Sejak usia tujuh tahun, Putri Isolde Anastasia diasingkan ke hutan oleh ayahandanya sendiri atas hasutan selir istana. Bertahun-tahun lamanya, ia tumbuh jauh dari istana, belajar berburu, bertahan hidup, dan menajamkan insting bersama pelayan setia ibundanya, Lucia. Bagi Kerajaan Sylvaria ia hanyalah bayangan yang terlupakan. Bagi hutan, ia adalah pewaris yang ditempa alam.
Namun ketika kerajaan berada di ujung kehancuran, namanya kembali dipanggil. Bukan untuk dipulihkan sebagai putri, melainkan untuk dijadikan tumbal dalam pernikahan politik dengan seorang Kaisar tiran yang terkenal kejam dan haus darah. Putri selir, Seravine menolak sehingga Putri Anastasia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Di balik tatapannya yang dingin, ia menyimpan dendam pada ayahanda, tekad untuk menguak kematian ibunda, dan janji untuk menghancurkan mereka yang pernah membuangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Putri Anastasia Lebih Cerdik
Langkah Putri Anastasia bergaung lembut di sepanjang lorong istana yang dingin. Pelayan setianya, Lucia, berada satu langkah di belakang tubuhnya. Ia baru saja berlari mengelilingi taman di paviliun Lily. Sepanjang perjalanan, para pelayan sibuk menenteng nampan perak, budak perempuan menenteng gulungan sutra, sementara aroma mawar yang disusun dalam vas kristal memenuhi udara. Istana bagai semut yang terperangah oleh musim panen, tiada satu sudut pun yang terluput dari kesibukan persiapan.
“Putri, istana tengah bersiap menyongsong pesta rakyat. Besok malam kerajaan tetangga, para bangsawan agung, serta para lord dari negeri jauh akan hadir. Segalanya harus tampak gemilang.”
Anastasia tidak menjawab segera. Tatapannya melayang, menelusuri gemerlap kesibukan itu. Bibirnya hanya terangkat samar, raut yang sulit ditebak oleh siapa pun yang menatapnya.
Dari kejauhan Lady Morgana muncul, melangkah dengan gemulai bak seekor angsa yang terbiasa menguasai danau. Pelayan-pelayan mengiringinya dengan kepala tertunduk, membawa peti kayu mahoni yang sarat berisi perhiasan bertabur zamrud dan rubi. Dalam lengannya terulur kain ungu tua berbordir benang emas, gaun yang besok malam akan memantulkan cahaya ribuan lampu pesta. Ia tidak sabar menjadi pusat perhatian banyak orang.
Begitu juga dengan Putri Seravine, yang memesan gaun biru safir dengan ekor panjang, terbuat dari sutra terbaik yang hanya didatangkan dari negeri seberang. Jemari Seravine menyentuh mutiara pada lehernya, bibirnya bergumam dengan suara lantang jelas dimaksudkan agar terdengar hingga telinga Anastasia.
“Ayahanda menghadiahkan kalung Mutiara ini untukku. Aku beruntung, ayahanda sangat menyayangiku, Ibunda.”
Lady Morgana menimpali dengan senyum anggun, “Tentu, sayangku. Kalung itu menandakan kecantikan dan keanggunan, lambang kejayaan istana Sylvaria. Dan engkau, putriku adalah mahkotanya.”
Lucia melirik pada tuannya, khawatir serangan halus itu akan mengusik perasaan sang putri. Namun Anastasia hanya mengerling singkat. Senyum yang terbit di bibirnya lebih menyerupai ironi daripada kekaguman.
“Biarlah mereka berhias dengan emas, mutiara, dan batu mulia,” bisiknya pelan pada Lucia, namun cukup tajam bagai ujung pedang. “Aku tidak perlu perhiasan untuk membuktikan siapa diriku. Aku berhias dengan kuasa dan darah sah yang bahkan tak dapat dilenyapkan oleh waktu. Sedangkan darah gundik akan tetap gundik meski dililit dengan berlian.”
Sontak Lady Morgana dan Putri Seravine merasa tersindir. Berniat memancing malah justru amarahnya yang terpancing. Seravine hendak menghampiri Anastasia namun langsung ditahan oleh Morgana.
“Tahan dirimu, Putriku. Besok kita akan membalasnya berkali-kali lipat.”
Ketika empat mat aitu bertemu, jelas rencana terselubung terpancar dalam pandangannya.
*
Balairung istana pada malam itu bersinar bak permata raksasa. Tabir sutra berwarna putih menjuntai dari langit-langit tinggi yang dihiasi dengan lentera emas di setiap sudut. Di sepanjang aula, untaian bunga musim gugur menghiasi pilar-pilar, semerbak wanginya bercampur dengan aroma daging panggang, roti hangat, dan anggur segar yang memenuhi meja jamuan.
Musik harpa dan biola menggema, mengiringi tarian ringan para penari istana. Rakyat jelata berjubel di halaman luar, ikut bergembira dengan pesta rakyat, sementara para bangsawan dan tamu kerajaan asing dipersilakan masuk ke dalam balairung agung. Malam itu, istana seolah membuka pintunya bagi seluruh negeri, menyatukan rakyat dan penguasa dalam satu perayaan. Tradisi yang sudah dilakukan sejak lama di Kerajaan Sylvaria.
Satu per satu, para bangsawan masuk dengan gemerlap gaun dan jubah kebesaran mereka. Lady Morgana, dengan rambut pirang keemasannya yang tersanggul tinggi melangkah anggun diiringi Putri Seravine. Keduanya tampak seperti sepasang bintang yang bersaing untuk menjadi pusat perhatian. Gaun Morgana berkilauan dihiasi permata safir, sementara Seravine mengenakan gaun biru muda dengan taburan berlian halus, begitu menyilaukan hingga beberapa bangsawan muda nyaris tak berkedip menatapnya.
Namun semua itu seketika meredup saat pintu besar kembali terbuka. Dari balik cahaya lilin, masuklah Putri Anastasia. Ia mengenakan gaun peninggalan mendiang Ratu Lysandra berwarna putih dan sederhana dan hanya dihiasi bordir perak halus diujung kain. Rambutnya disanggul rapi lalu dihias dengan bunga putih Lyli. Tidak ada perhiasan yang menempel di tubuhnya namun wajahnya bercahaya dengan pesona alami yang tak membutuhkan permata untuk bersinar.
Keheningan singkat meliputi aula. Sorot mata para bangsawan beralih padanya, ada yang terpesona dan ada pula yang menggertakkan gigi iri. Anastasia membungkuk hormat pada setiap tamu, senyum tipis menghias bibirnya, anggun, tenang dan penuh wibawa.
Di antara denting gelas kristal dan alunan biola yang memenuhi udara, Lady Morgana duduk anggun dengan sorot mata tajam. Senyum samar menghiasi bibirnya, namun di balik topeng keanggunan itu bersembunyi niat busuk.
Morgana tersenyum licik. “Lord Fernand dan Duchess Amalia sudah kubisikkan kabar itu. Mereka gemar menyebar cerita lebih cepat daripada api yang menjalar di ladang kering.”
Seravine menyunggingkan senyum dingin. “Aku tidak sabar menyaksikannya jatuh, Ibunda.”
Di tengah riuhnya pesta pelayan istana mendekat membawa piala emas berisi anggur ungu pekat. Dengan sikap hormat ia meletakkannya di hadapan Anastasia. Sejenak putri itu menatap cairan berkilau itu, hidungnya menangkap aroma samar yang asing. Senyumnya tidak pudar, namun sorot matanya mengeras seakan mengetahui ada tangan kotor yang turut bermain.
Sebelum ada yang sempat memperhatikan, Anastasia memanggil seekor anjing istana yang sedang berkeliaran di sudut aula. Dengan lembut, ia menurunkan piala itu. Hewan itu mendekat, mengendus sebentar lalu meringis menolak bahkan menggonggong pelan seolah memperingatkan. Beberapa bangsawan terkejut, berbisik di antara mereka.
“Apakah anggur kerajaan tidak layak diminum?” ujar Anastasia ringan, suaranya jernih terdengar ke seantero balairung. “Bahkan seekor anjing pun menolaknya.”
Gemerisik bisikan langsung merebak. Para pelayan pucat pasi, sementara Lady Morgana menggenggam kipasnya erat hingga hampir patah.
Tak lama, fitnah mulai berembus dari mulut ke mulut bahwa Anastasia bukanlah darah sah kerajaan, melainkan anak haram. Beberapa bangsawan yang tadinya tampak ramah kini melirik dengan tatapan curiga.
Anastasia hanya tersenyum tipis, lalu berdiri anggun. “Darah yang mengalir di nadi seseorang tidak dapat ditentukan oleh gosip murahan,” katanya lantang. “Yang membuat seorang putri layak disebut putri adalah keberanian untuk berdiri di sisi rakyatnya, meski seluruh dunia berusaha menjatuhkannya.”
Kata-kata itu menyapu ruangan membuat sebagian bangsawan yang tadinya berisik terdiam.
Belum berhenti sampai disitu, Putri Seravine mendekat kearah Putri Anastasia. Ia menjatuhkan dirinya lalu menjerit, berpura-pura tersandung. Ia menarik ujung gaunnya hingga robek.
Dengan air mata buatan ia berseru, “Putri Anastasia! Bagaimana bisa engkau menyandungku dengan sengaja?”
Namun sebelum tuduhan itu berkembang, Anastasia sudah melangkah maju. Dengan tenang ia meraih tangan Seravine, membantunya berdiri lalu membetulkan lipatan gaun adiknya dengan penuh wibawa.
“Adikku tersayang,” ucap Anastasia dengan suara lembut namun menusuk, “Aku tahu kedudukan kita berbeda. Aku putri sah dan kau hanyalah putri dari seorang selir. Pesta ini terlalu indah untuk dinodai air mata. Berdirilah, biar semua orang tahu putri kerajaan selalu menjunjung martabatnya bahkan jika dalam kesulitan kecil. Semua orang tahu bahwa aku tidak megerakkan kakiku barang seinci.” Anastasia menjawab dengan tenang sembari mempertegas posisinya.
Bangsawan di sekitar Anastasia mengangguk setuju. Mereka melihat dengan jelas Putri Anastasia tidak bergerak dari tempatnya. Semua tamu berblik menatap Putri Seravine dengan tatapan menghakimi.
Seravine terdiam dengan napas memburu, air matanya justru mempermalukan dirinya sendiri. Satu pun rencana mereka tidak ada yang berhasil. Justru gadis itu malah mendapatkan banyak simpati.
kaisar tiran bakalan tunduk/luluh gak sama putri Anastasia??? 🙂🙂🙂
meskipun udah sah tp itu keterlaluan