Dimas Seorang pekerja supir truk yang gak sengaja menabrak pekerja kantoran, tapi anehnya pandanganya gelap dan dia muncul didunia lain.
Sistem dewa naga terkuat menemani perjalananya menuju puncak kekuatan, dengan berbagai misinya Dimas mendapatkan berbagai harta yang sangat kuat.
Bagaimana perjalanan Dimas, Ikuti kisah keseruanya.
Gas... gua bakal up tiap hari sesuai mood, mungkin 2 chapter sampai 5 chapter perhari, kalau lagi mood bisa lebih.
Maaf jika ada kesalahan pada cerita, karena author hanya manusia, bukan nabi Boy.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14 - Bandit
Di dalam kereta kuda yang nyaman itu, Dimas bersandar dengan tenang. Tubuhnya sedikit tengadah, sementara tangan kirinya bertumpu santai di sisi tempat duduk berlapis kain beludru yang lembut. Suara derak pelan dari roda-roda kereta yang terus berputar di atas jalan tanah bergema samar di telinganya, menciptakan ritme menenangkan, hampir seperti lagu nina bobo dari alam.
Udara dalam kereta cukup sejuk. Tirai-tirai tipis dibiarkan terbuka sebagian, membiarkan angin hutan masuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru saja diguyur embun pagi tadi. Cahaya matahari sore yang hangat menyusup dari celah tirai, membuat ruangan dalam kereta dipenuhi semburat emas lembut.
Saat Dimas memejamkan mata, sebuah suara akrab muncul di benaknya.
“Ding,” suara sistem berbunyi seperti biasa, tenang namun penuh wibawa.
“Tugas tersembunyi berhasil diselesaikan. Selamat, Tuan, atas pencapaian Anda.”
Suara itu kemudian melanjutkan, tetap dengan nada datarnya yang formal.
“Hadiah: Mata Ilusi.”
Mendengar itu, Dimas perlahan membuka matanya. Bola matanya yang gelap tampak mengamati langit-langit kereta yang berbahan kayu mahoni halus, sebelum akhirnya senyuman tipis terangkat di sudut bibirnya.
Sistem kembali menjelaskan.
“Mata Ilusi: Teknik visual tingkat tinggi. Saat diaktifkan, siapa pun yang melakukan kontak mata dengan Tuan akan masuk ke dalam ilusi yang diciptakan oleh Tuan. Efektivitas tergantung kekuatan mental target.”
note:( gak cuma kontak mata doang ya, tapi perlu diaktifkan juga oleh Dimas.)
Dimas tak banyak bicara. Ia hanya menghela napas pelan. Dalam hatinya, ia menganggap kemampuan itu cukup berguna. Dalam dunia yang penuh tipu daya dan pertempuran seperti sekarang, kekuatan semacam itu bisa menjadi pembeda antara hidup dan mati.
Namun, senyum kecil di wajah Dimas yang tampak tenang itu rupanya menimbulkan kesalahpahaman bagi seseorang.
Di sisi lain kereta, Dong San yang semula duduk bersila di pojokan segera melirik. Pandangannya gelisah. Ia melihat jelas bagaimana senyum itu muncul di wajah Dimas. Dan baginya, senyuman itu… seolah ejekan.
Dong San meneguk ludah pelan. “Jangan-jangan… dia masih dendam karena kejadian waktu itu…” batinnya penuh kecemasan. Padahal, Dimas sama sekali tidak berpikir tentangnya.
Tapi ketakutan Dong San muncul karena pengalamannya sendiri. Ia tahu Dimas bukan orang biasa. Bahkan sejak pertama kali mereka bertemu, perasaan bahwa Dimas jauh di atas dirinya seperti ukiran yang sulit dihapus dalam hatinya.
Namun, di tengah kegelisahan Dong San, Dimas tetap bersikap santai. Ia bahkan menutup matanya kembali, seakan tak ada apa-apa yang perlu dikhawatirkan.
Hari-hari berikutnya berjalan lancar. Kereta kuda mereka melaju melewati berbagai kota kecil. Setiap kali tiba di satu kota, mereka turun untuk beristirahat sejenak. Ada kalanya mereka bermalam di penginapan sederhana, ada kalanya mereka hanya berhenti untuk membeli kebutuhan logistik seperti makanan, air, dan memperbaiki perlengkapan tempur.
Di salah satu kota, Dong San terlihat sibuk memilih tombak baru di toko pandai besi lokal. Tombaknya yang lama sudah mengalami retakan di bagian ujung karena pertarungan sebelumnya melawan roh-roh penjaga gua.
Sementara itu, Alexa kerap terlihat mencatat sesuatu di buku kecilnya. Setiap kali mereka berhenti, ia selalu memastikan posisi mereka, menghitung waktu tempuh, dan membuat catatan tentang keadaan sekitar.
Ling Yuan, seperti biasa, pendiam. Ia jarang berbicara, lebih banyak menghabiskan waktu untuk memperhatikan peta tua yang mereka temukan tempo hari. Sesekali, ia memperbaiki simpul tali di gagang pedangnya, memastikan bahwa semua dalam keadaan siap.
Dimas? Ia lebih sering berdiam diri di dalam kereta. Tak jarang ia tertidur, atau hanya duduk bersandar dengan mata terpejam. Namun mereka semua tahu, meski seolah tidak peduli, Dimas selalu memperhatikan.
Dan semakin hari, hubungan mereka mulai mencair. Dong San yang tadinya selalu bersikap kaku, perlahan mulai akrab. Ia bahkan memanggil Dimas dengan sebutan “Kakak Senior”.
Bagi Dimas, sebutan itu tidak terlalu penting. Tapi bagi Dong San, itu adalah bentuk penerimaan, sekaligus pengakuan bahwa Dimas berada jauh di atas dirinya.
Hari kelima dimulai.
Fajar baru saja menyingsing. Udara pagi di hutan ini jauh lebih dingin dibanding hari-hari sebelumnya. Kabut tipis menggantung di atas tanah, menciptakan suasana seperti negeri dongeng yang dipenuhi rahasia.
Rombongan mereka melanjutkan perjalanan sejak subuh. Langit perlahan berubah dari abu-abu menjadi biru pucat, diselingi semburat oranye di ufuk timur.
“Kita hampir sampai,” ujar Ling Yuan tanpa menoleh.
Matanya tetap fokus pada peta di tangannya. Jemarinya yang panjang dan pucat melacak jalur kecil yang tampak seperti garis halus di peta itu.
“Kota Manggang tinggal sehari perjalanan lagi,” tambah Alexa, suaranya dingin namun tegas.
Dong San yang menunggangi kudanya di sisi kiri kereta mengangguk. Ia menoleh ke arah Dimas yang masih duduk santai di dalam.
“Kalau begitu, kita langsung ke reruntuhan setelah ini?” tanyanya, meski pertanyaan itu lebih kepada memastikan.
Ling Yuan mengangguk pelan.
“Ya. Tapi hati-hati. Semakin dekat ke reruntuhan, semakin banyak kelompok kuat yang berkumpul. Persaingan akan semakin tajam.”
Dong San tertawa kecil, meskipun tawanya lebih karena rasa gugup. Ia memainkan tombaknya, mengayunkannya pelan di atas kuda.
“Kalau begitu, kita harus cepat. Jangan sampai keduluan orang lain.”
Alexa hanya melirik sekilas ke arahnya, namun tidak berkata apa-apa.
Dimas juga tidak menyahut. Ia hanya membuka sedikit matanya, mengamati langit yang cerah, sebelum akhirnya kembali memejamkan mata. Wajahnya tetap santai.
Mereka melanjutkan perjalanan seperti biasa, bercanda dan berbincang di sela-sela waktu. Sesekali Dong San mencoba melucu, menceritakan tentang kejadian semalam ketika ia tersesat mencari tempat buang air kecil dan malah dikejar seekor monyet hutan. Cerita itu membuat Alexa menghela napas pelan, sementara Ling Yuan hanya menggeleng pelan.
Dimas mendengar semuanya, tapi tidak banyak memberikan respon. Ia hanya tersenyum kecil, membiarkan suasana di antara mereka mencair tanpa intervensinya.
Tiba-tiba, suasana di sekitar mereka berubah.
Angin yang semula bertiup sejuk mendadak berhenti. Udara yang tadinya segar kini terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan dari segala arah.
Burung-burung hutan yang biasanya bersahut-sahutan kini diam. Tak ada suara binatang. Tak ada suara apapun selain derak roda kereta yang melaju perlahan.
Alexa yang berada di depan tiba-tiba mengangkat tangannya.
“Berhenti,” ucapnya singkat.
Kuda-kuda berhenti seketika. Pengawal-pengawal yang menyertai mereka langsung siaga, mencabut senjata tanpa banyak bicara.
Ling Yuan turun dari kudanya, matanya yang tajam menyapu sekeliling. Dong San merapat, berdiri di sisi kanan kereta sambil menggenggam erat tombaknya.
Dimas tetap duduk di dalam kereta. Ia membuka matanya perlahan, tanpa tergesa.
“Mereka datang,” ucapnya pelan.
Matanya mengarah ke pepohonan lebat di sekitar mereka. Bayangan-bayangan hitam mulai bermunculan satu per satu.
Jumlah mereka tidak sedikit. Setidaknya lima puluh orang, masing-masing bersenjata lengkap. Beberapa membawa pedang besar, yang lain membawa tombak panjang. Wajah mereka ditutupi kain kusam, hanya menyisakan sepasang mata yang tajam dan penuh kebencian.
Dong San mendesis pelan. “Kita dikepung.”
Ling Yuan hanya menarik napas, lalu memberikan isyarat dengan jarinya. Para pengawal segera membentuk formasi bertahan di sekitar kereta.
Alexa turun dari kereta kuda, berdiri tenang di depan. Gaun-nya berkilau samar tertimpa cahaya matahari yang menembus celah pepohonan.
Ling Yuan menyusul ke sampingnya, pedang panjang di punggungnya sudah tergenggam erat.
Dong San, dengan gerakan cepat, berdiri di sisi lain, bersiap jika serangan tiba-tiba datang dari arah berbeda.
Dari barisan musuh, satu orang maju. Tubuhnya besar, berotot seperti binatang buas. Wajahnya penuh bekas luka. Di pundaknya, tergantung pedang besar dengan ukiran kuno, seperti senjata dari era perang zaman dahulu.
Langkahnya mantap. Setiap kali ia melangkah, tanah seolah bergetar.
Ia berhenti sekitar lima belas langkah di depan Alexa.
“Aku Huo, Kapten dari kelompok Serigala Hitam,” suaranya berat, seperti bunyi genderang perang yang dipukul dengan keras.
“Kalian bawa barang berharga. Serahkan semuanya. Termasuk dua wanita itu.”
Matanya menyipit. Pandangannya seperti binatang lapar yang mengintai mangsanya.
“Kami tak suka menunggu. Cepat!”
Alexa tidak menunjukkan emosi apapun. Ia melangkah maju satu langkah.
“Kalian pikir kami takut?”
Nada bicaranya tetap tenang, tapi ada tekanan kuat di balik setiap kata-katanya.
Kapten Huo menyeringai, menunjukkan deretan gigi kuningnya.
“Takut atau tidak, kalian semua tetap akan mati di sini kalau melawan.”
Ling Yuan menghela napas pelan, menurunkan sedikit pedangnya.
“Kami hanya lewat. Kalau kalian ingin hidup, pergi sekarang.”
Tapi Huo hanya meludah ke tanah.
“Aku tak pernah suka kehilangan buruan.”
Wajahnya berubah dingin.
“Kami tidak bernegosiasi dengan mangsa.”
Dong San mencengkeram tombaknya semakin erat. Ia tahu, lawan mereka kali ini tidak akan mudah. Aura yang dipancarkan oleh pria itu sangat kuat. Jauh lebih kuat dari rata-rata prajurit Nascent Soul.
Peringkat akhir Nascent Soul, dan ia tampaknya sudah lama berada di tahap itu.
Dong San mencoba membuka pembicaraan sekali lagi, meskipun samar ia tahu hasilnya akan sama.
“Mungkin ada cara lain…” ucapnya pelan.
Namun, sebelum Dong San menyelesaikan kalimatnya, Huo sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“Serang!”
Suara keras itu langsung memicu gerakan pasukan bandit di belakangnya.
Dimas masih tetap duduk di dalam kereta, kedua matanya mengamati pertarungan yang sebentar lagi pecah. Ia tidak bergerak.
“Latihan yang bagus untuk mereka,” batinnya tenang.
Ia tidak berniat ikut campur kecuali keadaan benar-benar mendesak.
Ling Yuan menggerakkan tangannya, memberi aba-aba pada pasukan pengawal.
“Formasi bertahan!”
Para pengawal segera mengatur posisi. Ling Yuan berdiri di garis depan, bersama Alexa dan Dong San.
Huo tersenyum lebar, lalu menarik pedangnya dari pundaknya.
“Aku suka mangsa yang melawan.”
Ia melangkah maju, diikuti para bandit yang bergerak seperti ombak besar menghantam pantai.
Langkah mereka mengguncang tanah. Pekikan mereka menggema, menciptakan tekanan mencekam.
Pertempuran segera dimulai.
Aduh gak ada yang like nih😌
BERSAMBUNGG..