NovelToon NovelToon
Loka Pralaya: The Begining

Loka Pralaya: The Begining

Status: tamat
Genre:Tamat / Matabatin / Dunia Lain / Perperangan / Pusaka Ajaib
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Margiyono

Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.

Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.

Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.

Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pesan Nyi Lirah

Di taman belakang bangunan megah ini, aku dan Wulan sedang asyik berbicara. Aku benar-benar menikmati momen kebersamaan ini, dan aku memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin untuk bertanya banyak hal tentang tempat ini dan tentang diriku yang hilang.

Tapi tiba-tiba, dari ujung jalan menuju taman, muncul seorang gadis lain, sepertinya pelayan di sini. Dia berjalan menghampiri kami.

“Kak Wulan, Nyi Lirah memanggil kalian berdua untuk menghadap,” kata gadis itu sopan.

Aku dan Wulan saling pandang sejenak, lalu kami berdua berdiri.

“Oh, ada apa ya?” tanya Wulan pada gadis itu.

“Saya tidak tahu, Kak. Nyi Lirah tidak mengatakan apa-apa, hanya berpesan untuk memanggil kalian menghadap beliau,” jawab gadis itu.

“Iya, terima kasih, Gendhis. Kami akan segera ke sana, kamu jalan duluan ya?” kata Wulan pada gadis bernama Gendhis itu.

“Baik, Kak. Saya akan menyampaikan kepada Nyi Lirah bahwa kalian akan segera menemuinya,” jawab Gendhis, lalu pergi.

Setelah Gendhis pergi, aku dan Wulan bergegas menuju bangunan ini.

Kami tidak tahu kenapa Nyi Lirah memanggil kami pagi ini.

Sementara itu...

Di ruang pertemuan utama, Nyi Lirah duduk sendirian. Tak lama, Gendhis datang dan memberitahunya bahwa kami akan segera datang. Beberapa menit kemudian, aku dan Wulan tiba di ruang pertemuan itu. Nyi Lirah menyambut kami dengan senyum ramah dan lembut.

Senyumnya terasa tulus dan hangat, dan aku merasakan getaran energi halus yang begitu menenangkan.

“Bagaimana istirahatmu tadi malam, Nak?” tanya Nyi Lirah padaku.

“Baik, Nyi. Terima kasih atas kebaikan Nyi Lirah kepada saya,” jawabku sopan. “Maafkan saya jika kehadiran saya merepotkan semua orang, termasuk Nyi Lirah.”

“Oh, jangan terlalu dipikirkan,” jawab Nyi Lirah sejenak. “Itu sudah menjadi kewajiban kami untuk saling membantu, apalagi kepada seseorang yang memerlukan, termasuk dirimu.” Dia tersenyum ramah. “Oh iya, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu, Nak,” kata Nyi Lirah.

“Iya, Nyi,” jawabku singkat.

Tapi sebelum Nyi Lirah melanjutkan, matanya tertuju pada jubah yang kukenakan. Senyum tipis terlihat di bibirnya yang sudah berkeriput.

“Hmm, nampaknya jubah itu cocok denganmu, Nak,” kata Nyi Lirah.

“Iya, Nyi,” jawabku tersipu malu. “Wulan yang memberikannya padaku.”

“Iya, aku yang menyuruhnya memilih pakaian itu, dan aku lihat pilihanmu itu cocok sekali dengan ukuran tubuhmu,” balas Nyi Lirah dengan senyumnya yang menenangkan. “Begini,” Nyi Lirah tampak ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Lalu matanya menatap Wulan. “Apakah kamu sudah menceritakan semua kepada gadis ini, Wulan?”

“Iya, Nyi,” jawab Wulan terhenti sejenak, “namun belum semuanya, hanya sebagian besar saja mengenai Loka Pralaya dan negeri Londata,” kata Wulan.

“Oh, begitu ya?” tanya Nyi Lirah.

“Iya, Nyi,” jawab Wulan singkat.

Kemudian mata Nyi Lirah kembali menoleh padaku.

“Sekarang ini kamu sedang berada di Loka Pralaya, Nak,” kata Nyi Lirah, menunggu reaksiku.

Setelah melihatku diam seolah menunggu kelanjutannya, Nyi Lirah melanjutkan, “Sebuah tempat yang mungkin berbeda dengan duniamu sebelumnya.”

Aku sedikit terkejut mendengar keterangan Nyi Lirah, dan aku ingin mendengarnya lebih banyak lagi.

“Iya, Nyi,” jawabku singkat.

“Mungkin sebagian besar sudah kamu dengar sendiri dari cerita yang disampaikan oleh Wulan,” Nyi Lirah berhenti sejenak, melihat reaksiku yang menganggukkan kepala.

“Tapi masih banyak hal yang akan engkau ketahui dari tempat ini nantinya. Dan hal penting yang harus engkau yakini adalah,” Nyi Lirah berhenti lagi,

“kehadiranmu di dunia ini pastinya bukanlah tanpa alasan yang kuat.” Dia menghentikan ucapannya sejenak lagi.

“Aku dapat merasakan bahwa kehadiranmu di sini akan membawa peristiwa besar yang akan terjadi di kemudian hari,” kata Nyi Lirah.

Aku mendengarkan dengan seksama semua yang diucapkan Nyi Lirah. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia benar-benar ingin aku memahami setiap makna dalam ucapan wanita tua yang bijaksana itu.

“Dalam usiaku yang renta ini, aku sudah sering kali menyaksikan berbagai peristiwa di dunia ini,” lanjut Nyi Lirah,

“dan fenomena kehadiran sosok asing sepertimu adalah hal yang biasa terjadi di Loka Pralaya, termasuk di sini, di negeri Londata. Hal lain yang perlu engkau ketahui adalah, setiap kehadiran makhluk asing ke dunia kami akan ditandai dengan bereaksinya pepohonan Sambutara yang banyak terdapat di tepian pantai,” kata Nyi Lirah.

Aku tetap diam mendengarkan setiap kata-katanya, begitu juga Wulan dan Gendhis yang ada di situ.

“Reaksi pohon Sambutara akan menjadi pertanda penting bagi kami,” kata Nyi Lirah.

“Apabila reaksi pohon itu berguncang keras tanpa ada angin yang menyebabkannya,” Nyi Lirah menarik napas dalam-dalam,

“itu adalah pertanda buruk bagi kami.”

Aku merasa cemas mendengar penjelasan tentang pohon Sambutara itu. Aku takut jika kehadiranku juga ditandai dengan guncangan pohon itu. Tapi kemudian aku melihat senyum di bibir wanita tua itu, dan perasaanku sedikit lega.

“Dan kabar baiknya adalah,” Nyi Lirah berhenti sejenak, seolah menunggu reaksiku,

“kehadiranmu di sini tidak ditandai dengan hal itu.” Dia menggantungkan kalimatnya.

Aku masih menunggu kelanjutannya.

“Kami bersyukur karena menyaksikan pohon-pohon itu berbunga indah,” kata Nyi Lirah tersenyum padaku.

“Itu pertanda bahwa kehadiranmu di sini adalah hal baik bagi kami, Klan Lontara.”

Sejenak kemudian, dia melihat ke luar bangunan ini. Setelah menemukan apa yang dicarinya, dia segera menoleh padaku.

“Coba kamu lihat pohon besar yang ada di depan Gubuk Manah ini,” pinta Nyi Lirah.

Aku mengalihkan pandanganku ke halaman.

Di sana, ada pohon besar yang rimbun, daunnya mirip daun akasia.

Dan yang menakjubkan, bunga-bunga berwarna kuning keemasan mekar di antara dedaunannya, menciptakan pemandangan yang indah. Aku terus menatap pohon itu tanpa berkedip, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, menyaksikan keindahan bunga-bunga di pohon Sambutara yang disebutkan Nyi Lirah.

Saat aku sedang asyik memandangi indahnya bunga-bunga di pohon Sambutara, dari kejauhan tampak seorang penjaga memasuki ruang pertemuan.

“Maaf, Nyi Lirah,” kata penjaga itu.

“Iya, ada apa, Penjaga?” tanya Nyi Lirah.

“Arka dan kedua temannya meminta izin untuk menghadap,” kata penjaga itu sambil membungkuk.

“Oh, iya, suruh mereka masuk!” perintah Nyi Lirah.

Tak lama kemudian, Arka, Carla, dan Vyn datang. Mereka segera memberi hormat kepada Nyi Lirah dan tersenyum padaku.

“Bagaimana? Apa kalian sudah menemukannya?” tanya Nyi Lirah kepada Arka.

“Maaf, Nyi Lirah,” jawab Arka, seolah ingin melanjutkan.

“Teruskan!” perintah Nyi Lirah.

“Kami sudah mencari kemunculan batu-batu itu di seluruh area pondok jaga utara, Nyi,”

Arka berhenti sejenak.

“Tapi tak ada satupun batu Zato yang kami temukan di sana,” jawab Arka.

Nyi Lirah mengerutkan dahi, seolah mengerti bahwa informasi Arka belum selesai. Dia menunggu kelanjutannya. Arka menoleh pada Carla, memberi isyarat agar dia melanjutkan.

“Kami juga sudah menelusuri jejaknya hingga ke bibir pantai Sambutara, Nyi,” lanjut Carla.

“Namun sepertinya keberadaan batu itu lenyap tanpa bekas.” Carla menghela napas dalam-dalam.

Nyi Lirah mengangguk mendengar jawaban Arka dan Carla. Sepertinya dia tidak terlalu heran dengan hasil pencarian mereka.

“Lalu, apa kalian menemukan petunjuk lain?” tanya Nyi Lirah kemudian.

Kali ini Carla menoleh pada Vyn, memberinya kesempatan untuk menjawab.

“Tapi, kami membawa ini, Nyi Lirah,” kata Vyn sambil melepaskan tas kulitnya dan mengeluarkan beberapa bunga Sambutara.

Dia tersenyum, tampak puas dengan jawabannya. Nyi Lirah menyipitkan mata, memastikan apa yang dibawa Vyn, lalu setengah bergumam,

“Bunga Sambutara?”

Vyn menyerahkan bunga itu pada Nyi Lirah.

Nyi Lirah memandangi bunga itu seolah belum mengerti mengapa mereka membawanya.

“Kenapa kalian membawa bunga ini kepadaku?” tanya Nyi Lirah.

Sepertinya Vyn yang paling bersemangat menjelaskan.

Melihat tingkahnya, Carla menyenggol pundaknya dan memberinya kode untuk menjawab. Nyi Lirah tersenyum pada Vyn dan memberinya kesempatan.

“Mungkin kamu punya jawabannya, Vyn?”

“Iya, Nyi Lirah,” jawab Vyn.

“Apa itu?” kata Nyi Lirah.

“Awalnya kami hampir menyerah, Nyi,” kata Vyn terhenti sejenak, “karena kami sudah berusaha mencari batu Zato itu di sepanjang pantai, bahkan semua area sudah kami telusuri, dan kami tak berhasil menemukannya,” jawab Vyn.

“Lalu?” tanya Nyi Lirah.

“Lalu, setelah kami pikir-pikir, bukankah tujuan mencari batu Zato itu untuk mendapat petunjuk tentang keberadaan Bei Tama?” kata Vyn.

“Iya, benar, keberadaan batu itu sangat kita butuhkan,” jawab Nyi Lirah,

“karena hanya batu itulah yang mampu menyimpan informasi terhadap setiap kejadian di sekitarnya dengan baik.”

Mendengar jawaban Nyi Lirah, Vyn tampak bingung memberikan alasan yang tepat. Dia memandang Arka seolah meminta bantuan.

Arka mengangguk mengerti.

“Begini, Nyi Lirah,” kata Arka melanjutkan ucapan Vyn.

Nyi Lirah menoleh padanya, siap mendengarkan.

“Kami berpikir untuk membawa bunga itu, karena…” Arka tampak ragu. Tapi setelah beberapa saat, dia melanjutkan,

“Karena menurut kami, bukankah bunga ini juga muncul karena sebuah peristiwa?” kata Arka, terdengar seperti pertanyaan.

Nyi Lirah tampak belum paham. Dia hanya diam, menunggu Arka melanjutkan.

“Seperti halnya batu Zato yang muncul karena ada peristiwa penting, bunga ini juga melakukan hal yang sama. Ia muncul karena ada sesuatu, dan itu berarti bunga ini juga menyimpan sebuah energi yang dapat kita gunakan.” Arka berhenti, tak dapat melanjutkan.

Sepertinya dia sedang mencari alasan yang lebih kuat.

“Sebuah energi?” gumam Nyi Lirah pelan.

Dia tampak ikut berpikir, mendalami ucapan Arka.

“Sebuah energi?” ulangnya, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Saat Nyi Lirah dan Arka sedang memikirkan bunga itu, mata Nyi Lirah sempat menangkapku yang begitu intens memperhatikan bunga itu. Aku memang sangat ingin menyentuhnya. Dan seperti mendapat bisikan, Nyi Lirah berinisiatif memberikan bunga itu padaku.

“Nampaknya engkau sangat tertarik dengan bunga ini, Nak?” tanya Nyi Lirah.

“Iya… iya, Nyi. Rasanya saya ingin sekali memegangnya,” jawabku.

Mendengar permintaanku, Nyi Lirah segera memberikan bunga itu padaku.

Mataku  berbinar memegang bunga itu. Kucium dengan lembut, dan aku menikmati momen itu.

Hal itu membuat semua mata di ruangan itu tertuju padaku, bukan hanya karena sikapku pada bunga itu, tapi karena mereka melihat perubahan luar biasa pada bunga itu.

Seketika, bunga yang agak layu itu kembali segar saat kugenggam. Tidak berhenti di situ, bunga itu semakin memancarkan cahayanya yang berkilauan, hampir menerangi seluruh ruangan, padahal saat itu siang hari.

Kemudian, kami semua dengan jelas mencium aroma harum semerbak yang dikeluarkan bunga itu. Aromanya begitu halus dan harum, memenuhi seluruh ruangan.

Kejadian ini membuat semua yang hadir tertegun, terutama Nyi Lirah.

Dia tidak menyangka akan melihatnya. Begitu juga Wulan, Arka, Carla, Vyn, dan Gendhis. Mereka tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun menyaksikan fenomena luar biasa itu.

Setelah beberapa menit berlalu, perlahan-lahan sinar bunga itu meredup, begitu juga aromanya. Aku kemudian membuka mataku dan memandang Nyi Lirah dengan senyum yang menawan.

“Apakah aku boleh menyimpannya, Nyi Lirah?” tanyaku.

Nyi Lirah hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan permintaanku.

“Boleh, kamu boleh menyimpannya,” katanya ramah.

“Terima kasih, Nyi,” jawabku.

Lalu Nyi Lirah memecah keheningan.

“Kalian semua,” katanya, memandang semua yang hadir.

“Apa yang kalian saksikan hari ini adalah sebuah tanda, dan itu mengandung pesan penting yang harus kalian pegang teguh.”

“Baik, Nyi,” jawab Carla, seolah mewakili semua.

“Aku berpesan kepada kalian, tolong camkan baik-baik kalimatku ini,” kata Nyi Lirah, berhenti sejenak. “Walaupun kalian tidak menemukan petunjuk tentang keberadaan Bei Tama, namun dengan membawa bunga ini kepadaku, hal itu memberikan petunjuk baru yang akan menentukan masa depan Loka Pralaya, terutama masa depan kalian dan Klan Lontara di kemudian hari.” Nyi Lirah berbicara dengan penuh kebijaksanaan. Semua yang hadir mendengarkan dengan seksama.

“Gadis ini,” kata Nyi Lirah sambil menatapku,

lalu mengarahkan pandangannya pada semua yang hadir.

“Gadis yang berdiri di hadapan kalian saat ini adalah amanat yang dikirimkan oleh Sang Maha Kuasa kepada kita.

Kehadirannya akan membawa perubahan besar bagi Loka Pralaya dan Klan Lontara.”

Nyi Lirah berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam.

“Namun hal yang jauh lebih penting lagi ialah, kemunculan gadis ini juga akan diiringi dengan peristiwa besar lainnya. Akan ada banyak pertentangan yang terjadi, dan pesanku…”

dia menarik napas lebih dalam lagi, “apapun yang akan terjadi, kalian harus berada di belakang gadis ini, membelanya dengan jiwa dan raga kalian.”

Kalimat Nyi Lirah terasa begitu dalam dan berat.

Arka hanya diam membisu, pikirannya menerawang jauh.

Carla dan Vyn juga sama, terdiam merenungkan apa yang baru mereka dengar.

Suasana ruang pertemuan itu hening. Aku merasakan getaran energi aneh merayapi tubuhku.

Aku merasakan aura ketenangan dari bunga Sambutara yang kugenggam.

Namun di sisi lain, aku juga merasakan aura mengerikan dari kata-kata Nyi Lirah. Pikiranku kembali melayang. Aku kembali teringat saat pertama kali terdampar di pantai itu, bagaimana aku bisa sampai di tempat ini, dan satu hal yang terus menghantuiku adalah, hingga sekarang aku masih belum bisa mengingat siapa diriku dan dari mana asalku.

1
Abu Yub
lanjut thor semangat/Pray/
Abu Yub
lanjut thor
Abu Yub
lanjut
Selvy
Semangat
Abu Yub
Aku mampir lagi thor/Pray//Ok//Good/
Abu Yub
terimakasih
Abu Yub
carla dan vyn
Abu Yub
nyi
Abu Yub
lanjut/Pray/
Abu Yub
aku mampir thor. jng lupa mampir juga novel aku
Margiyono: ok otw ...
total 1 replies
Abu Yub
berempat
Abu Yub
Aneh
Abu Yub
tiba tiba
Hye Kyoe
Halo aku mampir nih....🤩
Margiyono: thaks..kak..
/Drool//Pray/
total 1 replies
liynne~
semangat, and done ya/Chuckle/
Dewi Ular🐍💆🏻‍♀️
Prita? Nama yang indah/Drool/
Margiyono: he.he.. trmksh kak.. padahal aslinya itu polypropilen.. loka pralaya itu asli ada di dunia nyata.. cuma seting karakter dan tokohnya saja.. alurnya sama dg yg di dunia nyata
total 1 replies
Andressa Maximillian
plis
Andressa Maximillian
menurutku ceritanya bagus, dunia yang dibangun penuh misteri dan kejutan
Margiyono: terimakasih
total 1 replies
Andressa Maximillian
wah.. seru nih. ditunggu kelanjutannya
Margiyono
siap, terimaksih...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!