“Lo cantik banget, sumpah,” bisiknya. “Gue gak bisa berhenti mikirin lo. Pingin banget lakuin ini sama lo. Padahal gue tahu, gue gak seharusnya kayak gini.”
Tangan gue masih main-main di perutnya yang berotot itu. “Kenapa lo merasa gak boleh lakuin itu sama gue?”
Dia kelihatan kayak lagi disiksa batin gara-gara pertanyaan itu. “Kayak yang udah gue bilang ... gue gak ngambil apa yang bukan milik gue.”
Tiba-tiba perutnya bunyi kencang di bawah tangan gue, dan kita berdua ketawa.
“Oke. Kita stop di sini dulu. Itu tadi cuma ciuman. Sekarang gue kasih makan lo, terus lo bisa kasih tahu gue alasan kenapa kita gak boleh ciuman lagi.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Korban Salah Tangkap
...Ailsa...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
Telinga gue berdenging, kepala mutar-mutar waktu gue dengar dengan horornya, apa yang sudah terjadi sama Nauru dan Hazerrie.
Nggak adil banget.
Dan semua itu gara-gara ulah kakak gue ... mungkin juga bokap gue.
Gue benar-benar nggak bisa cerna semua ini.
Bokap gue, tuh, orang baik. Dia kerja keras buat keluarga. Perusahaan investasinya juga sering bantu komunitas. Gue nggak kebayang dia bisa setuju sama hal kayak begini.
Gue ingat pernah dengar-dengar dikit soal Nauru dan Hazerrie, tapi ternyata gue nggak tahu kalau separah ini.
"Lo baru empat belas tahun dan mereka nangkep lo gitu aja?" gumam gue, sambil akhirnya memaksa diri buat menatap dia.
Gue harus merasakan apa saja yang sudah dia lalui karena keluarga gue. Gue harus mengerti semuanya, minta maaf, dan cari cara buat benarin semua ini, sebisa gue.
"Iya. Awalnya, kita dikasih tahu gue bakal di sana enam bulan, Hazerrie setahun. Katanya itu durasi yang 'pas' buat umur kita, katanya sih, gitu. Kita dibikin kelihatan kayak sampah di depan hakim. Dua bocah bandel. Yang satu bokapnya di penjara, yang satu lagi malah nggak punya orang tua yang peduli. Jadi ya sudah, kita dikasih hukuman paling parah. Padahal kita nggak ngelakuin apa-apa."
"Lo cerita ke hakim?"
"Kita cerita ke siapa aja yang mau dengar. Tapi lama-lama, kita berhenti cerita. Soalnya pengacara gratisan kita bilang, kita malah bikin semuanya makin parah. Mereka nyuruh kita minta maaf dan terima saja hukuman yang dikasih."
"Lo lakuin?"
"Jelas, gak lah. Nggak ada dari kita yang mau minta maaf buat hal yang kita nggak lakuin. Tapi ya ... kita berhenti cerita versi kita karena memang nggak ada yang peduli. Parahnya lagi, si Onny duduk di pengadilan waktu itu tapi nggak berani lihat mata kita. Dia tahu ... Gue yakin. Tapi malah bilang dia nggak ingat apa-apa, dan gue lihat ada rasa bersalah di mukanya. Sampai sekarang pun, tiap gue ketemu sama dia di jalan, gue masih lihat tatapan itu. Kayaknya Poyyan juga akhirnya ngerti, kalau bokap lo benar-benar ngelindungin kakak lo dan orang-orang yang terlibat."
Gue geleng-geleng kepala. "Gue nggak bisa bayangin bokap gue sampai tega masukin anak nggak bersalah ke penjara buat kejahatan yang mereka nggak lakuin." Tapi pas kata-kata itu keluar dari mulut gue, gue jadi mikir ... sebenarnya bokap bisa saja melakukan itu.
Gue mulai meragukan semuanya sekarang. Semua hal soal kakak gue ... dan kejadian sama Jully. Gue tahu bokap memang peduli banget sama citra dan nama baik. Tapi ini, sih sudah kelewatan banget.
Tatapan dia jadi lebih lembut, "Gue tahu lo sayang bokap lo, tapi bokap lo sama kakak lo tuh tahu persis apa yang sebenarnya terjadi, Ailsa. Gue cuma mau lo mikir benar-benar, oke?"
"Oke ...." Gue mengangguk pelan, sambil usap air mata yang terus jatuh.
"Kalau bokap lo harus milih antara nyelametin kakak lo dari masalah atau nyelametin gue sama Hazerrie ... lo benaran yakin dia bakal lakuin hal yang benar waktu dia kepepet? Humm? Coba pikir gimana dia ngadepin kasus lo sama Jully."
Tenggorokan gue langsung merasa terganjal, suara gue gemetar. "Maksud lo apa?"
Padahal ... gue tahu banget maksud dia.
Tapi kalau gue mengakui itu, berarti selama ini gue nggak benar-benar kenal bokap gue.
"Ayolah, Ailsa. Lo lulusan kuliahan, cewek pinter, pebisnis. Lo benaran percaya ada skenario di mana bokap bisa dapat surat larangan (restraining order) buat anak cewek yang udah dewasa, TANPA harus ngelapor ke polisi? TANPA tanda tangan lo juga? Surat itu dirahasiain, dan lo bahkan nggak pernah lihat sendiri ... apa gunanya surat larangan kalau orang lain nggak tahu kalau si brengsek itu harus dijauhin? Kenapa malah disembunyiin?"
Kata-kata dia mutar-mutar di kepala gue. Semuanya nggak masuk akal. Tapi... gue percaya bokap gue.
Ya, tentu saja gue percaya.
Meski sebenarnya gue sudah merasa aneh. Dia menyuruh gue jangan kasih tahu nyokap soal itu. Surat larangan ... yang bahkan gue nggak pernah lihat sama sekali.
Dan sekarang, setelah dengar semua yang terjadi ke Nauru dan Hazerrie ... jadi bokap gue adalah dalang dari semua ini.
Caspian masih kecil waktu itu. Dia nggak mungkin bisa melakukan semua itu sendirian.
"Jadi ... lo benaran harus tinggal di sana enam bulan dan Hazerrie setahun?"
Dia angkat tangannya, taruh di kedua sisi wajah gue, ibu jarinya mengusap air mata gue.
"Nggak. Nyokap gue nyari orang yang mau dengar cerita kita. Akhirnya dia nemu satu orang yang mau bantuin secara gratis, dan dia yang bantu bebaskan kita lebih cepat. Kita nggak pernah tahu jelas gimana caranya, tapi gue cuma tiga bulan di sana, Hazerrie delapan bulan."
"Gue ... gue benar-benar minta maaf," bisik gue pelan, suaranya nyaris nggak keluar. "Lo pasti takut banget waktu itu."
"Dengarin gue, Ailsa." Suara dia tenang banget, stabil. Dia menunggu sampai gue lihat matanya. "Gue nggak bakal manis-manisin cerita ini. Itu neraka, Ailsa. Banyak hal menyakitkan yang terjadi di sana. Tapi kita selamat. Hazerrie jadi pengacara gara-gara semua itu. Gue sendiri jadi petarung yang lebih kuat. Gue belajar dari hal itu gimana caranya bertahan, dan tiga bulan di neraka, bikin gue jadi orang yang lebih tahan banting."
Gue langsung maju, peluk dia erat banget, tangan gue mengelilingi lehernya sampai napas gue habis.
Semua rasa yang gue tahan-tahan ... menumpuk jadi satu.