azalea steffani leandra seorang anak tunggal kaya raya ,ceria dan juga manja dipertemukan dengan seorang pria yang sifatnya berbanding terbalik dengannya dan ternyata pria itu adalah pengasuhnya ketika ibunya tidak ada dirumah (bodyguard)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayel_zaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUKAN KEBETULAN
Mereka tiba di mall, dan Gavin memarkirkan mobil di basement. Saat mobil dimatikan, Lea langsung membuka pintu dengan semangat.
“Buruan ah, gue udah kebelet belanja,” katanya sambil loncat turun.
Di dalam mall, Lea berubah jadi makhluk hiperaktif. Gavin hanya mengikuti dari belakang, mendorong troli sambil geleng-geleng kepala. Dia tak tahu belanja skincare bisa selama ini. Tapi lebih parah lagi, ternyata Lea lebih niat waktu mencari snack. Troli hampir penuh, isinya bukan face wash atau toner, tapi keripik, cokelat, ciki, marshmallow, dan entah apa lagi.
“Ini bukan skincare mall, tapi snack heaven buat lo, ya?” cibir Gavin.
Lea cuma nyengir, “Gue butuh ini semua... buat healing!”
Tak jauh dari situ lea melihat rak berisi marsmellow berwarna-warni. tak pikir panjang, lea mengambil 3 box berbeda-beda warna dan memasukkan semuanya ke troli.
" lo suka ini ?" tanya gavin sembari mengangkat salah satu box marsmellow itu.
lea menggeleng " enggak,"
" truss?" gavin menyerngitkan dahinya.
" gua suka aja liat kemasannya, luccuu.." jawabnya, kemudian pergi menuju rak berikutnya.
" streess " batin gavin.
“ OH! Gue nemu skincare yang bisa ngilangin bekas luka,” katanya tiba-tiba. “Tapi... gua gak suka, jadi kita lanjut beli ciki dulu.”
Gavin cuma mendesah. “Gue rasa lo gak butuh skincare, lo butuh psikolog.”
Merasa semua sudah sesuai dengan yang dia inginkan, lea segera berjalan kekasir diikuti gavin dibelakangnya. " nih mbak.., dia yang bayar " lea menunjuk gavin disebelahnya.
Begitu semua barang udah dibayar dan ditumpuk rapi dalam kantong besar—lebih dari tiga kantong, Lea dan Gavin keluar dari mall. Gavin mementeng dua kantong paling berat, sementara Lea membawa satu yang isinya lebih banyak camilan ringan.
Langkah mereka pelan di lorong depan pintu keluar. Angin sore menyambut begitu pintu otomatis terbuka. Langit udah mulai jingga, tanda senja hampir datang.
“Gila, capek tapi puas banget,” gumam Lea sambil mengayun-ayunkan kantong plastik di tangannya.
“Gue yang capek,” balas Gavin datar. “Gue yang nenteng, gue yang bayar.”
lea menyengir mendengar tuturan gavin, " oh ya, lo kan banyak duit nih gua liat, tapi kenapa masih kerja?" pertanyaan itu kembali terluap dari mulut lea,
" ya... suka-suka gue " jawab gavin tanpa ragu.
" ah! apa jangan-jangan lo anak konglomerat yang pura-pura miskin, mau cari seorang putri baik, cantik dan tulus seperti gue...??" mendengar ucapan lea yang mendramatis dan tak masuk akal, gavin menyentil kening lea. " alay.! gak usah kebanyakan nonton drama lo." lea meringis, memegangi keningnya yang berdenyut karena ulah gavin.
Begitu keluar dari mall, Lea melihat sebuah toko es krim kecil di seberang jalan. Matanya langsung berbinar.
“GAVIN! ITU ADA TOKO ES KRIM!” serunya semangat, tanpa menunggu jawaban langsung berlari kecil menyeberang trotoar.
“Eh, LEA—!” Gavin refleks nyusul, tetap dengan nada tenangnya meski langkahnya cepat.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di bangku pinggir jalan, Lea memegang cup es krim stroberi ukuran besar dengan topping berlebihan, sementara Gavin cuma meelirik dari samping.
Lea nyolek tangan Gavin pakai sendok es krimnya. “Mau nyoba gak? Manis loh.”
Gavin geleng pelan. “Gue udah manis,” jawabnya datar, membuat Lea nyengir geli.
“Pede amat. Tapi enggak bohong sih,” celetuk Lea sambil ngakak sendiri.
Setelah es krim habis, Gavin ngelirik langit yang udah mulai gelap. “Udah malam. Yuk pulang.”
Mau tak mau lea tetap menuruti ucapan pria itu, ia berjalan setengah hati menuju parkiran mobil yang tempatnya lumayan jauh dari tempat mereka sekarang. Suasana malam mulai sepi, lampu jalan mulai menyala satu per satu.
Lea masih sibuk menikmati es krimnya sambil jalan pelan di samping Gavin. Tapi baru beberapa meter melangkah, dia tiba-tiba berhenti dan meringis sambil megang betisnya.
gavin yang menyadark bahwa gadis itu berhenti, juga berhenti menoleh kearahnya. " kenapa?"
" capekkk...." ia mengeluh, wajahnya tertekuk malas.
Gavin menarik napas sebentar, kemudian berjongkok tanpa berbicara banyak. “Naik.”
"hah?!"
" lo mau jalan ?" tanya gavin.
" enggak"
" yaudah naik, tapi gue gak maksa sih kalau–"
" iya, iya, gua naik "
Lea nyengir kecil, pelan-pelan dia naik kepunggung gavin. Dia nyenderin dagunya ke pundak gavin sambil tersenyum kecil.
Suasana di sepanjang jalan itu sunyi, hanya terdengar langkah pelan Gavin menyusuri trotoar, dan sesekali suara kendaraan dari kejauhan. Lampu-lampu jalan redup menyorot bayangan mereka yang memanjang di aspal.
Lea yang masih nyender santai di punggung Gavin tiba-tiba miringin kepalanya, dagunya tetap bersandar di bahu cowok itu. Matanya nyorot iseng, ngeliatin sisi wajah Gavin dari dekat.
“Gue kayak... gak asing gitu liat muka lo,” gumam Lea pelan.
Gavin sempat noleh setengah, ekspresinya datar tapi penasaran. “ Maksudnya?”
“Tuh kan... gue liat-liat lu mirip... CHA EUN WOO BZIRRR! Pantes gak asing, mirip banget! Lu adeknya ya? Kok bisa semirip ini?”
Gavin langsung terkekeh kecil, suaranya pelan tapi jelas terdengar di sunyinya malam. Dia tak bilang apa-apa, hanya tersenyum sedikit, tetap jalan seperti biasa.
" Tapi ya walaupun lo mirip cha eun woo, gue juga biasa aja sih, gak minat sama lo. karna secara harfiah gue juga mirip sama karina aespa, jadi ya... idaman gue itu yang spek-spek duda kaya, sugar daddy. intinya yang banyak MONEY NYAHH!!" gadis itu sibuk berceloteh dengan dirinya sendiri.
" lo gila??!. nanyak sendiri jawab sendiri " ketus gavin, lea yang mendengar tuturan itu ingin rasanya menggampar orang yang mengatakan itu.
" LO–"
" WAKHHHHH.... ANJINGG GILAAA!!!"
Seseorang berteriak keras dari arah belakang mereka.
Seketika Gavin berhenti, refleks keduanya melirik ke arah suara. Seorang cowok berlari sekencang-kencangnya ke arah mereka, wajahnya pucat, napas terengah-engah.
Di belakang cowok itu… seekor anjing coklat besar menyusul dengan gonggongan nyaring.
“Woy woy woy, MINGGIR MINGGIR!!” teriak cowok itu sambil melewatin Gavin dan Lea.
“HAH?!” Lea kaget bukan main, hampir jatuh dari punggung Gavin. “Itu siapa?!”
Tak lama kemudian, seorang cewek juga menyusul dari arah yang sama, napasnya ngos-ngosan, rambutnya berantakan, keringat ngucur deras. Dia berhenti tepat di depan Gavin dan Lea, nunduk sambil megang lututnya, mencoba ngatur napas.
“Viona?!” Lea berseru.
Cewek itu ngangkat kepala, senyum lemas. “Heh... Lea... lo di sini juga?”
“Apa-apaan itu tadi?! Itu... Vino?!”
Viona masih ngos-ngosan. “Iya... jadi tadi gue iseng... nyuruh Vino jagain anjing tetangga... trus... pas dia buka pager... anjingnya malah ngejar dia... dia langsung lari... gue kejar juga karena takut makin kacau...”
Lea ngikik sambil tepuk pelan bahu Gavin. “ BWAHAHAHA.....!!Gokil, dramatis banget malam ini.” dia tampak begitu gembira dibawah penderitaan teman-temannya.
Gavin geleng-geleng pelan. “Untung aja lo gak jadi mangsa kedua.”
“Ya gue pasrah kalo gitu,” jawab Lea nyengir, masih duduk di punggung Gavin.
“Eh,” kata Viona, baru sadar. “" btw, lu bedua dari mana? trus kok lu digendong? lo berdua pacaran?”
lea tersedak air liurnya sendiri, ia terbatuk mendengar ucapana viona yang asal ceplos itu.
" ya emang kita gak boleh bareng?" tanya lea balik.
viona dibuat diam, saatnya lea yang kembali bertanya.
" trus lo berdua kok bisa bareng juga?, jangan bilang kebetulan?"
" ya suka suka kita lah, emang kita juga gak boleh bareng?" viona meniru jawaban yang dilontarkan lea tadi.
" dih.."
" dih.."
"VIONAAA....... TOLONGIN GUEEE!!!" disebrang sana, vino masih berusaha sekuat tenaga menghindar dari kejaran anjing gila.
" lo pada mau kemana nih?" tanya viona buru-buru.
" pulang lah " jawab lea.
" yaudah hati-hati " setelah mengatakan itu viona kembali berlari menyusul vino disebrang sana.
" LO BERDUA YANG HARUSNYA HATI-HATI PEAK!!" melihat viona yang sudah mulai menjauh, lea berteriak agar mereka mendengarnya.
Tak jauh dari tempat berdirinya lea, seseorang diam-diam memfoto dirinya. Setelah selesai, ia kembali menaiki mobilnya dan pergi sebelum ada seseorang yang menyadarinya.
" tuh dah deket, jalan bisa kan?" gavin menunjuk mobil mereka yang sedang terparkir sudah tak jauh dari tempat berdirinya mereka sekarang.
Lea memanyunkan bibirnya, tapi dia tetap mengangguk.
Setelah insiden lari-larian tadi, Gavin dan Lea lanjut jalan santai menuju mobil. Viona dan Vino udah jauh di belakang, sibuk sama diri mereka masing-masing.
Sesampainya di parkiran, gavin membukakan pintu buat lea.
Lea duduk sambil ngelepas napas lega. “Akhirnya... kaki gue bisa istirahat,” katanya sambil mijit-mijit betisnya sendiri.
Gavin masuk ke sisi supir, nyalain mobil, dan meluncur pelan meninggalkan area mall.
Sepanjang jalan, Lea ngelepas sedikit tawa kecil, “Tadi seru sih... tapi malu juga. Udah digendong, diliatin orang.”
Gavin cuma ngulas senyum dikit, matanya masih fokus ke jalan.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan rumah Lea. Gavin matiin mesin, lalu noleh ke arah Lea.
“Gue pulang duluan,” katanya singkat.
Lea langsung nyerengit. “Hah? Kenapa? Biasanya lo masih nongkrong di pagar tuh.”
“Ada urusan,” jawab Gavin datar. “ Tapi mentang-mentang gua gak dirumah lo, lo jangan seenaknya bergadang nontonin drakor. ntar telat bangun .” jelasnya.
" oke bos .." Lea memberi hormat, menerima perintah gavin tapi dia masih penasaran, “Tapi kayak ada urusan penting aja...”
Gavin berdiri di samping pintu mobil setelah ngebukain pintu buat Lea, “ Anak kecil gak usah kepo” ledeknya,
Lea turun dari mobil sambil manyun, tapi dia tetap melambai kecil. “hati-hati.. ”
Gavin mengangkat alisnya " yoi.."
Setelah itu, dia langsung balik ke mobilnya dan pergi tanpa banyak kata lagi. Sementara Lea masih berdiri di depan pagar, mandangin lampu mobil Gavin yang menjauh. Ada rasa aneh di dadanya, antara penasaran, khawatir, dan… sedikit kehilangan.
Gavin menyetir dalam diam. Malam sudah turun sepenuhnya, jalanan kota mulai lengang, lampu-lampu jalan melewati kaca jendela mobil seperti garis-garis cahaya yang panjang.
Wajahnya datar, tapi matanya tampak menyimpan sesuatu—campuran rindu, sesal, dan ketegangan. Tangan kirinya menggenggam stir erat, sementara tangan kanannya sempat melirik ke pergelangan kosongnya.
"Kenapa baru sadar sekarang..." gumamnya pelan, hampir seperti menyalahkan dirinya sendiri.
Suara radio pelan mengalun, tapi tak ada yang masuk ke telinganya. Semua pikirannya fokus ke satu hal: benda itu. Benda kecil itu terlalu berharga untuk ditinggalkan, bukan karena nilai, tapi karena makna.
Setelah beberapa belokan dan jalan kecil yang mulai terasa asing karena gelap, akhirnya gedung tua itu mulai terlihat dari kejauhan. siluet bangunannya masih berdiri suram, membisu di bawah cahaya rembulan. Gavin menarik napas panjang, memberhentikan mobil, lalu mematikan mesin.
Dia duduk sejenak, menatap bangunan itu dalam diam.
"Lagi-lagi gue balik ke sini..." lirihnya.
Lalu, tanpa banyak bicara lagi, dia membuka pintu mobil dan melangkah masuk ke kegelapan.
Gavin melangkah pelan masuk ke dalam gedung tua itu. Setiap langkahnya memicu gemerisik serpihan kaca dan kayu di lantai. Bau lembap dan karat langsung menyambut, membuat napasnya terasa berat. Meski lampu senter dari ponselnya membantu menerangi jalan, bayangan-bayangan di dinding tetap bergerak seolah mengawasinya.
Dia menyisir sudut demi sudut. Bagian lantai yang dulunya berlumuran darah, kini sudah mengering—menyisakan warna gelap dan retakan. Gavin jongkok, menyibak pecahan kayu, debu, bahkan melihat di balik besi-besi tua. Tangannya sedikit gemetar, tapi matanya tetap fokus.
“Nggak ada...”
Dia berdiri, menepis debu dari lututnya, lalu berjalan ke sisi lain ruangan. Mencari di sela-sela puing bekas perkelahian waktu itu, tempat di mana dia terakhir melihat gelang itu masih melingkar di tangannya sebelum terlepas.
Tapi tetap—kosong. Hanya gelap dan sunyi.
Gavin menarik napas panjang, matanya menatap lantai kosong di depannya, seolah berharap benda kecil itu muncul dengan sendirinya. Tapi tak ada. Sama seperti perasaan kehilangan yang sekarang mulai merayap diam-diam di dadanya.
Dia berdiri diam. Sunyi.
Dengan langkah berat, dia membalikkan badan, siap pergi. Tapi saat itu... terdengar sesuatu. Seperti bunyi kecil—kling... entah dari mana. Spontan Gavin menoleh cepat, matanya tajam menelisik ke dalam gelap. Tapi lagi-lagi, hanya diam. Tak ada apa-apa. Mungkin cuma suara besi tua yang bergesekan. Mungkin juga bukan.
Dia tidak tahu. Tapi satu yang pasti, gelang itu masih hilang. Dan kenangannya ikut terkubur bersama malam itu.
Gavin melangkah keluar dari gedung tua itu dengan langkah gontai. Udara malam menyambutnya dengan dingin yang menusuk, berbeda dengan sesak pengap di dalam sana. Tapi justru sekarang dadanya terasa lebih sempit. Gelang itu tidak ditemukan. Dan dia benci harus pulang dengan tangan kosong—dengan perasaan hampa yang menyesakkan.
Dengan langkah pelan, dia menuju mobilnya dan menyetir dalam hening. Lampu jalan hanya menerangi separuh wajahnya yang tenggelam dalam bayangan. Ia tak tahu pasti apa yang mendorongnya untuk kembali ke rumah malam ini tapi ada satu alasan yang cukup kuat, mamanya. Sejak kepulangan mamanya kemarin, ia belum sempat menemuinya. Rasa bersalah sempat menyesap, dan kini ia ingin menebusnya, meski sedikit.
Begitu sampai di depan rumahnya yang megah, gerbang otomatis terbuka. Lampu taman menyala redup, menyoroti dinding tinggi dan halaman rapi yang seperti biasa—terlalu sempurna. Tapi kali ini, Gavin merasa itu semua kosong. Hambar.
Mobil berhenti di garasi. Ia turun pelan, menutup pintu mobil tanpa suara, lalu berjalan masuk kedalam rumah. Tapi baru saja ia hendak membuka pintu, langkahnya terhenti. Dari celah jendela, ia melihat ada dua sosok di ruang tamu, mamanya... dan seorang pria yang berdiri membelakanginya.
Alis Gavin langsung mengernyit. Ia membuka pintu perlahan dan melangkah masuk.
Begitu Gavin menampakkan diri, pria itu langsung berdiri, refleks cepat seperti seseorang yang terlatih. Mamanya juga ikut bangkit, dengan wajah sedikit terkejut. Gavin menghentikan langkahnya di ambang ruang tamu, menatap pria itu dengan sorot tak percaya.
Itu... Zergan.
Beberapa detik hanya diisi dengan keheningan tajam.
Gavin tak berkata apa-apa, hanya menatap Zergan lekat-lekat. Pikirannya berputar cepat. Dari semua orang yang dikenalnya tidak satu pun tahu alamat rumahnya. Ia memastikan itu. Bahkan Lea pun tidak pernah diberi tahu. Dia menjaga privasinya sangat ketat.
Lalu kenapa... Zergan bisa ada di sini?
Padahal Zergan hanyalah murid baru, yang bahkan baru bergabung ke dalam lingkaran mereka. Semua terasa ganjil. Terlalu kebetulan.
Gavin menoleh ke arah mamanya, mencoba membaca ekspresi wanita itu, tapi mamanya hanya tersenyum tipis. Tenang. Sementara Gavin justru merasakan gelombang ketidaknyamanan menjalar di seluruh tubuhnya.
Zergan, yang wajahnya selalu tenang dan datar, kini menatap Gavin dengan senyum samar.
" kebetulan banget lo udah dateng, gue juga barusan dateng kok" katanya pelan, seolah biasa saja.
Gavin hanya membalas dengan pandangan dingin. Tenggorokannya mengering, tapi mulutnya tidak membuka untuk menjawab. Dalam hati, dia tahu malam ini, dia tidak akan bisa tidur nyenyak. Sesuatu sedang berjalan... dan itu bukan kebetulan.
" ngapain lo kesini?" tanya nya, dia sebenarnya juga ingin bertanya bagaimana cowok itu tahu alamat rumahnya, tapi sepertinya dia akan bertanya dilain waktu. Dan yang gavin ingin tahu ialah mengapa ia datang menemuinya?.
" gue cuma mau ngasih barang lo " ucapnya, dia mengambil sesuatu dari saku celananya.
dahi gavin menyerngit saat melihat barang yang ingin diberikan zergan kepadanya.
zergan berjalan mendekati gavin, dan hanya tersisa beberapa inci dari tempat keduanya. dia menaruh barang itu ditelapak tangan gavin sembari membisikkan sesuatu " gue lebih cepat dari pada polisi " bisiknya.
dia kembali keposisi semula, ia berjalan mendekat kearah clara dan berpamitan." saya pulang yah tan " ucapnya dan dianggukin clara sebagai jawaban tak lupa senyuman manisnya yang begitu tulus.
Gavin masih diam ditempat memikirkan ucapan cowok itu sebelumnya, pantas polisi tak menemukan barang nya ternyata ada seseorang yang lebih dulu mendapatkannya, tapi bagaimana dia bisa tahu?
Zergan melangkah menuju pintu keluar. Tapi sebelum benar-benar melewati pintu utama, dia memperlambat langkahnya. Gavin berdiri tepat di sisi dinding, membiarkan pria itu lewat.
Namun Zergan berhenti sesaat. Dia melirik ke arah Gavin tanpa memutar seluruh tubuhnya—cukup dengan pandangan ke samping, lalu bibirnya sedikit terangkat membentuk senyum miring yang tajam.
“Seharusnya lo tau siapa gue,” ucapnya datar, tapi cukup tajam untuk menusuk udara di antara mereka.
Lalu tanpa menunggu reaksi, Zergan melangkah pergi. Pintu tertutup perlahan di belakangnya.
Gavin tetap diam di tempat. Rahangnya mengeras, sorot matanya menajam. Kata-kata itu... lebih dari sekadar ucapan.