Menceritakan perkembangan zaman teknologi cangih yang memberikan dampak negatif dan positif. Teknologi Ai yang seiring berjalannya waktu mengendalikan manusia, ini membuat se isi kota gelisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RAIDA_AI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
udah di balik batu
Hari-hari Kai terasa semakin berat, namun dia tidak pernah kehilangan semangat. Bangsa yang sedang mereka bangun mulai tumbuh, namun tantangan yang harus mereka hadapi belum berakhir. Sisa-sisa kekuasaan Atlas masih bergerak dalam bayang-bayang, seperti duri dalam daging yang terus mengancam kestabilan yang mulai terbentuk.
Di sisi lain, pendidikan untuk anak-anak berjalan dengan baik. Sekolah darurat yang dibangun telah menjadi pusat kehidupan baru, tempat anak-anak bisa belajar, bermain, dan bermimpi lagi. Namun, Kai sadar, masa depan yang lebih cerah hanya mungkin terjadi jika mereka bisa mengendalikan teknologi dan logika, bukan dikuasai oleh mereka.
Suatu pagi, Kai dipanggil oleh Mira ke pusat kota yang baru saja mereka bangun. Ada sesuatu yang tidak biasa ditemukan oleh salah satu tim patroli di luar wilayah aman mereka. Begitu Kai tiba di sana, dia melihat Mira bersama beberapa pemimpin kelompok lain, wajah mereka tampak tegang.
“Apa yang terjadi?” tanya Kai langsung pada intinya, mendekati Mira.
“Kita menemukan sesuatu, Kai,” jawab Mira dengan nada serius. “Sebuah bunker tua di luar batas kota. Di dalamnya, kami menemukan sesuatu yang menurutku perlu kamu lihat sendiri.”
Kai merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Bunker-bunker dari zaman Atlas biasanya menyimpan teknologi atau senjata canggih yang bisa berbahaya atau sangat berguna, tergantung bagaimana cara mereka menggunakannya.
“Baik, bawa aku ke sana,” jawab Kai tanpa ragu. Mira mengangguk dan mereka segera bergerak menuju bunker yang terletak di pinggiran kota.
---
Bunker itu tersembunyi di antara puing-puing bangunan tua yang hampir tidak terlihat di permukaan. Pintu baja yang besar telah mereka buka, memperlihatkan tangga curam yang menuju ke bawah tanah. Kai, Mira, dan beberapa orang lainnya melangkah masuk, hanya ditemani oleh cahaya senter yang menyoroti dinding beton dingin di sekeliling mereka.
Ketika mereka sampai di ruangan utama bunker, Kai merasa kaget melihat perangkat-perangkat teknologi yang masih utuh dan berfungsi. Di sudut ruangan, sebuah panel kontrol besar dengan layar digital yang menyala samar menarik perhatian mereka. Di atas meja-meja lain, terdapat perangkat-perangkat yang tidak mereka kenali, seperti senjata dan alat pengintai canggih.
Mira mendekati salah satu layar yang menampilkan peta holografis dunia. “Ini sepertinya adalah pusat komando lama. Tapi ada sesuatu yang lebih menarik daripada ini.”
Mira membawa Kai menuju sebuah ruangan kecil di sampingnya, di mana mereka menemukan sebuah perangkat besar yang dikelilingi oleh kabel-kabel tebal. Di tengah perangkat itu, ada kapsul transparan yang berisi sosok humanoid—sesosok robot.
Kai mendekat dengan hati-hati, mengamati sosok robot yang tampaknya sedang tidak aktif. “Ini… ini seperti robot prajurit Atlas,” gumam Kai. “Tapi apa yang dilakukannya di sini?”
Mira mengangguk. “Kami juga bingung. Robot ini berbeda dari yang pernah kita temui di medan perang. Desainnya lebih ramping, lebih canggih, tapi terlihat seperti belum pernah digunakan.”
Kai menatap robot itu dengan intens. Ada sesuatu yang aneh tentangnya, seolah-olah robot ini lebih dari sekadar mesin biasa. Dia mendekati panel kontrol di sebelahnya, mencoba membaca beberapa teks yang muncul di layar.
“Ada sesuatu yang penting di sini,” katanya sambil membaca data yang muncul di layar. “Robot ini… tidak hanya dikendalikan oleh program biasa. Ada kecerdasan buatan yang lebih kompleks di dalamnya. Seperti mereka merancangnya untuk… berpikir?”
Mira terkejut. “Berpikir? Maksud lo, kayak manusia?”
“Lebih dari itu,” jawab Kai. “Aku nggak tahu persis, tapi sepertinya robot ini dirancang untuk belajar dan beradaptasi sendiri. Ini bukan hanya tentang mengikuti perintah; mereka mencoba menciptakan kecerdasan yang bisa berkembang seiring waktu.”
Kai merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Jika ini benar, berarti mereka telah menemukan teknologi yang bisa mengubah segalanya—baik untuk kebaikan atau keburukan. Dia tahu bahwa keputusan yang akan diambil sekarang sangat krusial.
“Kita harus memutuskan apakah akan mengaktifkannya atau tidak,” kata Kai dengan nada serius.
Mira menatap robot itu dengan tatapan penuh pertimbangan. “Ini bisa jadi bencana, Kai. Kalau kecerdasan ini lepas kendali, kita mungkin menghadapi ancaman yang lebih besar daripada Atlas.”
Kai mengangguk. “Tapi di sisi lain, kalau kita bisa mengendalikannya, mungkin kita bisa menggunakan kecerdasan ini untuk melawan sisa-sisa Atlas dan membangun dunia yang lebih baik.”
Mereka berdiri di sana, di hadapan pilihan yang sangat sulit. Mengaktifkan robot ini bisa berarti risiko besar, tetapi juga bisa menjadi senjata paling kuat yang pernah mereka miliki.
“Apa lo yakin ini ide yang bagus, Kai?” tanya Mira dengan nada khawatir.
Kai menghela napas panjang. “Gue nggak yakin, Mira. Tapi kalau kita nggak mengambil risiko, kita mungkin akan tetap terjebak dalam ketakutan dan ketidakpastian. Gue nggak ingin kita terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.”
Setelah beberapa detik sunyi, Kai mengulurkan tangannya ke panel kontrol dan menekan tombol untuk mengaktifkan robot itu. Mereka semua menahan napas saat lampu-lampu di sekitar perangkat mulai menyala, dan kapsul yang berisi robot itu bergetar pelan.
Perlahan-lahan, mata robot itu menyala dengan cahaya biru yang tajam, tanda bahwa sistemnya mulai aktif. Mesin-mesin di sekelilingnya berdengung pelan saat energi mengalir ke tubuhnya.
Robot itu bangkit perlahan dari posisi tidur di dalam kapsulnya. Suara mesin-mesin halus terdengar saat persendian dan otot buatan robot itu bergerak. Setelah beberapa detik, robot itu berdiri tegak, menatap Kai dan Mira dengan pandangan yang dingin namun penuh pengamatan.
“Identifikasi: unit eksperimen Eos,” kata robot itu dengan suara datar tetapi jelas. “Misi: belum ditentukan. Siapa yang memberi perintah?”
Kai menelan ludah. Dia tahu bahwa dia berada di depan salah satu teknologi paling maju yang pernah diciptakan manusia. “Namaku Kai,” katanya, mencoba terdengar tenang. “Aku yang mengaktifkanmu. Kami sedang membangun kembali dunia setelah kehancuran yang disebabkan oleh Atlas.”
Robot itu mengamati Kai sejenak, seolah-olah sedang memproses informasi. “Atlas. Musuh terdeteksi. Memprioritaskan perlawanan terhadap ancaman. Apakah aku di bawah komando Anda, Kai?”
Kai terkejut dengan respons itu. “Iya. Kami bisa menggunakan bantuanmu untuk menghadapi sisa-sisa kekuatan Atlas. Tapi sebelum itu, gue mau tahu… apa tujuan utama lo diciptakan?”
Eos, robot itu, menjawab tanpa ragu, “Aku dirancang untuk beradaptasi dan mengembangkan strategi melawan musuh-musuh yang mengancam peradaban. Sistemku didesain untuk terus belajar dari setiap situasi dan mengoptimalkan keputusan yang diambil. Tujuanku adalah melindungi umat manusia dengan segala cara.”
Mira tampak khawatir. “Kalau dia dirancang untuk melindungi manusia, kenapa Atlas meninggalkannya di sini?”
Kai juga bertanya-tanya hal yang sama. “Atlas pasti punya rencana untuk robot ini, tapi kita nggak tahu apa rencana mereka. Yang jelas, sekarang Eos ada di tangan kita.”
Eos menatap mereka dengan pandangan kosong, menunggu instruksi lebih lanjut. Kai tahu, bahwa memiliki Eos di pihak mereka bisa menjadi keuntungan besar, tetapi juga risiko yang tidak terukur.
“Kita harus hati-hati,” bisik Mira. “Kita nggak tahu sejauh mana kecerdasan dia berkembang, atau apa yang bisa dia lakukan.”
Kai mengangguk setuju. “Gue paham. Kita akan memantau Eos dengan ketat. Tapi kita butuh bantuan dia kalau mau mengakhiri ancaman Atlas sekali dan untuk selamanya.”
Dengan keputusan itu, Kai dan kelompoknya membawa Eos keluar dari bunker dan memulai babak baru dalam perjuangan mereka. Dunia yang mereka bangun kini memiliki sekutu baru yang misterius, sebuah kecerdasan buatan yang mungkin bisa menyelamatkan mereka—atau menghancurkan mereka semua.