jalani hari bersama, dan menua bersama."
"Zahwa?" panggil Azzam lagi karena Zura tak kunjung menjawabnya.
Bagaimana Zura akan menjawab, sedangkan yang sebenarnya di ajak hidup bersama adalah kembarannya bukan dirinya.
"Zahwa, Sayang. Kenapa diam? Kamu tidak mau hidup denganku?" Azzam mengulang lagi pertanyaannya.
Zura mengangguk dalam dekapan Azzam. Zura menuruti Azzam sesuai permintaan Zahwa saudara kembarnya.
Azzam semakin mengeratkan pelukannya. "Makasih, sayang."
"Jangan kenceng-kenceng, aku nggak bisa napas,"
Azzam terkekeh lalu melepas pelukannya.
"Sebaiknya kamu pulang dulu, kasihan keluargamu pasti mereka sudah menunggumu," ucap Zura.
"Aku baru sampai loh, sayang. Masa udah di usir?"
"Bukan ngusir, Mas. Tapi kasihan keluarga kamu di rumah."
"Aku tidak bilang kalau pulang hari ini, jadi mereka tidak akan menungguku," sahut Azzam.
"Ya sudah kalau begitu."
"Tunggu tunggu, sejak kapan kamu manggil aku Mas? Biasanya manggilnya sayang." tanya Azzam.
Zura terdiam sesaat untuk mencari alasan yang tepat, dirinya tidak tahu kalau Zahwa manggil kekasihnya ini dengan sebutan sayang. "Sejak sekarang," jawab Zura pada akhirnya.
"Kenapa di ubah-ubah? Aku lebih suka kamu manggil aku dengan sebutan sayang."
"Kamu bilang kamu mau serius kan? Jadi aku manggilnya Mas aja biar lebih sopan gitu."
"Terserah kamu aja, yang penting kamu di samping aku," sahut Azzam.
To be continued.