Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Hati yang tergoda.
Mata tiga orang perwira muda membidik ke arah papan berjarak kurang lebih enam puluh meter di hadapannya. Letnan Walangkit, Letnan Ratanca dan Letnan Dalu sedang beradu skill mereka di hadapan Pak Navec, Komandan tinggi yang paling di takuti saat ini.
Beliau lebih mengawasi kedua perwira muda, rekan satu angkatan dari putra tirinya, Segara Barep Chandra Ekandalu atau biasa di sebut Letnan Dalu.
Letnan Walangkit, Letnan Ratanca dan Letnan Dalu sama-sama memiliki temperamen tinggi hingga terkadang ketiganya membuatnya sakit kepala. Tapi karena mereka adalah kedua prajurit khusus milik kemiliteran, maka beliau pun harus melebarkan sabar demi kebaikan kedua prajuritnya.
Dari jauh terlihat gadis remaja berlari-lari kecil ke lapangan untuk menemui Ayahnya. Tingkah gadis itu membuat konsentrasi Bang Langkit dan Bang Ratanca teralihkan hingga bidikan mereka pada papan target menjadi kocar-kacir.
"Ayaaaah.." Teriak gadis cantik itu langsung melompat ke punggung Pak Navec.
"Astaghfirullah hal adzim.. Ayah nggak tuli, dek. Kenapa kamu bisa sampai ada disini???" Tanya Pak Navec pada putrinya.
"Mama sedang ada kegiatan, bosan di rumah. Mbak Nada sedang kuliah. Dinar bosan, Yah."
"Ya sudah, duduk disana dan jangan bertingkah. Kau tau bagaimana Abangmu, kan." Kata Pak Navec memberi peringatan pada putrinya sambil menyerahkan Snack box miliknya untuk sang putri yang doyan ngemil.
"Om-om nya hitam amat yah." Celetuk Dinar, tangannya sibuk membuka plastik lapis Surabaya.
"Huuuussshh.. nggak boleh bilang begitu..!!!! Mereka itu rela berpanas-panasan bekerja halal demi masa depan dan keluarga. Jaman sekarang banyak laki-laki pemalas seperti tidak punya masa depan yang jelas." Imbuh Pak Navec kemudian sampai akhirnya beliau menyadari bahwa kedua ajudannya berhenti membidik papan target karena sibuk memperhatikan putri kecilnya. Putri bungsu dari pernikahannya dengan Dindra.
"Apa yang kalian lihat..!!!!!! Cepat tembak papannya, bukan sibuk lihat kesini..!!" Bentak Pak Navec.
Bang Langkit dan Bang Ratanca gelagapan mendengar teguran komandannya. Mereka segera kembali membidik papan target namun tidak ada satupun tembakan yang tepat sasaran.
Pak Navec menghampiri kedua perwira lalu menepak topi lapangan mereka secara bergantian.
"Fokus.. fokus dan fokus. Kenapa kalian berdua tidak konsentrasi?? Apa yang memecah isi kepala kalian??????" Bentak Pak Navec.
"Siap.. salah, komandan..!!"
"Siap.. salah, komandan..!!!" Jawab Bang Ratanca sembari mencuri lirikan ke arah putri komandan dan yang sibuk mengunyah pastel kemudian meneguk habis kopi hitam Ayahnya.
Di sisi lain, Bang Langkit pun mengurai kilas senyum kemudian kembali pada mode serius.
Dari tempat duduknya, Dinar tak sengaja beradu pandang dengan kedua anak buat sang Ayah yang terus menatapnya. Sesaat kemudian ia menunduk tak sanggup melihat tatapan salah satu di antara keduanya.
...
Angin sepoi menggoyang dedaunan di depan mess perwira.
Bang Langkit kembali tersenyum mengingat paras cantik Canthing Geulis Mahadinar putri komandan nya yang seakan menyita waktu dan dunianya hari ini.
Di dalam kamarnya, Bang Ratanca diam tanpa kata sembari kemudian membuang nafas berat kemudian mengusap dadanya yang terasa sesak membayangkan paras ayu seorang gadis yang di lihatnya tadi siang.
***
Para anggota Batalyon sedang berlari pagi mengelilingi asrama militer.
"Ran, Lang.. nanti malam main ke rumah ya..!! Besok hari Sabtu, aku malas keluar. Menjelang libur begitu ayahku selalu menyiapkan acara 'barbeque'an di rumah biar adik-adik ku anteng. Mau ikutan nggak??" Kata Bang Dalu memberi tawaran nya pada kedua sahabatnya.
Bang Langkit langsung menyetujui namun tidak dengan Bang Ratanca yang masih terdiam.
"Kau mau sama siapa di mess??? Anggota yang lain pasti juga pada ambil libur." Sambar Bang Dalu.
"Tau nih. Ranca.. hidup jangan terlalu serius, slow broooo..!!" Bang Langkit mengaitkan lengannya di leher Bang Ranca. "Ada Dinar." Bisiknya.
"Kau jangan macam-macam Lang, Dinar masih kecil." Bang Ratanca pun menahan suaranya agar tidak terdengar di telinga sahabatnya, Dalu.
.
.
.
.