Tanggal pernikahan sudah ditentukan, namun naas, Narendra menyaksikan calon istrinya meninggal terbunuh oleh seseorang.
Tepat disampingnya duduk seorang gadis bernama Naqeela, karena merasa gadis itu yang sudah menyebabkan calon istrinya meninggal, Narendra memberikan hukuman yang tidak seharusnya Naqeela terima.
"Jeruji besi tidak akan menjadi tempat hukumanmu, tapi hukuman yang akan kamu terima adalah MENIKAH DENGANKU!" Narendra Alexander.
"Kita akhiri hubungan ini!" Naqeela Aurora
Dengan terpaksa Naqeela harus mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih demi melindungi keluarganya.
Sayangnya pernikahan mereka tidak bertahan lama, Narendra harus menjadi duda akibat suatu kejadian bahkan sampai mengganti nama depannya.
Kejadian apa yang bisa membuat Narendra mengganti nama? Apa penyebab Narendra menjadi duda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arion Alfattah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - Kedatangan Bapak
Untuk sesaat, kedua mahluk ciptaan tuhan itu mematung, mata mereka saling menatap satu sama lainnya dan terlihat begitu intim dimana Naqeela duduk dalam pangkuannya Narendra.
Naqeela melepaskan diri dari pangkuannya Narendra. Wajahnya merah bak kepiting rebus, malu sungguh malu terjatuh dipangkuan suaminya.
Namun berbeda dengan Narendra, dia tetap terlihat cool seakan tidak terjadi sesuatu. "Kamu mau menggoda saya, hah? Kamu pikir dengan cara menyerahkan diri pada saya, saya akan luluh sama kamu? Tidak akan!"
Hah! Naqeela terkejut, perasaan dari tadi dirinya melamun, tidak berniat menggoda siapapun, tapi kenapa pria itu menyalahkannya? Sungguh pria arogan yang suka bertindak semaunya saja.
"Dih, siapa yang menggoda? Justru kamu yang sudah menarik tangan aku dan berakhir duduk di pangkuan kamu. Atau jangan-jangan kamu lagi yang memang sedang modus sama aku?" tebak Naqeela seraya memicingkan mata curiga. Tubuhnya pun condong ke depan.
"Jangan kegeeran kamu, tuh di depan bel bunyi terus dari tadi, buruan buka!" Narendra mengalihkan pandangannya dari Naqeela dan menggerakkan kursi rodanya.
Naqeela menghela nafas panjang. "Jatuh cinta pun tidak masalah, toh kita sudah suami istri," sahut seraya beranjak dari sana.
"Jatuh cinta? Bahkan aku tidak tahu rasanya jatuh cinta itu seperti apa." gumam Narendra pelan sambil berlalu.
*****
Ting.. Tong..
"Tunggu sebentar!" Sesampainya di dekat pintu, Inara menguak pintunya.
Ceklek.
Dan ketika melihat siapa yang datang, senyum Naqeela seketika mengembang. "Bapak, Zae, kalian disini?" Gadis itu segera memeluk orangtuanya.
"Bapak kangen kamu, Kak. Bapak ingin melihat keadaan kamu di sini, Bapak tidak tenang sebelum melihat keadaan kamu," kata Mulyana seraya membalas pelukan Inara.
Naqeela menangis dalam pelukan bapaknya, sudah sekian lama tidak bertemu sejak dia menikah. Ini hari pertemuan mereka lagi dan rindu itu sangatlah besar.
"Qeela juga rindu, Pak. Sangat rindu. Maaf kalau Qeela belum bisa menengok Bapak disana," kata Naqeela sambil mengurai pelukannya. Tangannya menghapus bulir air mata yang sedari tadi membasahi pipi.
"Tidak apa-apa, bapak paham betul tugas seorang istri. Kamu sehat? Bagaimana keadaan kamu di sini? Apa kamu bahagia? Apa suami kamu memperlakukan kamu dengan baik?" Sebagai seorang ayah, Mulyana ingin yang terbaik untuk anaknya, hatinya selalu gelisah memikirkan putri kesayangannya berada di rumah orang dalam keadaan terpaksa.
Perempuan itu tertegun, ia bingung harus menjawab apa. Ingin jujur, tapi takut Narendra marah, ingin bohong tapi hati ingin mengadu atas keluh kesah yang ia rasakan.
"Kak, Bapak sampai sakit memikirkan Kakak. Bapak enggan berobat saking khawatirnya sama keadaan Kakak. Kalau Kakak tidak nyaman tinggal disini kita pulang saja biar Zae yang menggantikan Kakak di hukum," sakit Zaenal tidak bisa melihat keluarganya sedih dan tidak bisa menjaga bapaknya sampai Zae merasa bersalah.
Tanpa mereka sadari, ada sosok yang sedang memperhatikan mereka bertiga dari lantai atas.
Naqeela menggelengkan kepalanya, ia tersenyum tulus seakan menunjukan tidak ada beban dalam hidupnya.
"Aku baik-baik saja, Pak. Mas Narendra juga baik walaupun terkadang suka galak, tapi dia tidak pernah berbuat jahat sama aku, kalau tegas sih sering. Bapak dan Zae tidak usah khawatir, disini, aku baik-baik saja, makan enak, tidak kerja lagi, tidak perlu pulang malam lagi, dan disini pula aku bisa tidur enak."
Dengan terpaksa dia harus berbohong demi kebaikan bapaknya, tapi juga ada kejujuran yang dia ucapkan. Mengenai perilaku Narendra terhadapnya memang tidak pernah main tangan ataupun kasar, kalau hanya membentak saja mah sering.
"Bapak juga harus berobat, harus jaga kesehatan Bapak, tidak boleh banyak pikiran, harus cepat sembuh supaya nanti Qeela punya anak, Bapak sehat walafiat dan bisa main sama cucu Bapak," kata Naqeela seraya tersenyum manis menyembunyikan rasa sesak yang dia rasakan. Entah itu akan terwujud ataupun tidak, Naqeela tidaklah tahu.
"Zae sudah mengajak Bapak berobat tapi Bapak tidak mau terus. Bapak sering batuk-batuk." Zae mengadukan semuanya pada Inara, hanya pada kakaknya, Mulyana suka nurut.
"Pak," tutur Naqeela begitu lembut. Tangan itu menggapai tangan keriput Mulyana, mengecup lembut punggung tangannya dengan hati berdesir sakit harus mengetahui bapaknya sakit karena dia. "Qeela minta Bapak berobat ya, jangan menyiksa diri terus, hanya Bapak dan Zae yang Qeela punya di dunia ini. Qeela ingin Bapak sehat dan panjang umur, Qeela tidak mau Bapak kenapa-kenapa, cukup Ibu yang pergi lebih dulu karena telat berobat, jangan ada lagi, Pak." Mata Naqeela mengeluarkan air mata kesedihan. Masih teringat jelas bagaimana ibunya berjuang dari sakitnya namun tidak tertolong karena terkendala biaya.
"Naqeela takut hiks hiks." Tumpah sudah keresahan yang dia sembunyikan di hadapan orangtuanya. Sedih atas nasibnya sendiri dan sedih tidak bisa menjaga bapaknya.
"Nak." Mulyana segera membawa sang putri kedalam pelukannya. Pun dengan Zae yang ikut masuk kedalam pelukan mereka. Mereka bertiga menangis melampiaskan emosi dalam jiwa atas takdir yang seringkali menyapa mereka.
"Kita kuat, kita harus kuat," ujar Mulyana menyemangati kedua anaknya.
Narendra segera turun menggunakan lift, ia cepat-cepat menghampiri mereka. "Ada apa ini?"
Dan mereka bertiga terkejut, lalu melepaskan pelukannya.
"Oh rupanya ada tamu disini, ada perlu apa kalian kesini? Mau minta uang?"
Deg.
"Mas!" Naqeela bangkit, dia tidak suka Narendra menghina bapaknya. Narendra tertegun, baru kali ini dia mendengar Naqeela menanggulanginya Mas. Biasanya juga suka Tuan, kamu, kadang Om.
"Aku tidak suka cara kamu menghina Bapakku, kami memang miskin, tapi kamu tidak pernah sedikitpun meminta-minta pada orang."
"Jangan mentang-mentang Anda kaya seenaknya saja bersuara. Kami kesini karena rindu pada keluarga, bukan untuk meminta uang," kata Zae kesal.
Narendra tersenyum sinis. "Benarkah begitu? Tapi saya melihat kalian memang sedang butuh uang, mau berobat? Tidak punya uangnya? Ok, saya akan kasih kalian yang dan setelah itu silahkan tinggalkan tempat ini!" Narendra tidak main-main, dia melemparkan satu gepok uang kehadapan Naqeela. "Ambil dan suruh mereka pergi!"
Deg.
Naqeela dan Zae mengepalkan tangannya marah atas penghinaan Narendra, namun tidak dengan Mulyana yang malah menatap lekat menilai sikap Narendra.
Tidak terima atas sikap Narendra, Naqeela mengambil uang itu dan melemparkannya lagi pada Narendra. "Kami tidak butuh uang itu! Harga diri kami jauh lebih penting daripada uang yang kamu lemparkan! Dasar arogan!" sentak Naqeela berlinang air mata.