NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 — Hujan yang Membawa Kedekatan

Tugas yang diberikan Nyonya Liu kepada Mei Lan untuk menenun pakaian sutra eksklusif dalam tiga minggu ternyata lebih rumit dari yang diperkirakan. Meskipun Kota Bayangan adalah pusat perdagangan, ramuan pewarna alami tertentu—yang hanya tumbuh di lereng Pegunungan Tujuh Bintang dekat Desa Awan Jingga—tidak tersedia di pasar gelap. Tanpa pewarna ini, Kain Harapan yang dijanjikan Mei Lan tidak akan memiliki kedalaman warna yang ia butuhkan untuk memenuhi janji pada Nyonya Liu.

​Maka, hanya empat hari setelah mereka tiba di kota, Jian dan Mei Lan mengambil risiko terbesar mereka: menyelinap kembali ke batas hutan di luar desa.

​Mereka bergerak sebelum fajar, melewati jalur yang sama yang mereka gunakan untuk melarikan diri, tetapi kali ini, mereka bergerak dengan kesopanan yang lebih dingin, formalitas yang aneh yang Jian paksakan sejak ciuman di jembatan. Jian adalah pelindung yang efisien, tetapi ia kembali membangun dinding di antara mereka, fokus pada misi, dan menghindari keintiman yang tidak disengaja.

​Mei Lan berhasil mengumpulkan akar dan daun yang ia butuhkan di punggung bukit tersembunyi. Saat matahari mulai meninggi, mereka berdua mulai bergerak kembali, berniat mencapai persembunyian mereka di Kota Bayangan sebelum senja.

​Namun, alam memiliki rencana lain. Di tengah perjalanan, langit di atas tiba-tiba menggelap, dan dalam hitungan detik, badai petir besar meletus. Hujan turun bukan dalam bentuk tetesan, melainkan dalam bentuk tirai air yang tebal, membasahi mereka hingga ke tulang. Jalur tanah segera berubah menjadi lumpur licin yang membuat setiap langkah berbahaya.

​“Kita tidak bisa melanjutkan!” teriak Jian, suaranya teredam oleh derasnya hujan. Matanya menyapu hutan dengan panik, mencari tempat berlindung.

​Jian melihat sebuah gubuk kecil yang ditinggalkan, sebuah pondok berburu tua yang sudah lama tidak digunakan, tersembunyi di balik rumpun bambu yang tebal. Pondok itu kotor dan lapuk, tetapi setidaknya memiliki atap. Jian menarik tangan Mei Lan dan mereka berlari, menerobos sisa-sisa hujan dan lumpur.

​Mereka tiba di gubuk kecil itu, terengah-engah. Di dalamnya gelap dan dingin, udara pengap karena jamur dan tanah. Mereka menjatuhkan diri di lantai kayu yang ditutupi tikar jerami berdebu.

​Pakaian mereka basah kuyup, menempel dingin di kulit. Mei Lan mulai menggigil tak terkendali. Ia menggosok lengannya, tetapi udara dingin itu menembus jubahnya yang tipis.

​Jian, meskipun pakaiannya juga basah, terlihat lebih terbiasa dengan kondisi ekstrem. Ia mengeluarkan pisau kecil dan mengupas kulit kayu, mencoba menemukan sisa-sisa kering untuk membuat api, tetapi semua di dalam gubuk itu lembap.

​“Tidak ada api,” kata Jian, nadanya pasrah. Ia melihat Mei Lan. Gadis itu duduk berjongkok, giginya bergemeletuk. Wajahnya pucat pasi.

​“Kau akan sakit,” kata Jian, bergerak mendekat.

​Mei Lan menatap Jian, matanya dipenuhi air mata dingin dan rasa malu. “Saya tidak apa-apa… saya hanya tidak terbiasa dengan dingin seperti ini.”

​Jian tidak menjawab. Ia berlutut di depannya. Matanya yang biasanya dingin kini dipenuhi kekhawatiran yang lembut. Ia tahu, dalam kondisi ini, formalitas tidak ada artinya. Keberadaannya adalah ancaman, tetapi ketidakpeduliannya adalah pembunuh.

​Perlahan, Jian melepaskan jubah luarnya yang tebal. Jubah itu terbuat dari bahan kulit yang diperkuat dan sedikit basah di bagian luar, tetapi dalamnya masih memiliki sisa kehangatan tubuhnya.

​“Lepaskan jubahmu yang basah,” perintah Jian. “Setidaknya ganti dengan ini.”

​Mei Lan menahan napas. Permintaan itu adalah pelanggaran besar terhadap kesopanan mereka, dan di ruangan kecil yang gelap ini, itu terasa terlalu intim.

​“Jian, saya tidak bisa—”

​“Lakukan,” potong Jian, suaranya tenang, tetapi tegas. “Kau menggigil. Aku akan memalingkan wajahku. Lebih baik Kau malu daripada Kau demam.”

​Mei Lan melihat ketulusan di matanya dan mengalah. Ia memalingkan wajahnya ke dinding gelap. Ia dengan cepat melepaskan jubah luarnya yang basah dan pakaian dalam katunnya, hanya menyisakan kain penutup tubuh yang ia lindungi—kain yang sama yang Jian lipat di sungai.

​Jian membalikkan badannya sepenuhnya, menghadap dinding, tetapi ia bisa mendengar desahan kecil Mei Lan saat ia melepaskan pakaiannya. Ia memaksa dirinya untuk fokus pada suara hujan di atap. Indranya yang tajam menangkap aroma tubuh Mei Lan yang bersih, bercampur dengan aroma bumi yang basah.

​Mei Lan dengan cepat membungkus dirinya dengan jubah Jian. Jubah itu besar dan berat, dan yang paling penting, hangat. Itu masih menyimpan kehangatan kulit Jian. Ia merasakan jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena keintiman yang mengejutkan dari bau Jian, kehangatan Jian, yang kini melingkupinya.

​Jian berbalik ketika Mei Lan sudah selesai. Ia kini hanya mengenakan pakaian dalam berwarna gelap, menunjukkan bahunya yang lebar dan lengan yang kuat.

​Mereka duduk berdekatan, bukan karena hasrat, tetapi karena kebutuhan akan berbagi kehangatan. Keheningan itu tebal, hanya dipecahkan oleh suara hujan yang menderu.

​Mei Lan memecah keheningan itu terlebih dahulu. “Kau sangat pendiam sejak ciuman itu, Jian.”

​Jian menunduk, menatap tangannya. “Itu tidak seharusnya terjadi.”

​“Tapi terjadi,” kata Mei Lan, suaranya lembut. “Dan itu nyata.”

​“Aku telah menjelaskan kebenaranku,” jawab Jian. “Aku adalah bayangan. Aku adalah pengkhianat di mata Istana. Benangku adalah benang yang ternoda. Dan aku menarikmu ke dalam benangku.”

​“Saya mengerti ancaman fisiknya,” balas Mei Lan, memegang ujung jubahnya yang ia kenakan. “Tapi saya tidak mengerti ancaman emosionalnya. Apa yang paling Kau takuti? Luka fisik atau kerentanan emosional?”

​Jian mengangkat kepalanya, dan ia menatap Mei Lan dengan pandangan yang dalam, pandangan yang jujur. “Aku tidak takut mati, Mei Lan. Aku takut gagal melindungimu. Aku takut pada kehangatan. Aku terbiasa dengan dingin. Kehangatan membuatku ceroboh.”

​“Luka di punggungmu… apakah itu juga yang membuatmu takut akan kehangatan?” tanya Mei Lan.

​Jian menyentuh bahunya. “Luka itu adalah pengingat bahwa loyalitas bisa dibalas dengan pengkhianatan. Itu adalah harga yang kubayar karena mencoba menjadi benang lurus di jubah yang bengkok. Aku tidak akan pernah membiarkan diriku menjadi lurus lagi. Di dunia ini, yang lurus akan mudah patah.”

​Mei Lan mendekat sedikit, berbagi ruang yang sempit dengannya. “Benang lurus memang mudah patah jika berdiri sendiri. Tapi jika ia dianyam bersama benang lain, ia menjadi fondasi yang kuat. Jian, lukamu… itu bukan aib. Itu adalah sejarahmu. Dan aku tidak akan menenun benang sutra tanpa sejarah.”

​Air mata Mei Lan bercampur dengan air hujan yang membasahi rambutnya. Ia tidak menangis karena kesedihan, melainkan karena keintiman yang dibagikan Jian.

​Jian meraih tangan Mei Lan. Genggamannya lembut, berbeda dengan genggaman besi yang ia tunjukkan di Jalur Batu Ular. “Kau membuatku ingin percaya, Mei Lan.”

​“Aku akan menenun kepercayaan itu untukmu,” bisik Mei Lan.

​Mereka duduk dalam keheningan yang panjang, mendengarkan hujan. Kehangatan jubah Jian meresap ke dalam tubuh Mei Lan, dan kehangatan kehadiran Mei Lan meresap ke dalam jiwa Jian. Itu bukan ciuman, bukan pelukan yang tergesa-gesa, tetapi kedekatan yang terpaksa itu adalah pengakuan emosional.

​Jian tahu, ia telah gagal dalam menjaga jarak. Dinding es yang ia bangun telah retak bukan oleh hasrat, tetapi oleh kebutuhan sederhana Mei Lan akan kehangatan.

​Setelah beberapa waktu, hujan akhirnya mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang menyegarkan. Sinar matahari tipis menembus celah di atap.

​Mei Lan melepas jubah Jian. “Terima kasih,” katanya. Ia mengembalikannya.

​Jian menerimanya, lalu memandang Mei Lan, pandangan itu penuh dengan "getaran baru"—pengakuan bahwa mereka tidak bisa lagi menjadi orang asing.

​“Cepat ganti pakaianmu,” kata Jian, suaranya kembali menjadi perintah prajurit yang dingin, tetapi ada kehangatan yang baru di balik suaranya. “Kita harus pergi sebelum Istana atau Shan Bo menemukan pondok ini.”

​Mei Lan mengangguk, mengambil pakaiannya yang masih lembap. Ia tahu, setelah terperangkap dalam jubah Jian dan berbagi cerita tentang luka, benang mereka telah terikat lebih kuat daripada ciuman apa pun. Mereka keluar dari gubuk itu, meninggalkan keheningan dan keintiman yang dipaksakan oleh hujan, dan bergerak maju menuju ancaman yang nyata.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!