Dendam dua jiwa.
Jiwa seorang mafia cantik berhati dingin, memiliki kehebatan dan kecerdasan yang tak tertandingi, namun akhirnya hancur dan berakhir dengan mengenaskan karena pengkhianatan kekasih dan sahabatnya.
Jiwa yang satu adalah jiwa seorang gadis lugu yang lemah, yang rapuh, yang berlumur kesedihan dan penderitaan.
Hingga akhirnya juga mati dalam kesedihan dan keputus asaan dan rasa kecewa yang mendalam. Dia mati akibat kelicikan dan penindasan yang dilakukan oleh adik angkatnya.
Hingga akhirnya dua jiwa itu menyatu dalam satu tubuh lemah; jiwa yang penuh amarah dan kecewa, dan jiwa yang penuh kesedihan dan putus asa, sehingga melahirkan dendam membara. Dendam dua jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikri Sa'ati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10. Drama di Ruang Makan
Annabella turun dari tangga lantai dua dengan pelan, tenang, tapi mantap. Saat berjalan kepalanya tidak lagi menunduk karena takut, tapi kini tegak penuh keberanian dan tekad.
Dia memakai outfit yang sederhana, baju kaos warna putih yang dibalut kemeja kotak-kotak berlengan panjang, serta celana panjang sedikit longgar dari bahan levis berwarna biru navy.
Hari ini mereka --dua jiwa pemberani itu-- berencana akan melakukan beberapa hal. Hal pertama yang akan dilakukan adalah membuat SIM kendaraan motor, terlebih dahulu.
Annabella tidak difasilitasi kendaraan oleh Abraham Winata, meski usianya sudah menginjak 18 tahun. Jangankan mobil, motor pun tidak diberikan. Jadi tidak ada alasan baginya untuk membuat SIM.
Alasannya sungguh dibuat-buat, itu sebagai hukuman karena dia --Annabella-- sering menindas Nikita dan berbuat onar di kediaman Keluarga Winata.
Sementara Nikita, si anak angkat, bukan saja dilimpahkan kemanjaan dan kasih sayang, bahkan kemewahan juga dilimpahkan padanya. Dia dibelikan sedan mewah saat usianya sudah genap 17 tahun. Hal itu sebagai hadiah ulang tahunnya.
Tentu saja hal penting berikutnya adalah mengambil motornya --motor Fiorella-- di apartment Fiorella, setelah mengurus SIM.
Annabella --alias Fiorella-- terus saja melangkah tenang, seakan tidak perduli dengan keadaan sekitar. Sampai pun itu meja makan yang sudah diitari oleh 'keluarga bahagia' yang telah menindasnya lahir batin, tidak diliriknya sama sekali.
Dia --baik Fiorella, lebih-lebih Annabella-- tidak perduli lagi dengan keluarga brengsek itu, tidak perduli lagi dengan Nikita, si munafik bermuka dua.
Annabella alias Fiorella sudah punya cara sendiri yang menarik untuk memberi pelajaran gadis biadab itu. Bahkan kalau bisa membunuhnya secara perlahan-lahan, cetus batin Fiorella.
Tapi wujud Annabella yang telah muncul di areal ruang makan membuat mereka menoleh ke arah Annabella, satu demi satu. Tatapan mereka menyorotkan berbagai makna, yang menjurus pada satu tatapan tajam --amarah bercampur benci--.
Sementara Nikita makin dendam, makin dengki, makin ingin melenyapkan Annabella setelah apa yang gadis itu lakukan kemarin.
Dia tidak akan menghadapi langsung Annabella, sekarang, dia akan menghadapinya melalui jalan belakang, kelicikan dan kebusukan.
"Bella, mau ke mana kamu?" tanya Abraham Winata dengan nada tidak enak, marah bercampur sinis. "Sepertinya kamu sudah sembuh. Kenapa kamu terlihat seperti tidak akan ke sekolah?"
Mendengar ucapan bernada sinis itu, Annabella terpaksa berhenti melangkah, tapi dia tidak menoleh ke orang yang berbicara, apalagi ke arah meja makan. Lalu terdengar dia berkata bernada datar, dingin, tapi tenang.
"Masihkah Tuan Abraham sudi memperhatikan aku yang sudah disia-siakan ini, tapi dianggap sebagai pembangkang?"
"Jangan berkata begitu, Bella," nada suara Nyonya Chalinda terdengar melunak. "Kami sebenarnya memperhatikan keadaanmu...."
"Hanya saja kamu tidak menganggap itu sebagai kebaikan," lanjutnya masih bernada lembut. "Malah kamu menyalah artikan perhatian dan nasehat yang kami berikan."
Annabella seketika berbalik menghadap Chalinda Winata, lalu menatap wanita paruh baya itu dengan datar bercampur dingin. Tapi bibirnya sedikit tersenyum, senyum kebencian.
Melihat aura mengerikan pada Annabella itu, membuat hati Chalinda terkejut takut. Entah kenapa, saat merasa anak ke empatnya itu telah berubah, membuatnya takut terhadapnya.
"Oh begitukah, Nyonya Chalinda?" ucapnya bernada tenang. "Apakah penindasan yang kalian lakukan padaku selama ini, itu yang kau anggap sebagai perhatian?"
Hati Nyonya Chalinda semakin terkejut mendengar ucapan Annabella, tidak menyangkan anak itu bisa membalikkan ucapannya. Sekaligus dia tercekat dalam diam, tak bisa membantah ucapan itu.
Semua orang di meja makan itu juga terkejut, tidak menyangka Annabella dapat mengatakan ucapan seperti itu. Sekaligus mereka terkejut melihat Annabella semakin berani sekarang.
★☆★☆
"Kamu pantas mendapat pelajaran atas kesalahan yang kamu lakukan," Abraham Winata berusaha memberanikan diri dengan berkata sinis seperti itu. "Jangan kamu anggap kami menindasmu."
Entah kenapa, melihat aura Annabella yang sekarang, dia juga menjadi sedikit takut kepada putrinya itu. Tapi rasa takutnya itu berusaha dia tutup rapat-rapat dengan tetap bersikap tegas kepada Annabella.
"Ha ha ha! Sang istri menganggap penindasan sebagai perhatian, sedangkan sang suami menganggapnya sebagai suatu pembelajaran," kata Annabella sambil tertawa ringan. "Sungguh pasangan suami istri yang pintar."
Jelas oleh mereka semua kalau ucapan Annabella itu bukanlah suatu pujian, melainkan sebagai suatu penghinaan dan peremehan.
Membuat Abraham Winata menahan kegeraman yang sangat, membuat Chalinda Winata menahan napas akibat kelancaran dan kekurang ajaran yang diperlihatkan oleh Annabella di pagi ini.
Sehingga beberapa saat lamanya mereka tak bisa berkata-kata. Hanya mampu menatap Annabella dengan berbagai macam perasaan.
"Kamu semakin lancang saja, Bella!" bentak Arden akhirnya, tak kuasa menahan amarah dan kebencian sejak kemunculan Annabella di ruangan ini.
Meski saat ini dia mulai waspada terhadap Annabella kalau tidak mau dibilang takut.
"Kamu semakin kurang ajar saja, Bella," ucap Dareen bernada dingin sambil terus menatap tajam pada Annabella.
"Bella, kenapa kamu... jadi semakin kurang ajar begini?" desah Nindira penuh kesedihan dan kekecewaan.
Sementara si gadis jahat, Nikita yang selalu menyembunyikan keburukannya di balik sikap santun dan lemah lembutnya, juga tercekat diam melihat keberanian Annabella yang semakin menggila.
Otak licik dan kotornya langsung bertindak, jika saat-saat seperti ini jangan berbuat masalah dengan gadis itu. Sewaktu-waktu Annabella main gila tanpa ada yang bisa menahan.
Benarkah?
Seketika dia memikirkan Dareen sambil melirik sekilas kakak pertamanya itu. Kehebatan Dareen dalam bela diri melebihi kehebatan Arden.
Lagi pula, pikir Nikita, bisa saja Arden dalam kondisi kurang fit tadi malam. Lagi pula Arden sudah lama tidak melatih bela dirinya karena sibuk dengan pekerjaannya sebagai aktor film.
Jadi Annabella mengalahkan Arden dengan mudah bisa saja karena kebetulan. Menurut analisanya.
Memikirkan analisa itu, Nikita akan menyusun drama agar supaya Dareen menindaki Annabella. Dan Arden pasti akan membantunya.
Namun tanpa Nikita sadari jika rencana busuknya itu telah diidentifikasikan ke dalam pikiran Fiorella yang saat ini menatap mata Nikita. Kebetulan Nikita sedang tidak menatap ke arahnya karena sibuk menyusun rencana busuk.
Menyadari Nikita telah menyusun rencana busuk, sebenarnya Annabella ingin meladeni. Tapi karena dia banyak urusan hari ini, dia enggan untuk meladeni.
"Tuan Abraham," Annabella kini fokus pada ayah kandungnya itu, mengabaikan semua teguran dan keterkejutan orang-orang yang ada di situ, "aku ingin dibelikan mobil. Bisakah kau membelikan untukku?"
Pertanyaan itu hanyalah sebagai pengalihan saja agar Nikita tidak melancarkan rencananya. Lagi pula dia ingin tahu bagaimana reaksi Abraham Winata terhadap permintaannya yang wajar-wajar saja itu.
★☆★☆
"Hah! Setelah kamu membuat kekacauan, setelah kamu menunjukkan kekurang ajaranmu, kamu mau meminta imbalan?" dengus Abraham Winata penuh emosi. "Jangan harap papa memberimu mobil bahkan motor sekalipun."
"Oh, jadi kau benar-benar nggak mau membelikan aku mobil, Tuan Abraham?" tanya Annabella seraya tersenyum sinis.
"Papa ingin melihat kamu menjadi anak baik seperti adikmu itu," sahut Abraham Winata seakan memberi harapan, "baru papa akan memberimu hadiah."
"Baiklah, Tuan Abraham, aku nggak akan meminta apapun darimu mulai saat ini," kata Annabella menanggapi dengan tenang, tanpa emosi tanpa amarah.
"Bella, sejak kemarin hingga sekarang, kamu seperti menganggap kami orang lain," kata Chalinda Winata seakan baru tersadar perubahan sikap Annabella itu. "Kenapa, Nak?"
"Kami masih keluargamu, Bella," lanjut Chalinda Winata seolah-olah mengingatkan sekaligus menegaskan. "Kamu jangan menganggap kami orang lain ya!"
"Kenapa katamu, Nyonya?" tanggap Annabella masih tetap tenang. "Karena dari dulu, semenjak aku masuk ke dalam rumah ini, kalian semua telah menganggap aku sebagai orang lain...."
"Hanya saja aku baru menyadarinya," lanjutnya masih tetap tenang dan santai. Tapi sebenarnya Annabella menyembunyikan rasa kecewanya dalam ucapan itu.
"Kak Bella," Nikita mencoba memulai dramanya, "nggak ada yang menganggap kamu orang lain. Papa, mama, serta kakak-kakak, mereka semua menganggap kamu keluarga."
Sambil berkata Nikita menampakkan mimik rasa takut, seolah dia terancam akan sikap Annabella yang liar itu.
"Yang orang lain adalah aku, Kak," lanjut Nikita makin mempermanis dramanya. "Sementara kamu tetap bagian dari keluarga ini, apapun yang kamu perbuat."
"Iya 'kan, Pa, Ma, kakak sekalian?" Nikita menoleh pada mereka semua, ingin melihat reaksi keluarga angkatnya itu akan drama yang dibuat.
"Adikku tetap kamu, Niki," kata Arden bernada ketus. "Sedangkan gadis liar itu bukan."
"Dengan sikapnya yang semakin liar seperti itu, apakah pantas dia menjadi adikku?" kata Dareen tetap dingin, sikap maupun ucapannya terhadap Annabella. Ucapannya itu mengandung arti jika dia seolah tidak menganggap Annabella sebagai adiknya, meski sedarah.
"Bella, kamu tetap bagian dari Keluarga Winata," kata Nindira bernada bijak, memang tapi dia masih naif. "Aku tetap kakakmu, kamu tetap adik kandungku."
Annabella tidak ingin meladeni permainan Nikita dulu. Dia ingin segera pergi dari sini, tak mau lagi menunda.
"Maaf, Tuan Abraham, kalau nggak ada lagi hal penting yang hendak dibicarakan denganku," ucapnya sambil siap-siap berbalik pergi, "biarkan aku pergi!"
Tanpa menunggu jawaban atau tanggapan dari Abraham Winata maupun yang lainnya, Annabella segera berbalik dan siap melangkah pergi.
"Bella, kamu mau ke mana?" Nindira masih menunjukkan kepedulian. "Sarapan dulu dengan kami!"
"Coba kau hitung, berapa jumlah kursi yang ada di meja makan itu, Nona Nindira?" tanya Annabella bernada datar, tanpa berbalik. "Apakah ada kursi yang dipersiapkan untukku di situ?"
"Nggak ada 'kan?" lanjutnya seolah menjawab sendiri pertanyaannya yang memang dia sudah tahu.
"Barusan kau mengatakan kalau aku termasuk bagian dari Keluarga Winata, tapi kursi makan saja aku nggak disiapkan di meja makan. Sungguh aneh...."
Lalu Annabella langsung melangkah tanpa perduli apapun yang terjadi. Dia tetap pergi walau siapapun mencoba menahan dengan apapun.
Sementara semua orang yang ada di meja makan, langsung terdiam mendengar ucapan Annabella yang sungguh menohok itu.
Barusan Nindira mengatakan bahwa Keluarga Winata menganggap Annabella sebagai bagian keluarga. Tapi nyatanya semisal kursi makan saja Annabella tidak mempunyainya.
Sungguh miris.
Sementara suasana ruang makan masih dibekap dengan kebisuan. Semua orang di situ tetap diam sambil memikirkan tentang ucapan Annabella yang memang benar adanya.
★☆★☆★