Banyak faktor yang membuat pasangan mencari kesenangan dengan mendua. Malini Lestari, wanita itu menjadi korban yang diduakan. Karena perselingkuhan itu, kepercayaan yang selama ini ditanamkan untuk sang suami, Hudda Prasetya, pudar seketika, meskipun sebelumnya tahu suaminya itu memiliki sifat yang baik, bertanggung jawab, dan menjadi satu-satunya pria yang paling diagungkan kesetiaannya.
Bukan karena cinta, Hudda berselingkuh karena terikat oleh sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan lalu yang membuatnya terjalin hubungan bersama Yuna, sang istri temannya karena terpaksa. Interaksi itu membuatnya ingin coba-coba menjalin hubungan.
Bagaimana Malini menyikapi masalah perselingkuhan mereka?
***
Baca juga novel kedua saya yang berjudul Noda Dibalik Rupa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
...'Tidak semua diam menafsirkan kelemahan dan kebodohan. Orang yang cerdas dan bijak juga butuh diam untuk mengambil keputusan dalam menyikapi masalah yang menepi di hidup mereka, begitupun sebaliknya.'...
...~ Malini Lestari...
...***...
Gemuruh petir di malam hari lebih menakutkan dari apa pun, menciptakan selipan cahaya yang mengagetkan tubuh setelah mata mendapatinya. Hujan lebat mengiringi angin mengguncang pepohonan dan menciptakan suara yang mengusik indra pendengaran. Dalam balutan dress basah, sepasang kaki tanpa alasan tertatih di atas aspal dalam perasaan kecewa dan sedih. Cairan bening dari matanya telah menyatu dengan air hujan yang membasahi tubuhnya sejak tadi, dari hotel Texas, tempat di mana kedua bola mata kecil yang indah itu membongkar perselingkuhan suami yang menikahinya sepuluh tahun lalu. Hudda Prasetya, pria bertubuh jangkung, juga bermata kecil, dan pemilih kulit sawo matang itu menduakannya. Pria itu orang yang paling dipercayainya melebihi dirinya sendiri.
Hujan membantunya menemukan kebenaran pahit itu. Setelah berteduh di kafe yang berada tepat di depan hotel tersebut, indra penglihatannya menemukan wujud Hudda tengah merangkul pinggang seorang wanita berpakaian minim, mereka berjalan memasuki hotel. Dirinya tidak bisa diam saat itu dan mengikuti mereka sampai akhirnya melihat bibir mereka saling berburu dari celah pintu yang sedikit dibuka dari salah satu kamar hotel yang mereka masuki.
"Tidak aku duga, kamu begitu kejam." Wanita itu menangis tersedu-sedu di bawah langit yang masih meneteskan hujan rintik-rintik.
Mobil hitam berhenti tidak jauh di belakang wanita tersebut. Sepasang kaki yang dibungkus sepatu hitam pria keluar dari sana sambil membuka payung yang tertutup. Kemudian, berjalan menghampiri wanita itu dan menyodorkan payung tersebut untuk meneduhkan tubuh wanita tersebut.
"Kenapa hujan-hujanan? Kamu baik-baik saja, Sayang?" Pria yang berdiri tepat di hadapan wanita itu adalah Hudda, suaminya.
Pria itu menatap wanita tersebut dengan raut wajah bingung setelah melihat tatapan tajamnya, yang akhirnya wanita itu menoleh ke belakang, mengarahkan pandangan ke arah mobil pria itu yang baru disadari keberadaannya. Mungkin karena rasa sedih dan fokusnya mengingat pengkhianat pria itu yang telah menghipnotisnya.
"Sayang ...!" Pria itu mendaratkan tangan di bahu kiri wanita itu.
Wanita itu kembali mengarahkan pandangan ke depan, menatap suaminya dalam diam dengan pandangan mulai buram sampai akhirnya kedua matanya tertutup dan tubuh tumbang. Hudda bergerak cepat membuang payung di tangannya dan memeluk tubuh wanita itu dengan ekspresi bingung berubah kaget.
***
"Lini ... Lini ...." Bibir Hudda bergerak memanggil istrinya yang terbaring di atas kasur milik sebuah kamar bernuansa modern bercat putih berpadu hitam.
Malini Lestari, itulah nama lengkap wanita tersebut yang pernah disebut Hudda dalam kalimat suci yang telah mengikat mereka di hari pernikahan sepuluh tahun lalu.
Kedua indra pendengaran Malini menangkap samar suara Hudda yang akhirnya jelas, tapi mata tidak ingin dibuka karena dihantui oleh memori semalam, mengingat perbuatan buruk Hudda bersama wanita itu. Untuk sesaat, Malini merasa melihat wajah suaminya akan membuat dadanya terasa sesak.
"Tinggalkan aku sendiri. Dan, tolong jaga Jenaka dan Jian untuk sementara," ucap Malini dengan mata masih dipejam.
Jenaka dan Jian adalah sepasang anak kembar mereka yang sudah berusia lima tahun. Setelah lima tahun lamanya menikah, berpuluh kali konsultasi dengan dokter, sudah pernah mencoba bayi tabung dan gagal, akhirnya mereka dikaruniai sepasang anak. Pada percobaan bayi tabung ketiga mereka berhasil mendapatkan kepercayaan menjaga sepasang anak itu.
"Kenapa? Jika ada yang mengusikmu, katakan saja," ujar Hudda dengan wajah bingung memperhatikan Malini sambil mengelus lembut bahu kanan istrinya itu.
"Tidak ada," balas Malini dengan dingin sambil menepis tangan Hudda.
Pria itu diam dengan perasaan yang masih sama, lalu berdiri setelah menyadari keseriusan situasi itu sambil memikirkan sesuatu yang dirasa telah menyebabkan istrinya itu menamparnya. Sebelum menutup pintu, Hudda menujukan mata ke arah Malini yang masih berbaring dengan mata sengaja dipejam.
Setelah mendengar suara pintu ditutup, perlahan Malini membuka mata dan pandangannya langsung tertuju pada loteng kamar. Keheningan dirasakan, air matanya kembali menetes kala mengingat penampakan semalam. Cairan bening itu sampai membasahi bantal. Untuk membungkam suara tangis yang tidak tertahan, selimut tebal yang menutupi sebagain tubuhnya digigit keras.
Suara ketukan menghentikan tangisan yang teramat pedih itu.
"Lini, Mama dan Papa ada di sini. Kalau kamu tidak bisa menemuinya, aku akan bilang sama mereka kalau kamu sakit!" seru Hudda.
"Iya!" Malini membalas seruan itu dengan singkat.
Tidak henti Hudda dihantui rasa kebingungan dan penasaran. Sejenak pria itu berdiri diam di depan pintu sambil berpikir. Mengapa tidak? Biasanya Malini selalu ceria di rumah seperti apa pun masalah yang mereka hadapi. Perasaan yang tidak terpecahkan itu membuat Hudda pasrah dan meninggalkan posisinya.
***
Hampir satu jam tubuh Malini terbaring di atas kasur. Entah apa yang terjadi di luar, wanita itu tidak tahu lagi. Hanya menyendiri yang dibutuhkannya untuk berpikir dan mengendalikan emosi juga amarah yang belum sepenuhnya keluar sejak semalam.
Hudda memasuki kamar, membuat Malini beranjak duduk di tepi kasur dalam diam dengan ekspresi datar. Berdiam diri di kamar itu berhasil membuatnya mengendalikan perasaan yang sebenarnya terluka begitu dalam. Sebelum melangkah masuk, Hudda menghela napas dan mengukir senyuman di bibirnya dan berjalan menghampiri Malini, berdiri tepat di hadapan istrinya itu.
"Tolong pasangkan dasiku." Hudda menyodorkan sehelai dasi berwarna hitam polos.
"Aku lelah. Cari orang yang bisa membantumu memasangnya," balas Malini dengan gestur tubuh dan ekspresi lesu.
"Pms? Tidak. Baru minggu kemarin kamu haid. Apa yang membuatmu bersikap dingin padaku?"
Hudda beranjak duduk di samping Malini sambil meletakkan tas kerja di tangan kirinya di atas kasur, di sisi lain tubuhnya. Lalu, mengarahkan pandangan Malini yang membuang muka jadi menghadap ke arahnya yang menunjukkan kekesalan. Namun, ekspresi itu memudar dan menjadi cemas melihat ada sisa cairan bening di kedua sudut mata wanita itu.
"Siapa yang menyakitimu? Aku akan memberikannya pelajaran." Kedua tangan Hudda mengusap sisa air mata yang ada di sudut pipi Malini.
"Jika aku menyebut namanya. Apa yang akan kamu lakukan?" Malini ingin tahu bagaimana respons suaminya.
"Aku akan memukulnya sampai menghilang dari dunia ini. Katakan, siapa orang yang sudah mengusikmu?" Gelagat Hudda cukup serius dan tampak belum sadar orang yang sudah menyakiti istrinya dirinya sendiri.
"Benarkah?" Malini sambil tersenyum bodoh.
Hudda mengangguk kepala dengan senyuman sedikit bercanda, niat ingin menghibur. Senyum miris di bibir Malini menghilang secepat kilat dan bersambut dengan wajah dingin melihat ekspresi pria itu. kemudian, tamparan dilayangkan ke pipi kanan Hudda sampai pria itu membesar-besarkan mata karena kaget. Tubuh Hudda sampai membeku beberapa detik dengan posisi kepala menoleh ke kiri dan akhirnya membentuk posisi pandangan ke depan. Namun, Malini kembali menampar pipinya, masih di posisi yang sama sampai meninggalkan jejak.
"Maksudmu apa?" tanya Hudda dengan perasaan kaget dan bingung telah bercampur.
"Sadar, sebelum aku membuatmu sadar," lontar Malini dengan nada penekanan.
Malini bangkit dari kasur dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Hudda duduk diam merenungi situasi tersebut, memikirkan penyebab sang istri menamparnya. Malini membanting pintu dengan keras sampai kedua mertuanya yang tengah duduk di ruang tamu kaget. Sepasang suami-istri berusia setengah abad itu mengarahkan pandangan ke atas, mempehatikan Malini yang berdiri di tangga paling atas juga memperhatikan mereka.