NovelToon NovelToon
The Stoicisme

The Stoicisme

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Berbaikan
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyudi0596

Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:

"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."

Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"

Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 10

Naruto duduk di salah satu sudut perpustakaan, menikmati ketenangan yang jarang ia dapatkan. Cahaya matahari sore menembus jendela, memberikan semburat keemasan di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi. Jemarinya dengan santai membalik halaman buku, tetapi pikirannya tidak benar-benar tenggelam dalam bacaan.

Ini adalah jam istirahat Kedua, tinggal beberapa mata pelajaran lagi dan dia akhirnya bisa bebas dari cengkeraman aktivitas sekolah.

Ia memikirkan kembali kejadian kemarin—bagaimana semua kepingan teka-teki akhirnya terhubung, bagaimana wajah Maho menunjukkan kepasrahan ketika kebenaran terungkap, dan bagaimana Hayasaka Aoi menenangkan gadis itu dengan pelukan.

Sebuah kasus terselesaikan. Namun, Naruto tahu bahwa dunia tidak akan berhenti hanya karena satu masalah berakhir. Akan selalu ada konflik baru, kebenaran yang tersembunyi, dan orang-orang yang terjebak dalam kebohongan mereka sendiri.

Langkah kaki yang familiar terdengar mendekat. Suara sepatu hak rendah itu bergema di lantai perpustakaan yang sunyi. Naruto tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.

“Hmph, jadi ini yang kau lakukan setelah semua usahamu yang… agak sia-sia?”

Nada suara itu penuh sindiran, tetapi bukan tanpa rasa ingin tahu.

Naruto menoleh dan menemukan Hiratsuka-sensei berdiri di sana, tangan disilangkan di depan dadanya. Matanya tajam, tetapi ada sedikit kilatan amusement di sana.

Dia tersenyum kecil. “Yo, Sensei. Ada yang bisa kubantu?”

Hiratsuka menarik kursi di depannya dan duduk tanpa basa-basi. Dia menatap Naruto dengan intens sebelum akhirnya berbicara.

“Aku hanya ingin tahu satu hal… Kenapa kau repot-repot melihat catatan esai milik anak kelas 2B kalau ternyata pelakunya adalah siswa kelas 2A? Bukannya itu sia-sia?”

Nada skeptisnya jelas, tetapi Naruto tidak tersinggung. Sebaliknya, dia menutup bukunya dengan tenang dan bersandar di kursinya.

“Sia-sia?” Dia mengulang kata itu seakan merenungkannya sejenak. “Tidak juga.”

Hiratsuka mengangkat alis, ekspresinya menantang. “Oh? Dan bagaimana bisa kau mengatakan itu?”

Naruto menautkan jemarinya di depan wajahnya, matanya memancarkan keyakinan yang tenang. “Pencarian itu memberiku banyak informasi yang mungkin tidak langsung berhubungan dengan kasus ini, tapi bisa berguna suatu hari nanti. Esai yang kutemukan memberi wawasan tentang cara berpikir orang-orang, pola mereka dalam menyampaikan sesuatu, bahkan bagaimana mereka menyembunyikan maksud di balik kata-kata.”

Hiratsuka terdiam, tetapi Naruto bisa melihat matanya sedikit menyipit, seperti sedang mempertimbangkan kata-katanya.

“Dengan memahami pola pikir seseorang,” lanjutnya, “aku bisa membaca motif mereka lebih baik. Aku bisa memahami kebohongan yang terselip di antara kejujuran, atau kebenaran yang tersembunyi dalam kebohongan. Jika aku hanya berfokus pada satu arah, aku mungkin melewatkan sesuatu yang lebih besar.”

Hiratsuka menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya masih bersedekap. “Jadi, kau menganggap itu sebagai investasi untuk masa depan?”

Naruto tersenyum tipis. “Kurang lebih. Lagi pula, aku tidak pernah menganggap mencari kebenaran sebagai sesuatu yang sia-sia.”

Hiratsuka menghela napas panjang, lalu mendengus kecil. “Kau memang pria yang aneh, Naruto.”

Naruto hanya terkekeh pelan.

Sensei itu bangkit dari kursinya, masih dengan ekspresi skeptis bercampur amusement di wajahnya. “Baiklah, lakukan sesukamu. Tapi jangan sampai kau tenggelam dalam ‘mencari kebenaran’ sampai melupakan hal-hal yang lebih penting.”

Naruto menatapnya sesaat sebelum menjawab, suaranya lebih tenang dari sebelumnya. “Mencari kebenaran itu penting, Sensei. Tapi aku juga tahu… ada hal lain yang tidak boleh kulupakan.”

Hiratsuka memandangnya sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan berjalan pergi.

Naruto menghela napas, kembali bersandar di kursinya. Dia melirik buku di tangannya, tetapi pikirannya masih tertinggal pada percakapannya tadi.

“Mungkin terlihat sia-sia… tapi suatu hari nanti, semuanya akan berguna.”

Dengan pemikiran itu, dia membuka kembali bukunya dan melanjutkan membaca—tetapi kali ini, ada sedikit senyum di sudut bibirnya.

Tepat sebelum Hiratsuka-sensei benar-benar meninggalkan perpustakaan, langkahnya melambat. Matanya sekilas melirik buku yang tengah dipegang Naruto.

"The Meditations," tulisannya jelas terlihat di sampul buku itu.

Hiratsuka menyipitkan mata, mengenali nama penulisnya—Marcus Aurelius, Kaisar Romawi kuno yang dikenal sebagai filsuf Stoa.

Dia menatap Naruto dengan rasa ingin tahu yang lebih dalam. “Kenapa kau membaca itu?”

Naruto melirik bukunya, lalu menatap kembali Hiratsuka dengan ekspresi santai. “Karena isinya menarik.”

Hiratsuka mendengus. “Jangan mengelak. Kau bukan tipe orang yang membaca filsafat hanya karena ‘menarik.’”

Naruto tersenyum tipis, lalu dengan perlahan menutup bukunya. Dia mengetuk sampulnya dengan ujung jarinya sebelum menjawab.

“Aurelius hidup di dunia yang penuh kekacauan. Dia seorang Kaisar, pemimpin besar, tetapi di saat yang sama, dia tidak pernah berhenti merenungkan hidup, kebajikan, dan penderitaan. Dia percaya bahwa seseorang harus tetap teguh menghadapi nasib, tidak peduli seberapa buruknya.”

Hiratsuka tetap diam, mendengarkan dengan seksama.

“Dalam dunia seperti ini,” lanjut Naruto, “di mana kebenaran sering kali dikaburkan oleh emosi, kebohongan, dan ambisi pribadi, aku ingin tahu bagaimana seseorang seperti dia bisa tetap berdiri teguh. Bagaimana dia bisa tetap berpikir jernih ketika dunia di sekelilingnya runtuh.”

Naruto mengangkat bahunya, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih ringan, “Lagi pula, filosofi Stoa mengajarkan bahwa kita tidak bisa mengendalikan dunia, hanya diri kita sendiri. Dan kupikir itu pelajaran yang cukup berguna.”

Hiratsuka memandangnya beberapa detik sebelum mendecak pelan. “Hmph. Jadi dia yang membentuk kepribadianmu seperti ini ?”

Naruto tersenyum kecil. “Mungkin. Atau mungkin aku hanya seorang pria biasa yang mencari cara untuk memahami dunia.”

Sensei itu mendengus pelan. “Jangan terlalu banyak berpikir seperti orang tua. Kau masih anak muda, Naruto. Hidup ini bukan hanya soal memahami dunia, tapi juga menikmatinya.”

Naruto tertawa kecil. “Aku tahu, Sensei. Tapi memahami dunia juga bisa menjadi cara untuk menikmatinya.”

Hiratsuka terdiam sejenak, lalu akhirnya menghela napas panjang. Dia menatap Naruto seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya memilih untuk tidak mengatakannya.

“Baiklah. Lakukan sesukamu.” Dia berbalik dan berjalan menuju pintu, tetapi sebelum keluar, dia melontarkan satu kalimat terakhir.

“Hanya saja, jangan terlalu larut dalam filsafat sampai lupa bagaimana cara hidup.”

Naruto menatap punggung senseinya yang semakin menjauh, sebelum akhirnya tersenyum kecil.

Dia kembali membuka bukunya, tetapi kini pikirannya sibuk mencerna kata-kata Hiratsuka.

"Jangan terlalu larut dalam filsafat sampai lupa bagaimana cara hidup, huh?"

Dia mendesah ringan, lalu melanjutkan membaca—kali ini, dengan pemahaman yang sedikit lebih dalam.

Bel sekolah berdentang, menandakan berakhirnya jam pelajaran hari itu. Suasana di lorong mulai ramai oleh siswa yang bergegas pulang atau menuju klub masing-masing.

Naruto baru saja memasukkan bukunya ke dalam tas, bersiap menuju ruang klub relawan, ketika langkah seseorang berhenti tepat di hadapannya.

Hayasaka Aoi.

Dia berdiri dengan ekspresi yang lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Ada sedikit keraguan dalam sorot matanya, tetapi tidak lagi ada ketakutan atau kebingungan seperti sebelumnya.

Naruto mengangkat alis. “Ada yang ingin kau bicarakan?”

1
Tessar Wahyudi
Semoga bisa teruss update rutin, gak apa-apa satu hari satu chapter yang penting Istiqomah. semangat terus.
Eka Junaidi
saya baca ada yang janggal, seperti ada yang kurang. coba di koreksi lagi di chapter terakhir
Nekofied「ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ」
untung bukan sayaka 🗿
Tessar Wahyudi: ah nanti terjawab seiring cerita berjalan
Nekofied「ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ」: walaupun masih bingung 🗿 mc nya renkarnasi atau bukan
total 3 replies
Eka Junaidi
Masih dipantau, semoga gak macet seperti karya lainnya. atau semoga semuanya bakal di lanjutkan lagi.
Eka Junaidi
Itu sinar matahari pagi atau sore, kok dia akhir Naruto menemukan dokumen Yamato hanya dalam waktu satu jam setengah. jika Naruto Dateng pagi jam setengah enam, setidaknya waktu baru menunjukkan pukul tujuh pagi. jadi itu adalah typo.
Eka Junaidi
mantap, semangat nulisnya bro
anggita
like👍pertama... 👆iklan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!