Soraya adalah gadis paling cantik di sekolah, tapi malah terkenal karena nilainya yang jelek.
Frustasi dengan itu, dia tidak sengaja bertemu peramal dan memeriksa takdirnya.
•
Siapa sangka, selain nilainya, takdirnya jauh lebih jelek lagi. Dikatakan keluarganya akan bangkrut. Walaupun ada Kakaknya yang masih menjadi sandaran terahkir, tapi Kakaknya akan ditumbangkan oleh mantan sahabatnya sendiri, akibat seteru oleh wanita. Sementara Soraya yang tidak memiliki keahlian, akan berahkir tragis.
•
Soraya jelas tidak percaya! Hingga suatu tanda mengenai kedatangan wanita yang menjadi sumber perselisihan Kakaknya dan sang sahabat, tiba-tiba muncul.
•
•
•
Semenjak saat itu, Soraya bertekad mengejar sahabat Kakaknya. Pria dingin yang terlanjur membencinya. ~~ Bahkan jika itu berarti, dia harus memaksakan hubungan diantara mereka melalui jebakan ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Selasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Matanya tampak kosong dari luar, tapi sebenarnya tidak sama sekali. Untuk pertama kalinya dia merasa khawatir setelah sekian lama, jadi mana mungkin dia tidak berpikir sama sekali.
“SORAYA! kamu mendengar Gamma atau tidak?”
Terkejut dengan namanya diteriakkan, Soraya menyapu dadanya kasar. Dia menatap wanita tua yang berteriak padanya tadi, dengan tatapan memelas bercampur malas. Dia memelas karena tertekan, dan malas karena tahu, tidak bisa menghentikan sang Nenek dari memarahinya tentang hal ini.
Jadi Soraya hanya bisa menelan ludah pahit. “Gamma, aku dengar. Tapi pelan-pelan aja dong, gak usah teriak. Kan malu, kalau didengar orang lain.”
Mendengar jawaban Soraya, wajah sang Nenek memerah karena gejolak emosi.“Biarkan saja. Biar siapapun diluar sana, atau di dalam rumah ini bisa dengar, bahwa kamu itu tidak berguna. Nilai kamu selalu rendah di sekolah dari dulu sampai sekarang! Tidak ada bakat atau keahlian khusus. Mau belajar pun tidak bisa masuk ke otak karena bodoh. Bisa kamu hanya gegayaan dan berdandan, persis Bibimu!”
Mendengar sesuatu yang sama diulang-ulang selama hampir dua jam, Soraya akhirnya mulai gelisah.
Memang tidak ada yang salah dengan perkataan sang Nenek, bahwa dia adalah yang terburuk dalam hal ini. Bahkan kalau bukan nama besar keluarga-nya, dia mungkin sudah lama akan menjadi bahan olok banyak orang. Karena memang, template 'beautiful but brainless’ telah melekat padanya sejak kecil.
Saking bodohnya dia di sekolah, dia selalu mendapat tiga besar dari urutan belakang. Hingga kecantikannya yang legendaris, tidak mampu lagi menutupi kelemahannya terhadap hal itu. Membuat Soraya menjadi bintang sekolah yang paling tidak bersinar.
Tapi hanya karena itu benar, bukan berarti dia terbiasa saat seseorang mengungkit hal ini secara langsung, apalagi berulang. Khususnya disaat seperti ini. Saat dimana dia baru pulang setelah menerima nilai sekolah yang buruk.
“Mau kemana kamu? Gamma sedang bicara.” Tanya sang Nenek, saat melihat Soraya berdiri.
Mendengar ini, Soraya berdecak kecil dan menatap mata sang Nenek. “Aku mau ke kamar saja. Aku lelah diomeli terus.” Jawabnya sederhana, tapi berhasil membuat sang nenek menganga.
“Ka-kamu, ... Gamma bicara ini untuk---”
“Shut!” Soraya menaruh jarinya di depan bibir, mendiamkan sang Nenek yang sedang bicara. Dia memfokuskan diri sebentar, sebelum mengangguk,
“... Ah, itu dia! andalan Gamma. Gamma bicara saja dengannya, aku lelah.” Tunjuk Soraya ke arah pintu masuk, ketika di dengarnya suara yang akrab.
“Tidak, jangan kamu coba-coba masuk ke kamar, Gamma belum selesai---” Ucapnya terhenti, ketika seorang pemuda memasuki ruang tamu.
Menggunakan setelan jas setengah formal dengan warna coklat muda, laki-laki dengan paras tampan itu langsung membuka lebar kedua tangannya. “Gamma ku tersayang.”
Melihat kedatangan pria muda yang menjadi cucunya, sang Nenek yang dari tadi begitu marah langsung melembut. “Ohoho, cucuku yang baik.” Kedua orang berbeda generasi itu saling berpelukan, membuat Soraya mengangkat ujung bibirnya mencibir.
Dih, cucuku yang baik katanya, ueek!
Setelah keduanya mengurai pelukan, pria itu berjalan ke arah Soraya, dan mencoba melakukan hal yang sama.
“Adikku Sora, yang paling cantik ….”
Tapi sayang, belum juga tangannya menggapai, Soraya sudah memberi punggung. Menolak untuk menerima pelukan kasih sayang itu.
“Sudahlah Rafael, biarkan dia. Gamma sedang mengajari adikmu ini, cara untuk menjadi manusia yang berguna. Atau kalau tidak, entah akan jadi padanya. Hah, ... Kalian itu benar-benar berbeda,” Keluh sang Nenek lagi.
Mendengar ini, pria yang dipanggil Rafael itu, menarik sudut bibirnya kecil. Dia menggaruk dahinya, sebelum merangkul sang Nenek untuk membujuk.
“Gamma, jangan katakan hal seperti itu. Adikku yang paling cantik itu, sebenarnya hanya membutuhkan sedikit motivasi. Benar Sora?” Ujarnya, sambil mengedipkan sebelah mata pada Soraya.
Soraya yang melihat ini, memutar bola matanya jengah. Walaupun dia tahu bahwa sang Kakak mencoba membuat situasi mereda baginya, tapi dia tetap saja jengkel. Karena dalam hidup, Rafael selalu menjadi kebanggaan sang Nenek, dan standar yang harus Soraya ikuti.
Tidak cukup hanya pada Rafael, sang Nenek bahkan menambahkan beban pada Soraya, dengan membandingkannya jauh sampai pada teman Rafael. Seseorang yang notabennya sudah hampir lulus kuliah, saat dia sendiri masih seorang siswa sekolah. Sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal, pikir Soraya.
“Selamat siang,”
Ah, itu dia si miskin! Pikir Soraya, saat seorang pria sebaya Kakaknya ikut masuk ke dalam rumah.
Berbeda dengannya yang memasang wajah masam penuh celaan, sang Nenek langsung sumringah, melihat kedatangan pria, yang merupakan teman cucunya itu.
“Eh, ada Nak Sean ternyata.”
“Gamma Ros,” Sapa pria yang dipanggil Sean itu, sambil menunduk.
Soraya yang melihat betapa lebar senyum sang Nenek, semakin tidak senang dibuat.
Oh ya ampun, lihatlah gigi emasnya membuat silau. Ejek Soraya dalam hati.
Tidak cukup mengejek Neneknya, dia juga menatap sinis sahabat sang Kakak. Orang luar bernama Sean, yang ikut dibandingkan sang nenek dengan dirinya. Seseorang yang membuat Soraya jengkel hanya dengan melihat.
Dih, lihat pakaiannya. Katanya praktek di kantor Hukum, tapi penampilan kayak gembel. Ejek Soraya lagi, karena penampilan Sean yang hanya menggunakan kemeja polos dan jeans biasa.
Terlalu asyik mengejek dalam hati, Soraya sampai lupa mengontrol ekspresinya dan itu ditangkap Rafael. Tuk. Sebuah jentikan jari pelan menyapa dahinya. Tapi seperti biasa, reaksi Soraya begitu dramatis.
“ADUH, KAKAK! KENAPA KAU MEMUKULKU?”
Rafael yang sudah tahu dan terbiasa, langsung merangkul leher Soraya. Membawa adik satu-satunya itu dalam pelukan, dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang Rafael. “Dasar adikku drama queen, ....”
“Dih, lepaskan aku!” Soraya meronta, dan memukul Kakaknya itu sembarangan agar bisa terlepas. Tapi begitu, kekuatannya bukanlah apa-apa untuk Rafael.
Namun Ros yang masih kesal dengan cucu bungsunya itu, mengambil hal ini sebagai bahan untuk memarahi Soraya lagi.
“Rafael sudah cukup! jangan bercanda begitu. Kamu juga Soraya, jangan memukuli Kakakmu seperti itu. Kalau pukulan itu terkena kepalanya bagaimana? apa kepalamu yang tidak ada isinya itu, bisa menggantinya? ”
“Gamma.”
“Biar Rafael. Adikmu yang tidak tahu apa-apa ini harus diberitahu, bahkan untuk hal kecil. Atau kalau tidak, entah masalah apa yang bisa dia sebabkan.”
“Gammaaaa ….” Ada tekanan panjang dari nada rendah Rafael. Walaupun dia menyayangi sang Nenek, tapi dia tidak bisa mentoleransi siapapun yang menghina adiknya.
Soraya yang mendengar ini, semakin gelisah dibuat. Dalam benaknya, terasa seolah sang nenek ingin memperdengarkan masalah mereka pada Sean, sebagai orang luar disini.
Dia meremas kaos oversize-nya sebagai pelampiasan. Tapi begitu, bukan Soraya kalau pergi tanpa membalas. “Ya, tapi setidaknya Gamma tidak perlu memberitahuku cara menggunakan ponsel. Sebab dengan ponsel, cucumu ini bisa mencari pusat perawatan terbaik untuk lansia yang mulai tidak masuk akal, … sepertimu.” Ujar Soraya, yang membuat Ros memegang dadanya karena terkejut.
Dia mengangkat tangannya bergetar menunjuk sang cucu, “Ka-kamu, berani bicara begitu pada Gamma?”
Soraya mengangkat kedua bahunya acuh. Dia sedang tidak ingin menurunkan ketegangan, karena ini adalah pertama kalinya sang Nenek juga tidak mau berhenti memojokkannya.
Melihat sikap Soraya, wajah Ros bertambah merah karena amarah. Tampaknya setelah bertahun-tahun bertengkar untuk masalah yang sama, kini mereka memasuki momen paling sengit. Dimana Rafael bahkan kesulitan untuk menghentikan.
“Rafael, lihat adikmu! lihat betapa lancang dia pada Gamma.”
Mendengar aduan ini, Rafael menggangguk dengan sorot penuh permohonan maaf. Namun begitu, hatinya masih berat sebelah. Alih-alih menegur Soraya, dia malah mencoba membujuk Ros untuk tenang.
“Gamma, sudahlah. Jangan di bawah hati ucapan—”
“Rafael!”
Tidak peduli usia berapa pun, wanita selalu sama. Ros yang tidak mendapatkan pembelaan Rafael dalam ketegangan ini, malah semakin menjadi omelannya.
Dia kembali mengkritik kekurangan Soraya, dan semakin kesal karena Soraya selalu memiliki sesuatu untuk dijawab. Jadi kritikan dan kemarahan itu semakin dalam, hingga membawa mereka pada pembicaraan yang tidak seharusnya.
“Kamu anak kurang ajar. Masih bagus kamu Gamma pedulikan, dan bawa kemari. Tapi apa? ternyata kamu cuman bikin malu saja! harusnya kamu tetap sama adik mama kamu yang tidak tahu diri itu. Jangan disini. Jangan di keluarga ini. Kembali sana kamu!”
Deg. Ucapan ini seperti batu yang menghantam hati Soraya, sampai lidahnya kelu sesaat. Bukan hanya Soraya, Rafael bahkan tertegun dibuat mendengar hal ini.
Tapi Soraya menegakkan lehernya, memaksa menjawab.“Oh really? memang siapa yang suruh bawa aku kemari! aku juga tidak mau disini. Aku lebih suka dengan bibiku!”
Bohong, bohong Soraya. Dia tidak bersungguh-sungguh sama sekali saat ucapan itu keluar dari mulutnya. Itulah alasan kenapa dia langsung berlari ke kamar setelah mengatakan hal itu. Dia mungkin suka berada disekitar Bibinya, tapi tidak, ditempat dimana Bibinya berada.
Ros yang mendengar itu, memegang dadanya yang semakin sesak. Beruntung Sean yang sigap, langsung menahan dari belakang saat wanita tua itu goyah lututnya.
“A-anak itu, be-beraninya dia padaku … Rafael, ka-kau lihat sendiri kan.” Ujar Ros terbata yang masih menatap kepergian Soraya.
Mendengar ini, Rafael menatap Neneknya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tapi begitu, dia masih tidak mengatakan apapun. Dia menolak membicarakan hal rentan keluarga mereka, meskipun di depan Sean sebagai sahabatnya. Jadi alih-alih bicara dengan sang Nenek, dia segera mengambil langkah untuk menyusul Soraya ke kamarnya.