The World Where You Exist, Become More Pleasant
_______
"Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?"
- Kalila Adipramana
_______
Terus-terusan direcoki Papa agar bergabung mengurus perusahaan membuatku nekat merantau ke kabupaten dengan dalih merintis yayasan sosial yang berfokus pada pengembangan individu menjadi berguna bagi masa depannya. Lelah membujukku yang tidak mau berkontribusi langsung di perusahaan, Papa memintaku hadir menggantikannya di acara sang sahabat yang tinggal tempat yang sama. Di acara ini pula aku jadi mengenal dekat sosok pemimpin kabupaten ini secara pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rsoemarno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10.) Pekan Raya Jakarta
Chapter 10: Pekan Raya Jakarta
“Selamat ya Kalila… Program perdana Yayasan Muda Berguna berjalan sangat sukses. Sampai-sampai daerah lain juga pingin ada cabang YMB di kota kabupaten mereka sendiri. Kalau mau buka cabang di daerah lain, Tante siap jadi donatur utamanya.”
Aku tersenyum senang mendengar ucapan selamat yang dilontarkan wanita paruh baya yang masih terlihat begitu muda dan bugar di usianya yang menginjak 50 tahun lebih ini. Bukan sembarangan, wanita yang duduk di hadapanku ini merupakan seorang menteri sekretariat negara yang sudah menjabat 2 periode ini.
“Terima kasih tawarannya, Tan. Untuk sekarang aku mau fokus sama perkembangan YMB di Bawera dulu. Nanti kalau udah stabil, baru kupikirkan untuk membuka cabang YMB di daerah lain.”
“Mau fokus dulu di Bawera karena ada Satya, ya? Tante udah dengar lho, beritanya.” tanya Tante Kirana menggoda.
Aku tersenyum malu sekaligus sungkan mendengar godaan Tante Kirana. Dulu aku pernah bertunangan dengan Alreno, anak Tante Kirana. Dan aku pula yang membatalkan pertunangan itu karena ada kesepakatan perjodohan antara Papa dengan Tante Kirana yang kurang sreg di hatiku.
“Maaf, Tan.” cicitku.
Tante Kirana mengibaskan tangannya. “No.. no.. Yang sudah berlalu, biar berlalu. Lagian siapa yang bisa menolak pesona keponakan Tante itu?”
Aku melebarkan mata terkejut karena baru menyadari fakta ini. Sebelum menjadi Kirana Kusumanegara, beliau termasuk salah salah satu keluarga Dierja. Tepatnya sepupu dari Radjasa Dierja, ayah dari Mas Satya.
“Sebenarnya Tante ngajak ketemu kamu hari ini karena mau minta tolong, Kal.” ujar Tante Kirana.
“Kamu sama Alreno itu usianya sepantaran, bahkan kalian lulus kuliahnya juga bersamaan. Bedanya kamu sudah sukses menemukan jati dirimu lewat YMB, sementara anak Tante masih suka bermain-main di diskotik.”
“Karena itu, bantu Alreno biar bisa jadi peserta di pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan YMB. Tante berencana mengirim Alreno ke Bawera dengan identitas orang biasa agar dia bisa belajar berempati, dan membangun bisnis tentunya.”
Aku meringis mendengar permintaan Tante Kirana. Bukannya apa, menjadi teman bermain selama 10 tahun ditambah bertunangan selama 2 tahun membuatku sangat mengetahui watak Alreno ini.
“Tante ijinkan kamu buat bersikap keras ke Alreno biar dia bisa disiplin, Kal.” tambah Tante Kirana yang menyadari ekspresiku.
Akhirnya, meski dengan hati yang sedikit bimbang aku menyetujui permintaan Tante Kirana. “Baiklah, Tan. Tapi minta Alreno buat jaga sikap ya.”
Tante Kirana tersenyum lebar. “Tentu. Kalau kamu takut Satya cemburu, nanti Tante bantu jelaskan ke dia.” godanya.
Aku tersipu. “Aku bisa menangani Mas Satya sendiri, Tan.” tolakku halus.
Tante Kirana tertawa. “Ya, benar. Dari foto yang beredar juga keliatan kalau Satya yang bucin sama kamu, Kal.” katanya.
“Sekarang dia ada di mana, Kal? Tumben anak itu bolehin kamu ketemu Tante sendirian? Bukannya kemarin kalian tiba di jakarta berdua?”
Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan Tante Kirana yang terasa aneh. “Kenapa aku ga boleh ketemu Tante Kirana sendirian?” tanyaku spontan.
“Mungkin karena Tante Kirana bisa saja menyebarkan aib Mas sewaktu kecil, Yang.” sahut Mas Satya yang tiba-tiba muncul di belakangku.
“Mas…” sapaku mendongakkan kepala.
Mas Satya menunduk dan mengecup keningku. Lantas ia menyalami Tante Kirana kemudian duduk di sebelahku.
“Gausah PDA, Sat. Tante juga tahu kalau kamu yang menang.”
Mas Satya tertawa. “Tante kalau iri langsung hubungi Om Revan saja.”
Tante Kirana mendengus. “Darimana?” tanyanya.
“Tadi dipanggil sebentar ke istana.” jawab Mas Satya ringan.
Tante Kirana menatap Mas Satya tajam. Membuatku sedikit terintimidasi.
“Tante masih ada yang mau dibicarakan sama Kalila? Kalau ga, aku mau ajak Kalila kencan mumpung di Jakarta.” tanya Mas Satya santai.
Tante Kirana melengos.
“Bucinnya gausah diumbar-umbar, Sat. Nanti bisa jadi bahan lawan.” cibir Tante Kirana pada Mas Satya.
“Yaudah sana langsung aja… Keburu malem, ntar. Tante udah selesai urusannya sama Kalila.” usir Tante Kirana
Mas Satya tersenyum lebar. “Tante baik banget sih… Ntar sebelum balik Bawera aku mampir ke rumah, Tan.”
“Pulang dulu, Tan.” pamitku seraya menyalami Tante Kirana.
Kami berdua lantas keluar dari bistro tempatku bertemu dengan Tante Kirana. Di depan pintu masuk, ajudan Mas Satya sudah berdiri menunggu.
“Kalau emang mau ngajak kencan, aku ga mau semobil sama ajudan kamu.” bisikku merujuk pada perkataan Mas Satya saat berpamitan dengan Tante Kirana.
Mas Satya menoleh ke arahku. Ia mengusap rambutku gemas lantas mengajakku mendekati ajudannya.
“Saya mau kencan sama Kalila.” kata Mas Satya tanpa basa-basi pada ajudannya.
Sang ajudan mengangguk paham. Ia menyerahkan kunci mobil. “Saya akan mengikuti dari jarak aman dengan mobil lain, pak.”
Mas Satya membukakan pintu penumpang untukku. Tangannya dengan sigap memegang atap mobil untuk memastikan kepalaku aman masuk ke dalam. Tak lama, ia langsung masuk ke kursi pengemudi.
Saat memakai sabuk pengaman, aku iseng mengedarkan pandangan keluar mobil dan mendapati ajudan Mas Satya yang tadi berdiri di samping mobil kini sudah menghilang bak ditelan bumi.
“Kita mau kemana?” tanyaku saat mobil berhenti bergerak di lampu merah.
Mas Satya menyandarkan tubuhnya ke kursi pengemudi. Ia menolehkan kepala menghadapku.
“Sayang mau kemana? Mas belum ada gambaran tempat menyenangkan di Jakarta ini.”
Aku meringis malu. “Sejujurnya aku juga jarang eksplor Jakarta sih, Mas. Kalau ada waktu luang gitu aku ikut Mama jalan-jalan ke luar negeri.”
Mas Satya tersenyum. “Anak Mama banget ya..” godanya. “Kalau gitu ada ga tempat di Jakarta ini yang pengen kamu datangi tapi belum kesampaian juga.”
“Pekan Raya Jakarta.” jawabku antusias. “Kayaknya juga pas lagi diadakan deh sekarang.”
Mas Satya tampak mengutak-atik ponselnya. “Oke kita kesana.”
Lampu lalu lintas berubah hijau. SUV hitam yang sebelumnya berada di belakang kami langsung menyalip untuk berada di depan mobil kami. Aku melirik Mas Satya yang tidak terlihat kesal saat disalip. Dengan santainya ia malah mengikuti SUV tersebut hingga tak terasa kami sudah tiba di area parkir tempat PRJ diadakan.
“Ajudan Mas ikut masuk?” tanyaku saat menyadari jika SUV yang memandu kami hingga tiba di tempat ini berisi ajudan-ajudannya.
Mas Satya membantuku melepas sabuk pengaman. “Memang tugas mereka untuk selalu berada di sekitar Mas, Sayang. Apalagi di keramaian seperti ini.”
Aku mengangguk paham. “Tapi jangan menempel ya, Mas. Ini kan bukan di Bawera, jadi kurasa banyak juga yang ngeh siapa kamu. Kalau terlalu dekat nanti orang-orang malah pada curiga.”
Mas Satya mengangguk. “Yuk, turun.” ajaknya.
Kami masuk ke dalam pameran dengan tiket yang sudah disiapkan ajudan Mas Satya sebelumnya. Tidak seperti ketika di alun-alun Bawera dimana Mas Satya harus menyamar agar tidak dikenali warga. Saat ini kami berpakaian santai dan berjalan dengan saling menautkan tangan, sesekali Mas Satya merangkul pinggangku bila dirasa sekitar kami terlalu ramai.
Beberapa tampak mencuri pandang ke arah kami, seolah memastikan apakah kami orang yang mereka kenal. Aku juga merasakan ada beberapa kamera ponsel yang mengarah kepada kami secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Aku yakin dalam beberapa jam kedepan akan ada foto kami berdua di sosial media.
Akan tetapi aku dan Mas Satya sepakat tidak menggubris ketidaksopanan mereka mengambil gambar kami tanpa ijin. Kami ingin menikmati festival ini sebagai sepasang kekasih yang bebas di depan umum. Karena akan cukup sulit untuk melakukan hal ini di Bawera nanti di saat kami belum juga mengumumkan hubungan kami di hadapan publik.
“Mas, aku mau bikin konten jajanan apa aja yang kubeli di sini. Terutama makanan tradisionalnya yang jarang banget diekspos influencer-influencer yang datang.” ujarku saat melihat banyak juga makanan tradisional yang dijual di tempat ini.
“Boleh. Nanti Mas bantu kamu ambil videonya.” tawar Mas Satya baik hati.
Aku menerima tawaran Mas Satya dengan senang hati meski tidak mengetahui skill Mas Satya dalam memegang kamera.
Segera kami mendatangi berbagai stand makanan tradisional yang menarik perhatianku. Mas Satya dengan sigap mengambil video dari berbagai sudut yang membuatnya terlihat seperti fotografer profesional. Beberapa kali juga ia mengambil video selfie kami berdua yang tengah menikmati waktu tunggu makanan disiapkan dengan bercanda.
“Kalau mau bikin video mukbang disini sepertinya ga bakal kondusif, Yang.”
Aku mengangguk setuju. “Lalu dimana tempat yang kondusif?”
“Apartemenku?” tawar Mas Satya. “Kebetulan lokasinya dekat sini, jadi sampai sana makanannya masih dalam kondisi yang cukup bagus, Yang.”
“Baiklah…. Kepo juga aku sama tempat tinggal Mas di Jakarta ini.” kataku menyetujui.