Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Karena kau Hamil anak pria lain!
Cahaya pagi merayap pelan melalui celah tirai ruangan bayi, menimpa wajah Anna yang tertidur di kursi goyang. Hembusan angin lembut membuat bayangan tirai bermain di dinding.
Anna menggeliat pelan. Kelopak matanya terbuka perlahan, dan sesaat ia tidak mengingat apa pun, sampai ia merasakan berat kecil dan hangat di dadanya.
Bayi laki-laki itu tertidur pulas di pelukannya, wajah mungilnya menempel pada dada Anna. Anna menatapnya dan untuk sekejap, senyum rapuh muncul di bibirnya. Air mata yang tidak diundang jatuh perlahan.
“Sayang…” bisik Anna lirih, ketika ia hendak mencium kening bayi itu, ia tersentak menyadari seseorang duduk tak jauh darinya.
Kapten Dirga, masih dengan pakaian semalam, tanpa tidur, duduk di kursi seberang sambil memandang mereka diam-diam. Tatapan itu sulit dijelaskan. Bukan hanya iba. Bukan sekadar perhatian. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang bahkan ia sendiri belum siap akui.
Anna menegakkan tubuh, sedikit panik.
“Ka–Kapten Dirga … saya … saya ketiduran. Maaf saya...”
“Tidak apa-apa.” Suaranya rendah, tenang.
“Kamu memang butuh istirahat yang banyak.”
Anna menggigit bibir, merapikan selimut bayi. Dirga berdiri perlahan, mendekati mereka. Ia berhenti tepat di depan Anna yang memeluk bayi itu. Beberapa detik ia hanya melihat. Diam. Seolah menelaah setiap garis wajah bayi itu. Lalu, sesuatu di raut wajah Dirga berubah.
Alisnya terangkat sedikit. Matanya menyipit, bukan marah melainkan tersentak, seperti ada potongan puzzle yang tiba-tiba cocok pada tempatnya.
Bayi laki-laki itu, memiliki bentuk mata yang sama dengannya.
Lengkung alisnya mirip, lekuk hidung mungilnya identik dengan hidung Dirga saat bayi karena ia pernah melihat foto lamanya ketika kecil, bahkan garis rambutnya,
“Kapten?” suara Anna memanggil, pelan.
Dirga tersadar, menelan ludah.
“Tidak…” Ia menggeleng sedikit.
“Hanya … dia mirip seseorang.”
Anna mengusap pipi bayi itu, suaranya lirih.
“Dia sangat tenang kalau saya peluk … seperti sedang dekat ibunya.”
Dirga menatap Anna.
“Aku tahu.”
Dia membalikkan badan sebentar, menyembunyikan kegelisahan yang mulai menghantui.
'Apakah ini benar? Apakah ini … anakku?' bisik Kapten Dirga ragu, dia lalu menarik napas panjang sebelum berbalik lagi.
“Anna,” katanya lembut namun tegas, “setelah sarapan, aku antar kamu kontrol ke rumah sakit. Dokter bilang kamu harus diperiksa lagi.”
Anna refleks mengangguk.
“Baik, Kapten. Terima kasih … untuk semua bantuan Kapten.”
Dirga tidak membalas, tatapannya justru kembali turun pada bayi itu lebih lama dari sebelumnya. Bayi laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan bibirnya, seperti ingin mengoceh meski masih tidur. Gerakannya identik sekali dengan video bayi Dirga saat usia dua bulan yang ada di ponsel bibinya.
Dirga menegang. 'Ini bukan kebetulan. Tidak mungkin hanya mirip. Apakah benar … setelah malam itu, Anna...' Dia memalingkan wajah cepat-cepat sebelum Anna melihat getar kecil dalam matanya.
“Bersiaplah,” katanya singkat.
“Kita berangkat sebentar lagi.”
Anna tersenyum kecil untuk pertama kalinya ia tersenyum sejak tragedi hidupnya dimulai.
“Baik, Kapten.”
Dirga melangkah pergi. Namun sebelum pintu tertutup, ia sempat menatap sekali lagi ke arah Anna yang memeluk bayi itu.
Beberapa jam telah berlalu, kini mereka sudah tiba di rumah sakit. Koridor rumah sakit selalu ramai di pagi hari, namun pagi itu terasa berbeda bagi Anna. Baru keluar dari toilet dengan wajah sedikit pucat setelah pemeriksaan, ia hendak kembali ke ruang dokter. Namun langkahnya terhenti ketika sosok yang paling tidak ingin ia temui muncul di ujung lorong.
Pria itu berdiri dengan wajah menegang, matanya menyapu keadaan sekitar sebelum akhirnya tertuju pada Anna. Tatapan itu membuat punggung Anna meremang.
“Anna…” desis Dimas, suaranya rendah tapi jelas penuh tekanan.
Anna menelan ludah. “Kamu … ngapain di sini, Mas?”
“Tentu saja mencarimu.” Dimas melangkah makin dekat. Tangannya tiba-tiba meraih lengan Anna dan menariknya sedikit menjauh dari pintu toilet. “Kita harus bicara.”
Anna berusaha melepaskan diri. “Lepasin, Mas. Kita nggak punya urusan lagi.”
“Justru kita punya urusan besar!” Dimas bersuara keras, membuat beberapa orang menoleh. “Kau sudah menghancurkan hidupku, Anna!”
Kata-kata itu membuat dada Anna naik turun menahan marah, tatapannya berkilat.
“Aku yang menghancurkan hidupmu?!” Anna balas berteriak, suara yang selama ini ia pendam akhirnya pecah. “Mas Dimas yang menghancurkan hidupku!"
Dimas tersentak, tapi Anna tak berhenti.
“Kau kirim aku ke kamar hotel untuk pria asing! Kau biarkan aku diperlakukan seperti itu! Lalu setelah aku melahirkan, kau buang aku! Sekarang kau bilang aku yang salah?!” mata Anna berair, tapi suaranya tetap tegas.
Wajah Dimas berubah, marah dan tersinggung dari kata-kata Anna barusan.
“Aku lakukan itu karena kau hamil anak pria lain! Itu bukan anakku, Anna!” bentak Dimas lantang hingga gema suaranya memantul di sepanjang koridor.
Anna membeku.
"Apa?” suaranya hampir tak terdengar.
Dimas mendengus kasar. “Selama kita berhubungan, aku selalu pakai pengaman dan itu selalu tak pernah lupa. Aku bahkan pastikan kau minum obat. Tapi setelah malam itu, sebulan kemudian kau positif hamil? Kau pikir aku tidak tahu?”
Dunia Anna seperti berhenti berputar. Selama ini dia berpikir bayi itu adalah anak Dimas. Ia yakin dan dia tidak pernah membayangkan kemungkinan lain.
Napasnya tercekat.
“Maksud Mas … selama ini … aku hamil bukan karena...”
Langkah Anna goyah, tubuhnya gemetar. Namun sebelum Anna bisa menyelesaikan kalimatnya, Dimas tiba-tiba terdiam. Matanya melebar, bukan lagi menatap Anna tetapi sesuatu atau seseorang di belakang Anna.
Wajahnya mendadak pucat, Anna yang melihat perubahan ekspresi itu perlahan menoleh.
Di ujung koridor, berdiri Kapten Dirga, tegap dengan seragamnya, rahangnya mengeras, kedua matanya menatap ke arah mereka dengan sorotan yang tak bisa dibaca. Dan di tangan kirinya masih tergenggam map hasil pemeriksaan dokter.
Keheningan merayap, dan napas Anna tercekat. Dimas seperti kehilangan kata-kata.
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕