NovelToon NovelToon
Pengantin Pengganti

Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pengantin Pengganti / Pelakor / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Persahabatan
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Beberapa menit kemudian, Rangga duduk di ruang monitor. Cahaya dari layar CCTV memantul di wajahnya yang tegang.

Rekaman diputar.

Di layar, terlihat Nayla berdiri di ruang tamu. Tante Ida muncul tak lama kemudian, masuk dengan wajah muram, penuh amarah.

Suaranya tak terdengar, tapi gerak tubuhnya berbicara banyak dengan nada tinggi, tangan menunjuk-nunjuk ke arah Nayla.

Rangga melihat Tante Ida melemparkan sesuatu ke arah Nayla, sehingga Nayla secara refleks bergerak, namun tak sengaja pigura itu terjatuh hingga kacanya pecah.

Wajah Rangga menegang saat mengingat dirinya melontarkan kata-kata kasar,

Namun bukan itu yang membuat dada Rangga terasa sesak.

Di detik berikutnya, Nayla mendekat ke pigura yang hancur, lalu dengan tangan kosong menyapu serpihan kaca satu per satu.

Darah mulai mengalir dari telapak tangannya, tapi dia tetap melanjutkan, seolah tak peduli pada lukanya sendiri.

Rangga nyaris tak bernapas.

Matanya terus terpaku pada layar saat Nayla akhirnya duduk, menggenggam tangannya yang berdarah, menunduk dalam diam. Tak ada amarah. Tak ada pembelaan.

Hanya luka… yang ia tanggung sendiri.

Layar kembali gelap.

Rangga masih duduk di sana, tubuhnya tak bergerak, tapi wajahnya penuh pergolakan. Ada sesuatu yang baru di matanya, bukan sekadar keraguan… tapi penyesalan.

"Den Rangga terlalu buta oleh cinta Anita. Seharusnya Non Nayla yang Den Rangga lindungi." ucap Bi Ina sambil menangis sesenggukan.

Baru kali ini ia tidak suka melihat tingkah Rangga yang keterlaluan.

"Jika Den Rangga tidak mencintai Non Nayla. Lebih baik Den Rangga menceraikannya."

Rangga terdiam, mulutnya tertutup rapat. Kata-kata Bi Ina seperti pisau yang menusuk jantungnya.

Ia tahu betul bahwa cinta pada Anita telah membuatnya buta, menutup mata terhadap perasaan Nayla yang selalu setia.

Namun, kini semuanya terasa terlambat. Bagaimana bisa ia memperbaiki semuanya, setelah membiarkan segalanya terpecah begitu lama?

Dengan suara serak, Rangga akhirnya membuka mulutnya.

"Bi Ina... Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku terjebak dalam kesalahan yang begitu besar."

Bi Ina mengangkat wajahnya, mata penuh haru menatap Rangga.

"Dan Non Nayla? Apakah Den Rangga tidak melihat betapa dia menderita? Jika Den Rangga masih mencintai Non Nayla, kenapa tidak memperjuangkannya?"

Rangga menarik napas dalam-dalam, matanya terpejam sejenak.

"Aku... aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Tapi cinta... selalu membuat kita buta, kan?"

"Jika Den Rangga ingin menebus kesalahan, bukan hanya dengan kata-kata. Tunjukkan pada Non Nayla, bahwa cinta yang sejati itu bukan hanya pada saat mudah, tetapi saat kita bisa berjuang untuknya."

Rangga menundukkan kepala, memikirkan kata-kata Bi Ina. Betapa beratnya untuk merubah segalanya.

Namun, jika ia tidak melakukannya sekarang, apakah semuanya akan terlambat? Dan akhirnya, ia berdiri, tekad di mata.

"Aku akan memperbaikinya, Bi Ina. Aku harus melakukannya, untuk Nayla."

Rangga mengambil ponselnya dan meminta seseorang untuk mencari keberadaan Nayla.

Sesampainya di apartemen, Jati membayar taksi lalu menggendong Nayla turun dengan hati-hati.

Langkah-langkahnya pelan menapaki lorong, seolah takut membangunkan gadis yang terlelap di pelukannya.

Lampu lorong menyinari wajah Nayla yang tampak damai, meski sisa-sisa luka masih terlihat samar di bawah matanya.

Begitu tiba di dalam, Jati langsung menuju kamar. Ia menurunkan Nayla perlahan ke tempat tidur, menarik selimut hingga ke bahunya.

Ia duduk di pinggir ranjang, menatap wajah Nayla sejenak, seolah memastikan bahwa ia benar-benar di sana, bahwa ini bukan ilusi.

Tangannya bergerak pelan, menyibak helaian rambut dari wajah Nayla.

“Kamu aman sekarang,” bisiknya nyaris tak terdengar.

Setelah beberapa saat, Jati berdiri. Ia berjalan ke dapur, menyalakan satu lampu kecil.

Malam itu, ia tak tidur. Hanya duduk di sofa dengan secangkir teh yang sudah dingin, menjaga keheningan, menjaga Nayla.

Malam semakin larut. Hujan turun perlahan, mengetuk-ngetuk jendela apartemen dengan ritme lembut seperti lagu pengantar tidur.

Di dalam kamar, Nayla masih terlelap. Napasnya teratur, tapi sesekali keningnya mengernyit, seolah mimpi-mimpi buruk masih sesekali menyentuhnya.

Di ruang tengah, Jati duduk bersandar di sofa, masih mengenakan pakaian yang sama sejak siang.

Teh di genggamannya sudah dingin sejak lama, tapi ia tak punya keinginan untuk meneguknya. Pandangannya kosong, terpaku pada lantai.

Pikirannya berputar, mengulang-ulang kejadian hari itu saat tatapan kosong Nayla, tubuhnya yang gemetar, suara tangis yang seolah tak akan pernah habis.

Ia menghela napas panjang, lalu berdiri. Perlahan, ia berjalan ke kamar, mengintip dari balik pintu yang sedikit terbuka.

Nayla menggeliat kecil di bawah selimut. Tangan kirinya meremas sprei, mulutnya menggumam tak jelas.

Jati masuk, mendekat, dan duduk di lantai di samping ranjang.

“Kamu nggak sendiri lagi, Nay…” bisiknya lirih. Ia menggenggam tangan Nayla yang dingin, lalu menautkannya ke dada.

Dan untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, air mata Jati jatuh diam-diam, tanpa suara. Bukan karena takut, bukan karena ragu.

Tapi karena perasaan tak berdaya saat melihat orang yang ia sayangi hancur perlahan, sementara satu-satunya hal yang bisa ia tawarkan hanyalah dirinya sendiri.

Hujan di luar semakin deras, dentingnya menggema samar di dalam ruangan yang remang.

Jati masih duduk di lantai, bersandar pada sisi ranjang, matanya mulai terasa berat. Tapi tepat saat ia hampir terlelap, suara lirih membuatnya tersentak.

“Nggak… jangan… jangan…” gumam Nayla dalam tidur.

Jati menegakkan tubuhnya. Ia menatap Nayla, yang kini gelisah di balik selimut. Wajahnya mengerut, tubuhnya sedikit menggeliat, seperti berusaha melepaskan diri dari sesuatu yang tak terlihat.

“Nayla…” panggil Jati pelan.

Tapi igauan itu makin jelas. Napas Nayla memburu, dan dari bibirnya keluar kata-kata yang membuat hati Jati mencelos.

“Sakit,,,, Tolong jangan sakiti aku.... Tolong...."

Jati segera naik ke sisi ranjang, tangannya menyentuh bahu Nayla dengan lembut.

“Nay, kamu aman. Ini aku, Jati. Gak ada siapa-siapa di sini. Gak ada yang bisa nyakitin kamu lagi…”

Namun Nayla menggeliat makin keras, seperti hendak melarikan diri dari bayangan dalam mimpinya.

Tanpa pikir panjang, Jati memeluknya erat-erat perlahan, menahan tubuh Nayla yang gemetar.

“Lihat aku, Nay… bangun sebentar, ini cuma mimpi…” bisiknya, setengah berdoa agar suara itu bisa menembus dunia tempat Nayla terjebak.

Beberapa detik kemudian, tubuh Nayla mulai tenang. Napasnya perlahan melambat, dan ia akhirnya terdiam masih dalam pelukannya.

Jati tak melepas pelukannya. Ia tetap di sana, menatap langit-langit, merasa marah pada dunia yang membuat Nayla begini. Tapi juga merasa lebih yakin dari sebelumnya.

Dalam pelukannya, Jati merasakan tubuh Nayla mulai bergerak.

Perlahan, gadis itu membuka matanya masih setengah bingung, napasnya berat, keningnya basah oleh keringat.

Ia mendongak, mendapati wajah Jati begitu dekat. Matanya yang sayu menatap pria itu, seolah mencoba mengenali kenyataan dari mimpi.

“Mas Jati…?” suaranya serak, nyaris tak terdengar.

Jati mengangguk pelan. “Iya, ini aku,” ucapnya lembut.

Nayla terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca saat kesadaran perlahan kembali.

Tangannya mencengkeram lengan Jati, seolah memastikan bahwa dirinya tidak lagi berada di tempat itu, tempat gelap yang membayanginya bahkan dalam tidur.

“Aku mimpi… tapi rasanya nyata banget…” bisiknya.

Jati mengusap rambutnya dengan pelan. “Itu cuma mimpi. Kamu di sini sekarang. Aman.”

Nayla menunduk, bibirnya bergetar menahan tangis yang tak bisa ditahan lebih lama. “Aku capek Mas, capek banget…”

Jati tak berkata apa-apa. Ia hanya menarik Nayla kembali ke pelukannya, memeluknya seolah ingin menyatukan semua serpih luka yang belum sempat sembuh.

1
seftiningseh@gmail.com
hai kak semangat yaa bust update selanjutnya aku tunggu oh ya jangan lupa baca chat story aku judul nya love after marriage
✿🅼🅴🅳🆄🆂🅰✿: Minimal di like lah... kalau punya request kek gitu./Smug/
my name is pho: ok kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!