Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22 Pernikahan dan Kehancuran Artha
Hari ini adalah hari berbahagianya bagi pasangan pengantin yang duduk di pelaminan. Banyak tamu datang yang mendoakan. Meski pernikahan ini begitu mengejutkan banyak orang tentu saja.
Milea dan Reyhan turut bahagia atas pernikahan Inara dan juga Argha. Foto prewed mereka terpampang dengan besar di setiap sudut. Mereka senang melihat foto-foto itu terpajang dengan apik.
“Selamat, Nara! Kamu cantik sekali.” Milea memeluk Inara dengan erat, bahkan sampai air matanya hampir menetes. Mendengar pernikahan Inara dan Artha batal, Milea sudah sempat emosi. Namun, kini ia lega, Inara jadi menikah dan tidak mendapatkan beban sosial dari para tetangga.
Berharap, Argha bisa membahagiakan Inara, tak seperti Artha yang memilih bermain api.
Inara melerai pelukannya. Perasaannya juga berkecamuk, senang, terharu dan rumit. Ia tak bisa menjelaskan ini. “Makasih, Mil.”
“Pak Argha, selamat. Semoga Anda bisa membahagiakan sahabat saya,” ucap Milea penuh harap.
“Terima kasih, Mil. Saya akan membuat saudari kamu ini bahagia. Kamu tenang saja.” Argha berusaha meyakinkan Milea. Semuanya akan berjalan semestinya, seperti pasangan lain yang hidup berbahagia dalam pernikahan mereka.
Namun, di balik kebahagiaan pesta itu, seseorang menyimpan lukanya. Ya, siapa lagi kalau bukan Artha. Pria itu meminum minumannya, seolah tak bisa minum lagi.
“Udah, Tha, relakan. Salah kamu sendiri juga, kan?” tegur Alden yang turut prihatin dengan keadaan Artha.
“Dari sekian banyak jutaan wanita di dunia ini, kenapa harus Inara? Kenapa?” Tubuh Artha sudah sempoyongan, ia begitu kacau. Minta maaf pun tak pernah ditanggapi oleh Inara. Menyesal memang selalu berada di belakang.
“Kenapa dia harus ambil cewek yang aku cintai!” Artha menepuk-nepuk dada Alden, air matanya mengalir begitu saja. “Dia … dia gadis yang aku cintai. Diah … jalang itu tiba-tiba datang. Dia yang terus merayuku, Den.”
Alden memang sahabat Argha, tetapi ia sepupu kedua kakak beradik itu. Tak mungkin jika Alden tidak memiliki rasa peduli pada Artha.
“Udah, Tha, dia bukan jodohmu. Kamu harus menerimanya.”
“Tidak! Dia harus kembali padaku.” Artha berusaha untuk menghampiri Inara dan Argha, hanya saja, ia menabrak pelayan.
Seketika minuman dalam nampan tumpah, suara bising dari gelas yang pecah membentur lantai pun menjadi sorotan. Semua kerusuhan dan keributan di venue mewah ini menjadi hening.
Dengan mata yang merah karena pengaruh alkohol dan emosi, Artha menatap nyalang pelayan itu.
“PUNYA MATA TIDAK!” bentak Artha.
Alden gelagapan, tangannya meraup wajahnya sendiri, buru-buru ia menghampiri Artha. Menarik lengannya pelan, namun Artha justru menepisnya kasar. Semua orang memperhatikan mereka.
Pelayan yang tertabrak Artha begitu sangat ketakutan.
“Maafkan saya, Tuan. Saya—“
“Punya mata itu dipakai!”
“Sudah, Tha, sudah. Malu, Tha.”Alden terus menarik Artha untuk menjauh, tetapi lagi-lagi Artha menepisnya, Alden memaksanya, ia tahu tenaga Artha yang mabuk tak sebesar dirinya.
Beberapa pelayan berhamburan datang. Membantu membersihkan lantai dan memungut pecahan gelasnya.
“Woy, awas ya kamu!” teriak Artha yang masih tak terima dan Alden membawanya pergi. Pelayan itu sudah menangis ketakutan.
Argha menghela napas. Meski ia senang melihat keadaan Artha yang mengenaskan, ia merasa malu dengan sikap adiknya itu.
“Sebentar ya, Mas,” pamit Della dengan menepuk lengan Alan. Ia ingin memeriksa keadaan putranya itu.
“Urus dia. Jangan biarin dia buat ulah lagi,” titah Alan berbisik pada istrinya.
Della mengangguk, buru-buru ia keluar dari pesta. Alan sendiri memaksakan diri untuk tersenyum. Ia malu dengan sikap putra bungsunya itu.
“Maaf, Artha kalau sedang mabuk memang begitu,” ucap Alan pada beberapa rekan bisnisnya.
Inara terdiam, ia menunduk saat kembali duduk. Melihat Artha yang kacau begitu, ia merasa kasihan sekaligus malu.
‘Bukankah ini yang kamu inginkan, Nara?’ batin Inara. Ia tersenyum getir. Bayangan tentang masa lalunya bersama Artha kembali hadir. Segala bentuk kasih sayang dan perhatian Artha. Semuanya hanya kenangan.
“Nara, kamu baik-baik saja?” Argha mengusap punggung Inara dengan lembut. Istrinya itu mengangkat wajah, memberikan anggukan kecil.
Argha terkesima melihat wajah Inara. Gadis itu cantik dengan balutan gaun pengantin modern berwarna putih susu.
“Aku baik-baik saja.” Hanya itu yang bisa Inara ucapkan, ia tak mau merusak suasana.
Sementara itu, keluarga Inara sedang bergunjing mengenai sikap Artha yang kurang baik pada pelayan tadi.
“Sudah, Ma. Jangan julid,” tegur Amar pada istrinya, sementara Nadira justru asyik menikmati kudapan.
“Dia sengaja mau mempermalukan Inara dan Argha atau gimana, sih? Untung, bukan dia yang jadi menantu kita, Pa.” Susi menggelengkan kepalanya. Namun, lagi-lagi Amar memintanya untuk diam dan tidak memperpanjang lagi. Walau bagaimana pun juga, Artha juga kini telah menjadi keluarga putrinya itu.
“Ma, lagian juga sibuk banget urus Kak Artha. Orang patah hati ya gitu.” Nadira melahap makananya, ia senang bisa makan enak seperti ini. Kapan lagi, kan?
Keadaan sudah kembali tenang, tak ada lagi yang memperbincangkan mengenai kejadian tadi.
Hingga sesi pemotretan kembali datang. Argha dan Inara foto bersama keluarga Inara.
Alan sendiri, ia sibuk mencari keberadaan istrinya yang kini sedang berada di kamar Artha.
“Kamu ini benar-benar memalukan, Artha!” omel Della. Ia memijat kepalanya yang mendadak pening. “Sudah mama bilang, jangan mengacau!”
“Kak Argha kenapa sebrengsek itu, Ma? Kenapa dia rebut Nara dariku?” Artha bergumam, suaranya sudah hampir tak terdengar lagi.
Della duduk di tepi ranjang. Ia tak menyangka, Artha akan sekacau ini. a pikir, putranya itu hanya akan bermain-main saja, tidak tahunya, Artha memang benar-benar menaruh hati pada Inara.
“Bagaimana keadaan dia?” tanya Alan saat masuk ke ruangan Artha.
“Seperti yang kamu lihat, Mas.” Della sampai menahan tangisnya. “Maaf, aku sudah gagal.”
Alan duduk di sebelah Della, mengusap kepalanya dengan lembut. “Bukan salahmu. Kamu sudah menjadi ibu yang baik, di tengah kesibukan kita, kamu selalu menyempatkan diri untuk mengurus anak-anak.”
Della memeluk suaminya erat, seolah dada sang suami itu adalah tempat ternyamannya untuk bersandar. Hanya saja, ada satu yang mengganjal dari pikirannya.
Argha!
Sampai sekarang, Argha masih belum bisa menerimanya sebagai ibu, meski ini sudah hampir 26 tahun.
“Kita harus kembali ke pesta Argha, Mas.”
Alan menganggukkan kepala. Sesekali ia melirik putranya yang sudah terkapar, lalu pada Alden yang baru membersihkan diri karena terkena muntahan Artha.
“Alden, biarkan dia istirahat sendiri. Take your time,” kata Alan dengan senyuman.
“Iya, Om. Dia kalau sudah begini, pagi-pagi baru bisa bangun.” Alden meraih jam tangannya, lalu memakainya kembali, setelah itu keluar dari kamar Artha.
Seperti biasa, Alden memberikan laporan pada Argha mengenai keadaan Artha. Pria itu masih tetap tak menunjukkan ekpresi apapun. Argha tak begitu peduli dengan Artha, lebih tepatnya, ia senang melihat Artha menderita.
“Kamu sudah seperti malaikat maut buat Artha, Gha. Dia benar-benar kacau,’ bisik Alden yang begitu sangat prihatin.
Argha menyeringai. “Itu yang kuharapkan,” batinnya bangga. Rasa sakit yang ia rasakan sedari kecil, pada akhirnya terbalas. Artha tak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan. Dan ini belum seberapa.
“Mas, kakiku sakit,” keluh Inara yang sudah tak tahan karena terlalu lama berdiri.
Argha melirik jam tangannya. “Tinggak beberapa menit lagi. Sabar ya? Apa kamu sudah tidak sabar untuk itu?” godanya berbisik.
Pipi Inara langsung memerah mendengar itu. “Apaan, sih!”
“Kalian kenapa bisik-bisik?” tegur Alden penasaran.
“Segeralah menikah, maka akan tahu bagaimana perasaan pengantin baru. Kepo!” cibir Argha dengan smirknya.
Alden merasa kesal, ia memilih untuk pergi menemui Nadira yang duduk sendiri. ‘Cakep juga adeknya Inara.’