NovelToon NovelToon
Terpaksa Menikah Dengan Kakak Mantan

Terpaksa Menikah Dengan Kakak Mantan

Status: tamat
Genre:CEO / One Night Stand / Hamil di luar nikah / Pengantin Pengganti / Cinta Seiring Waktu / Menikah dengan Kerabat Mantan / Tamat
Popularitas:3.3M
Nilai: 4.9
Nama Author: Mommy Ghina

Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.

Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!

Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.

“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”



Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27. Tanggungjawab

Waktu nyaris menunjukkan pukul sembilan malam ketika pelayan datang mengangkat piring terakhir dari meja mereka. Lilin di tengah meja sudah tinggal setengah, cahaya kekuningannya memantulkan siluet samar wajah Meidina yang masih bersinar setelah sepanjang malam berbicara penuh semangat. Namun senyum itu perlahan menipis saat Ervan melihat arlojinya dan mulai merapikan jasnya.

“Aku harus balik ke kantor malam ini, Mei,” ujar Ervan tiba-tiba, suaranya datar tapi penuh kehati-hatian.

Meidina mengerjapkan mata, masih belum percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Balik ke kantor? Sekarang?”

“Iya,” jawab Ervan singkat. “Ada revisi mendadak buat proposal meeting besok pagi. Klien dari Singapura. Tidak bisa ditunda.”

Meidina mematung sejenak, lalu tertawa kecil. “Kak Ervan bercanda, kan? Ini pertama kalinya loh Kakak nggak nganterin aku pulang. Kita bahkan belum ngobrol soal cincin pernikahan tadi.”

Ervan terdiam. Ada jeda panjang sebelum ia akhirnya bicara lagi, kali ini dengan nada lebih pelan. “Maaf, Mei. Aku benar-benar harus ke kantor. Aku sudah janji sama Pak Aris.”

Meidina menatapnya, kecewa tak tersembunyi di wajahnya. “Padahal aku kira kita bisa merayakan peluncuran produk ini bareng, berdua. Bisa menghabiskan waktu malam ini. Setidaknya sekali aja ... kita bisa ngobrol tanpa kamu terganggu ponsel atau pekerjaan.”

Ervan menunduk. Jari-jarinya menggenggam ponsel di tangannya, tapi tidak kunjung berdiri. Kepalanya penuh dengan bayangan Shanum yang terbaring di rumah sakit. Tatapan perempuan itu, sentuhan lembutnya di perut, dan diamnya yang menyesakkan dada.

“Mei, aku minta maaf. Tapi aku benar-benar harus pergi malam ini,” ucapnya akhirnya. “Nanti aku titip sopir buat antar kamu pulang.”

Belum sempat Meidina merespon, ponsel Ervan berdering. Nama Ikhsan – aspri muncul di layar.

Ervan mengangkatnya cepat, seolah ingin memperkuat kebohongannya. “Halo, Ikhsan. Iya, iya. Saya otw kantor sekarang. Revisi slide yang bagian market share, kan? Siap. Oke, kamu tunggu di lantai lobi aja.”

Setelah menutup telepon, ia berdiri dan menghindari tatapan Meidina. “Kamu hati-hati ya di jalan. Nanti kabarin kalau udah sampai rumah.”

Meidina mengangguk perlahan. “Aku ngerti, Kak. Tapi ... jangan terus-terusan begini, ya? Aku sangat tidak suka.”

Ervan diam. Senyumnya mengambang, kaku. Lalu ia membungkuk sedikit, mencium puncak kepala Meidina. “Makasih karena kamu selalu ngerti.”

Namun langkah kakinya cepat, nyaris terburu-buru meninggalkan restoran. Bukan ke kantor seperti yang ia katakan—melainkan ke arah parkiran, ke mobilnya yang sudah terparkir rapi. Ia mengetik cepat di ponsel:

“Ikhsan, ke rumah sakit sekarang. Bawa baju ganti dan perlengkapan saya. Jemput saya di Marble Bleu, lima menit lagi.”

Lalu, ia minta Rian untuk mengantarkan Meidina pulang tanpa dirinya.

...***...

Rumah Sakit Medika Brawijaya – Ruang Rawat VIP, 21.45 WIB

Di kamar rumah sakit yang hangat dan harum aroma teh chamomile, Shanum baru saja menyelesaikan makan sepotong terakhir red velvet. Bik Laras sibuk membereskan kotak-kotak cake dan menyimpan sisanya ke dalam kulkas kecil di sudut ruangan.

“Udah cukup kenyang, Shanum?” tanya Bik Laras sambil melirik jam tangan.

Shanum mengangguk kecil. “Alhamdulillah. Bibi beneran penyelamat malam ini.”

Bik Laras tersenyum. “Kamu harus tetap semangat, Nak. Apa pun yang terjadi, kamu tidak sendiri.”

Belum sempat Shanum menjawab, terdengar suara ketukan pelan di pintu. Lalu pintu terbuka dan muncullah sosok Ervan dengan kemeja lengan digulung dan wajah sedikit berkeringat. Di belakangnya, Ikhsan berdiri membawa paper bag besar berisi perlengkapan pribadi.

“Oh, ada Tuan Ervan ...,” gumam Bik Laras, lalu berdiri dan menyambut Ervan dengan sedikit angkuh. “Tuan Ervan, maaf, saya disuruh menyampaikan pesan dari Tuan Wijatnako.”

Ervan menegakkan tubuh, alisnya terangkat. “Pesan apa?”

“Beliau meminta agar Anda tidak menunggu di rumah sakit malam ini. Jika Tuan ada di sini diminta untuk segera meninggalkan ruangan, dan saya-lah yang bertugas menjaga Shanum.” Antara takut dan berhati-hati saat Bik Laras menyampaikan pesan.

Mendengar itu, sorot mata Ervan mengeras. Bibirnya menegang, tapi ia tak langsung menjawab. Shanum ikut melirik dengan kaget, tak menyangka papa mertuanya akan sejauh itu.

“Dan kalau boleh saya tambahkan,” lanjut Bik Laras hati-hati, “Tuan Wijatnako meminta agar Anda tidak membuat keadaan Shanum semakin stress. Lebih baik Tuan mengurus urusan yang lain saja.”

Ervan mendengus pelan, lalu menoleh ke Ikhsan. “Mana bajuku?”

Ikhsan dengan canggung menyerahkan paper bag. “Ini, Pas. Ada kaus, celana santai, handuk juga.”

“Bagus.” Tanpa memedulikan Bik Laras, Ervan melangkah ke kamar mandi dan mengunci pintu. Suara air mengalir terdengar dari dalam.

Shanum terdiam. Matanya mengarah ke dinding, tak tahu apakah ia harus tersentuh atau justru makin bingung dengan keberadaan laki-laki itu malam ini.

Beberapa menit kemudian, Ervan keluar dengan pakaian santai. Rambutnya basah dan segar, wajahnya bersih, tapi sorot matanya masih menyimpan resah yang sama.

“Maaf, Bik Laras,” katanya tenang sambil duduk di sofa. “Tapi saya tidak akan pulang malam ini. Saya akan tetap di sini.”

“Tapi—”

“Bik,” sela Ervan cepat, “kalau Papa punya urusan dengan saya, saya akan bicara langsung dengannya. Jangan bawa Shanum ke dalam urusan keluarga kami.”

Bik Laras terdiam. Napasnya naik turun sejenak sebelum akhirnya ia mengambil tas kecilnya. “Saya diminta Tuan untuk menjaga Shanum selama dirawat. Dan—“

Ervan mengangguk. “ Silakan, dan saya tetap di sini.” Pria itu mendekati ranjang, matanya melirik box kue yang ada di atas nakas.

Shanum menghela napas pelan, lalu menoleh. “Seharusnya Pak Ervan tidak perlu ada di sini, bukankah sudah Shanum katakan tadi,” celetuknya.

Ervan memandangnya lama. Lalu menjawab pelan, “Karena kamu tanggung jawab saya.”

Shanum berdecak heran. “Tanggung jawab? Tidak salah jawab? Sudahlah ... jangan bicara tentang tanggung jawab jika nyatanya tetap bertemu dengan perempuan lain. Hubungan kita ada batasannya.”

Ervan semakin mendekat, lalu duduk di sisi ranjang. “Shanum, saya bertanggungjawab karena kamu sampai berada di sini karena saya. Dan, saya hanya memastikan malam ini kamu baik-baik saja. Itu aja.”

Shanum menatap matanya, alisnya bertautan. “Shanum baik-baik saja, Bapak lihat sendiri, kan!”

Ervan menyentuh tangan Shanum perlahan. Tapi sayangnya Shanum langsung menggeser tangannya.

“Ingat sama Bu Meidina? Tidak perlu sentuh tangan Shanum,” bisik Shanum, nyaris tak terdengar.

Ervan menunduk, lalu suara desahan pelannya terdengar.

Gadis itu berdecih pelan, kemudian membawa tubuhnya kembali merebahkan tubuhnya. “Jangan sok bertanggungjawab, jika sebenarnya kalian menginginkan Shanum keguguran. Shanum mendengar jelas, dan tidak akan melupakannya. Padahal Shanum tidak meminta kalian untuk menerima anak yang Shanum kandung. Karena ini tanggung jawab Shanum, dan Shanum tidak akan pernah minta tanggung jawab pada kalian semua”

“Bukan seperti itu, Sha—“

“Shanum ingin tidur, menjauhlah.” Shanum kembali berkata sembari memejamkan matanya.

Bersambung ... ✍️

1
chess🍂
part ini bneran nyesek banget thor,gak tau kenapa air mata ngalir sendiri .inget dosa2😭😭😭
chess🍂
num,km sama Ervan it korban,korban dr keadaan yg salah,mungkin memang Ervan bersalah karena sedikit bnyak membantu ren buat kabur tapi kondisi nya dia gak tau kalo km hamil num,masalah medina sebenarnya it juga bukan perselingkuhan ,dmna km jelas2 yg meminta d nikahi oleh Ervan n posisinya km tau dia udh punya tunangan n akan menikah,inget num bukan cuma km yg terluka bukan cuma km yg hancur,tapi Ervan juga ,
Bunda Aish
temannya Mei jelas salah karena mereka yang memprovokasi Mei
chess🍂
aku jahat gak sih kalo berharap banget shanum n Evan cerai...🥺
chess🍂
pliss shanum jangan goyah yah,,jangan cepet2 jatuh cinta sama laki2 it..ihhh keseeeel aku thooor😭😭😭
Just_Emma
thooor 😭😭😭
Hikari_민윤기
MaaSyaaAllah...
tulisannya bagus thorr,
boleh belajar nggak?
Tika Pane
tidak perna bosan membaca hasil karya tulisnya..kisah hidup yg sering terjadi di kehidupan nyata...sangat suka dengan cerita nya
Just_Emma
tuh kan ervan....
Just_Emma
ceritanya bagus dan mommy ini author favorit aku
Just_Emma
hai thor aku datang lagi.....
Bunda Aish
keren Papa nya Ervan 👍 tapi kenapa ke-2 anaknya beda ya?
Ilaika Vit
Bukankah shanum ditemani oleh perawat..? kok kesanx hanya ada shanum dan mba nya
Ilaika Vit
kayak capek bacax... sudah sejauh ini eps ttp belum menemukan pemeran utama dalam kebahagiaan... Mulai awal smpai eps ini hanya larut dalam masalah... tp ini hanyalah masalah selera aja...👍
Aji Priatun
suka karya2nya
Bunda Aish
bapak kandung main usir aja ketika anak berbuat kesalahan 😒
Meri
wah KK author cerita ny sangat keren👍👍👍👍👍
Ilaika Vit
aku padamu van👍👍👍
Meri
knp ke media?
ke jalur hukum lh,ad2 meidinah ini🤣🤣🤣🤣🤣
Meri
aduh si meidinah cari masalah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!