NovelToon NovelToon
SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi / Permainan Kematian / Sistem
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: chiisan kasih

Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

REAKSI ARKA DAN KRITIK YANG MENGGUNCANG

Gembok berkarat itu menertawaiku. Meskipun utang Rp.12.000.000 sudah lunas dan Kinara berhasil membuktikan bahwa aku bisa memenangkan permainan mereka, kunci dari tubuh ini—dari jiwa Amara yang sebenarnya—masih tersembunyi jauh di luar jangkauanku.

Aku membalik buku harian bersampul hitam itu berulang kali, mencoba menggoyahkan penguncian kecil yang dingin. Percuma. Jika Amara menyembunyikannya begitu rupa, berarti isinya sangat penting, mungkin berbahaya.

T-I-T-I-K N-O-L.

Aku tahu bahwa untuk benar-benar mengalahkan sistem dan membersihkan nama Amara, aku harus memahami apa yang menghancurkannya pada awalnya. Kehancuran sebelum Serena datang, kehancuran sebelum utang judi online. Titik awal kegelapan. Dan seolah-olah penemuan ini menjadi bahan bakar baru, fokusku kembali tertuju pada Target 1: Pak Arka dan ujian tengah semester Sosiologi Kritis.

Esai ini bukan lagi sekadar misi akademik untuk meraih nilai A. Esai ini adalah upaya pertamaku untuk menyampaikan kepada dunia bahwa Amara yang mereka kenal adalah produk sampingan dari kegagalan institusional, dan aku harus menyampaikan hal itu kepada orang yang paling membenci institusi, tetapi juga yang paling terikat dengannya—Pak Arka.

Aku menggunakan Skill Fokus Absolut yang aku dapatkan di awal transmigrasi. Lingkungan di sekitar tempat sewaku menghilang. Suara klakson di jalanan, derit kipas angin, semua sunyi. Hanya data, teori, dan kata-kata Pak Arka di kelas yang tersisa. Aku menggabungkan pemikiran Karl Marx dengan pandangan kontemporer Pierre Bourdieu tentang reproduksi sosial, menjadikannya landasan argumenku.

Esai ini harus membakar. Harus menghancurkan citra 'Antagonis Terbuang' yang selama ini disematkan pada Amara, sekaligus membuktikan bahwa aku (Kinara) layak diperhitungkan.

Topik yang aku pilih adalah provokatif: Hukum Besi Meritokrasi Kampus: Bagaimana Keberhasilan Personal Menjadi Dalih untuk Pembiaran Struktur Kekuasaan.

Setelah tiga hari nyaris tanpa tidur, esai itu selesai. Aku mencetaknya. Setiap kalimat terasa berat, menusuk, dan tak tertahankan bagi siapapun yang memuja fasad keadilan kampus.

Aku mengirimkannya ke portal akademik. Tak ada drama, hanya klik. Tapi aku tahu, ini adalah bom waktu.

Reaksi itu datang lebih cepat dari yang kuduga. Dua jam setelah tenggat waktu, notifikasi muncul di ponselku: Sebuah email dari kantor Pak Arka. Judulnya sederhana: ‘Tolong temui saya, sekarang.’

Ruang kantor Pak Arka sunyi dan diselimuti bau kopi yang pekat dan buku-buku lama. Rak-rak di dindingnya tidak berisi piala atau plakat, tetapi dipenuhi jurnal-jurnal teori yang berat.

Pak Arka duduk di belakang meja kerjanya, menyandarkan tubuh. Tangannya menggenggam kertas esai cetakan milikku. Tatapannya dingin, menguji. Bukan lagi tatapan muak yang biasa dia arahkan pada Amara, tetapi tatapan seorang predator yang baru saja menemukan anomali.

“Silakan duduk, Nasywa,” ujarnya, nadanya tanpa emosi.

Aku duduk di kursi di hadapannya. Jantungku berdebar kencang. Jika dia marah karena esai itu terlalu ofensif, aku harus siap untuk mempertahankan setiap argumenku.

“Saya membaca esai ini,” katanya, menepuk kertas itu pelan.

“Saya telah mengajar di departemen ini selama sepuluh tahun, Nasywa. Saya membaca ratusan esai UTS. Tapi yang ini, saya harus jujur, terasa seperti sebuah parodi yang serius.”

“Maksud Bapak?” tanyaku, menjaga suaraku tetap tenang.

“Amara Nasywa. Mahasiswi yang absen empat kali dari tujuh pertemuan, yang IPK-nya 0.9, yang secara terbuka dipermalukan di kelas saya dua minggu lalu karena skandal utang judi online—menulis esai yang menghancurkan struktur pendidikan tinggi, dengan referensi yang nyaris sempurna ke Althusser, dan dengan kemarahan ideologis yang kuat,” jelas Pak Arka, mencondongkan tubuhnya ke depan.

“Mengapa saya harus percaya bahwa esai ini ditulis oleh Anda? Dan bukan oleh seseorang yang dibayar untuk memperbaiki reputasi Anda?”

Aku tersenyum kecil. Itu adalah kritik yang wajar.

“Pak Arka, apakah Bapak merasa saya membayar seseorang hanya untuk membongkar fondasi argumen meritokrasi yang Bapak ajarkan di kelas, menggunakan bahasa yang bahkan mungkin Bapak anggap terlalu agresif?” balasku.

“Bukankah membayar orang untuk esai, alih-alih mencoba membuktikan diri, justru merupakan perilaku yang sangat ‘Amara Nasywa’?”

Dia diam sejenak, tampaknya terkejut dengan kecepatan retoris yang aku tunjukkan.

“Jawab saja pertanyaan saya. Apakah Anda yang menulis ini?” tanyanya, lebih tegas.

“Ya, saya. Saya menulis setiap kata, Pak. Dan saya tidak perlu membayar siapapun karena saya memiliki bukti yang paling kuat untuk mendukungnya.”

“Apa buktinya?”

“Saya sendiri,” kataku lugas. “Saya adalah bukti kegagalan struktural itu. Anda ingin bukti bagaimana meritokrasi ini hanya dalih untuk pembiaran? Lihatlah saya, Pak. Amara Nasywa adalah mahasiswa yang secara sempurna telah melalui proses diskriminasi dan penghakiman struktural. Saya dicap gagal. Saya dikeluarkan dari lingkaran elit. Saya dianggap sebagai variabel yang harus dibuang, persis seperti yang Bapak kritisi.”

Pak Arka mengambil kacamatanya, memijat pangkal hidungnya. “Ini menarik. Sangat menarik, Nasywa. Anda mengubah posisi korban Anda menjadi senjata filosofis.”

“Karena itu yang selalu Anda ajarkan, bukan? Sosiologi Kritis bukan tentang menganalisis masalah, tapi menggunakan analisis itu sebagai palu untuk merombak struktur. Saya tidak meminta simpati, Pak. Saya menggunakan posisi saya yang paling lemah untuk menunjukkan bahwa Sistem Ranking yang diidolakan kampus ini adalah sampah,” desakku.

Pak Arka menyandarkan punggung lagi. “Bagus. Saya menghargai keberanian itu. Tapi keberanian saja tidak cukup untuk nilai A. Kita bicara tentang konten. Di paragraf ketiga, Anda menyebutkan bahwa ‘kampus tidak menyediakan wadah untuk kegagalan yang produktif.’ Bisakah Anda elaborasi? Kenapa kegagalan harus produktif?”

Aku meraih peluang itu. “Tentu saja, Pak. Sistem Ranking ini, SPU (Sistem Pengendali Universitas), dan Target Pilihan BEM, semua didesain untuk menempatkan mahasiswa pada jalur cepat menuju korporat (Target 4). Begitu seorang mahasiswa seperti saya—seperti Amara yang dulu—gagal di luar jalur itu, sistem akan langsung menolaknya. Tidak ada mekanisme koreksi, hanya mekanisme penghapusan.”

Aku menatap matanya, membiarkan kemarahan Kinara yang sebenarnya (karena Kinara juga gagal dalam hidupnya yang asli) tercermin dalam pandanganku.

“Jika mahasiswa dibiarkan gagal, tetapi didukung untuk belajar dari kegagalan itu—untuk menjadi reformator atau kritikus yang kuat, bukan pekerja pabrik—maka kegagalan itu produktif. Kampus ini, Pak, hanya melahirkan drone yang takut gagal, dan mereka yang gagal (seperti saya) hanya dihancurkan agar citra kampus tetap bersih. Itulah sebabnya meritokrasi di sini adalah dusta. Keberhasilan diukur dari kepatuhan, bukan integritas intelektual.”

Pak Arka terdiam. Kali ini, bukan karena terkejut, melainkan karena berpikir keras. Ada percikan gairah di matanya yang lama tidak kulihat. Dia mulai melihat Kinara/Amara bukan sebagai masalah, tetapi sebagai alat.

“Siapa yang mendorong Anda ke arah ini, Nasywa? Dua minggu lalu, Anda tidak peduli tentang ‘Integritas Intelektual.’ Siapa yang membuka mata Anda?” tanyanya. Dia mencurigai ada orang di belakangku—mungkin Rendra, atau pihak yang berseteru dengan Rendra.

“Diri saya sendiri. Dan kegagalan saya,” jawabku, memutuskan untuk tidak menyebut Rendra yang baru saja menyelamatkanku, apalagi sistem yang memberiku skill.

“Apakah Anda menyadari risiko dari apa yang Anda tulis di sini?” tanya Pak Arka, kini dengan nada memperingatkan.

“Esai ini, jika sampai ke telinga Rektorat, atau dibaca oleh pihak BEM—atau bahkan penyandang dana kita—Anda bisa menghadapi sanksi akademik yang jauh lebih serius daripada IPK 0.9.”

“Risiko? Apakah saya memiliki hal lain untuk dipertaruhkan, Pak? Reputasi Amara sudah nol. Utangnya sudah nyaris menjerat. Sekarang, saya menggunakan apa yang tersisa—keberadaan saya sebagai bukti hidup—untuk menantang apa yang selama ini Bapak hanya berani tulis di jurnal, tetapi tidak Bapak sampaikan di depan rektor,” kataku menantangnya.

Ketegangan memuncak. Aku merasa dialah yang kini harus memilih. Apakah dia akan melindungi institusi, atau melindungi idealisme kritis yang selalu ia junjung.

Pak Arka akhirnya mengambil pulpen, menarik nafas panjang, dan melingkari salah satu kalimat di esaiku.

“Baik. Saya akui, secara intelektual, ini adalah karya yang jenius. Sangat berani dan, sayangnya, sangat benar. Anda tidak hanya menjawab pertanyaan UTS, Nasywa. Anda menantang sistem yang memfasilitasi ujian itu,” ujarnya, raut wajahnya melembut.

“Namun, saya tidak akan memberikan Anda nilai akhir sekarang. Masih ada presentasi akhir yang menentukan, dan presentasi itu harus lebih dahsyat dari esai ini.”

“Saya mengerti, Pak.”

“Tapi ada hal lain. Amara Nasywa yang saya kenal adalah fasad. Fasad yang berisik, bodoh, dan mudah diprediksi. Anda saat ini... Anda adalah anomali. Anda bukan fasad, Nasywa. Anda adalah antitesis yang terstruktur. Saya akan mengawasi Anda dengan sangat ketat.”

Pak Arka menatapku, tatapannya kini tidak lagi meremehkan, melainkan rasa hormat intelektual yang baru terbentuk.

“Pastikan presentasi akhir Anda tidak mengecewakan. Jika Anda gagal, saya akan menghancurkan Anda lebih keras dari sistem ini. Jika Anda berhasil, maka saya akan memastikan suara Anda tidak bisa dibungkam oleh administrasi kampus.”

Dia baru saja menyatakan diri sebagai pelindung potensialku, hanya karena aku berhasil memicu gairah kritisnya. Aku sudah melangkah ke Level 1 hubungan Target 1: Kinara berhasil menarik perhatian khusus Pak Arka, bukan sebagai objek romantis, tetapi sebagai rekan ideologis.

Aku bangkit. “Terima kasih atas waktu Bapak, dan atas peringatannya, Pak Arka.”

“Sama-sama. Sekarang pergilah. Dan satu lagi, Nasywa.”

Aku berhenti di ambang pintu.

“Pelajari tentang Mastermind Sistem Ranking kita. Saya yakin, kritikus sejati tidak hanya menyerang hasil, tetapi juga mengetahui sejarah penciptaannya. Mulai cari siapa orang di balik SPU.”

“Saya akan melakukannya, Pak.”

Aku keluar dari kantor Pak Arka dengan sensasi baru yang membakar di dadaku. Kinara tahu dia baru saja membuka pintu kolaborasi tak terduga dengan Target 1, yang akan menjadi sangat penting untuk Misi Seri 3.

Ketika aku kembali ke kelas sore itu, atmosfer di kampus terasa lebih padat. Beberapa mahasiswa, termasuk Rendra (Target 2), terlihat lebih serius dari biasanya. Mungkin esai-esai mereka dibantai oleh Pak Arka.

Saat berjalan menuju kafetaria, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Biasanya, aku akan mengabaikannya, tetapi aku memiliki firasat buruk.

Pesan itu dikirim melalui akun media sosial anonim.

[ANDA SEHARUSNYA TIDAK MENYENTUH URUSAN AKADEMIK KAMI. ESAI YANG TERLALU MENCOLOK HANYA AKAN MEMPERCEPAT KEJATUHAN ANDA. JANGAN BERPIKIR KARENA KAU MENDAPAT NILAI BAGUS DARI DOSEN ANARKIS ITU, KAU AKAN BERADA DI JALUR AMAN.]

Jantungku mencelos. Hanya Pak Arka, aku, dan beberapa asisten akademik yang seharusnya mengetahui kualitas esaiku secepat ini.

Siapa yang mengirim ini?

Di bawah pesan tersebut, ada tanda tangan aneh: logo BEM, tapi dimodifikasi dengan warna merah darah.

Tiba-tiba, aku menyadari. Outline Misi Seri 1 (Bab 12) menyebutkan: "Ancaman dari BEM: Kinara mendapat peringatan dari anggota BEM (faksi Target 2) untuk 'tidak terlalu mencolok.'"

Meskipun Rendra secara pribadi menyelamatkanku dari penagih utang, faksi di bawahnya tidak semuanya setuju dengan ‘Amara yang Baru.’ Atau, mungkin, ini bukan Rendra. Ini adalah anak buahnya yang setia pada idealisme otoriter BEM yang lama. Atau bahkan, Serena (Antagonis Utama) mulai menggunakan pengaruhnya di jaringan BEM.

Saat aku mencoba membalas pesan tersebut, Rendra, sang Ketua BEM, muncul di depanku, ekspresinya kaku seperti biasa.

“Nasywa,” sapanya, tanpa basa-basi.

“Rendra,” balasku, menyembunyikan ponsel di belakang tubuhku.

“Saya dengar Pak Arka memanggil Anda ke kantornya,” kata Rendra, suaranya sangat formal, meskipun kami hanya berjarak satu langkah.

Aku menatap matanya, mencari petunjuk apakah dialah yang mengirim pesan peringatan tadi. “Seorang dosen memanggil mahasiswanya. Apakah itu berita BEM sekarang?”

“Tidak. Tapi mahasiswa yang mendapatkan perhatian intelektual dari Pak Arka, padahal mahasiswa itu punya catatan paling buruk dalam sejarah departemen Sosiologi—itu berita yang perlu diawasi,” Rendra melipat tangannya. “Jangan berpikir esai Anda, yang saya dengar menghina seluruh struktur ini, akan berlalu begitu saja.”

“Jadi, kamu memperingatkanku, Rendra? Sama seperti temanmu Guntur, yang kamu bilang terlalu emosional?”

Rendra menghela napas, terlihat lelah dengan dramanya. “Bukan saya yang memperingatkan Anda. Tapi saya ingin Anda tahu bahwa BEM memiliki banyak mata. Ada beberapa pihak yang merasa Amara Nasywa seharusnya tetap menjadi debitur gagal, bukan seorang reformis dadakan.”

Dia memberiku kode yang samar namun jelas. Faksi dalam BEM, atau mungkin entitas di luar BEM, tidak suka dengan arah Kinara. Ancaman itu nyata.

“Aku menghargai nasihatnya. Tapi seperti yang aku katakan pada Pak Arka, aku tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan,” ujarku dingin.

Rendra hanya menggelengkan kepala. “Semua orang selalu punya sesuatu untuk dipertaruhkan, Nasywa. Terutama ketika menyentuh idealisme. Ambil nasihat saya, turunkan tensi kritisisme Anda. Bertarunglah di Debat Internal. Itu adalah arena resmi. Jangan menantang naga di sarangnya sebelum waktunya.”

Rendra pergi secepat dia datang, lagi-lagi meninggalkan bayangan misterius dan ancaman tak langsung.

Kinara tahu, ancaman itu adalah alarm. Keberhasilanku memenangkan kuis, melunasi utang, dan esai yang jenius ini, semuanya membuat Kinara terlalu mencolok. Target 2 telah memberikan peringatan yang ambigu, sementara Target 1 (Pak Arka) kini menjadi tertarik.

Aku mengeluarkan ponsel lagi. Aku membiarkan pesan ancaman dari BEM itu tak terbalas. Tapi aku mulai mempersiapkan diriku. Kinara tidak bisa hanya fokus pada Target 1 atau 2. Aku harus mulai mempersiapkan pertempuran terbesarku—presentasi akhir Sosiologi yang akan menentukan nilai A dan nasib misiku di Seri 1. Jika esai ini provokatif, presentasi itu haruslah deklarasi perang.

1
Tara
ini system kok kaga bantuin. kasih solusi kek bukan cuman ngancam aja🤭😱🫣
Tara: betul betul betul...baru kali ini ada system absurd😱😅🤔🫣
total 2 replies
Deto Opya
keren sekali
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!