Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: BAYANGAN DI BALIK KUASA
Lorong-lorong kuil itu semakin membawa dingin yang menusuk, meskipun api obor Vera dan Maya masih menyala terang. Setelah melewati ujian masing-masing, kelimanya—Arjuna, Vera, Maya, Dimas, dan Raka—akhirnya bertemu kembali di sebuah ruangan besar yang lebih gelap dari ruangan sebelumnya. Tidak ada ukiran di dinding-dinding ini, hanya permukaan batu kasar yang dipenuhi lumut, seolah ruangan ini adalah bagian yang paling kuno dari kuil tersebut.
Di tengah ruangan itu terdapat sebuah altar berbentuk lingkaran, dihiasi dengan kristal hitam yang memancarkan kilauan gelap. Di atas altar tersebut, terlihat sebuah bola kristal besar yang berputar perlahan, memancarkan aura jahat yang sangat kuat. Semua orang berhenti sejenak, merasakan hawa mengerikan yang mengalir dari benda itu.
"Itu sumbernya," bisik Dimas, suaranya hampir tenggelam oleh detak jantungnya yang berpacu cepat. "Kristal itu adalah inti dari kegelapan di kuil ini."
Raka melangkah maju, menatap bola kristal dengan sorot mata tajam. "Ini bukan hanya sekadar kristal. Ini adalah penjaga pintu terakhir menuju gerbang itu. Jika kita tidak menghancurkannya, kita tidak akan pernah bisa keluar dari sini."
Vera mengangguk, mencoba mengendalikan rasa takutnya. "Kita harus menghancurkannya sekarang, sebelum terlambat."
Namun, saat Raka mengangkat stafnya untuk memulai ritual penghancuran, sebuah suara keras menggema di seluruh ruangan. Suara itu datang dari segala arah, dalam dan penuh dengan kebencian.
"Berani sekali kalian datang ke sini dan mencoba menghancurkan apa yang telah aku bangun selama berabad-abad."
Semua orang membeku di tempat mereka berdiri. Dari kegelapan di ujung ruangan, sebuah sosok muncul perlahan. Sosok itu tinggi, dengan tubuh yang tampak tidak sepenuhnya manusia. Kulitnya kelam seperti bayangan, matanya bersinar merah, dan ada tanduk kecil yang mencuat dari kepalanya. Dia membawa tongkat panjang dengan ujung berbentuk tengkorak.
"Siapa kau?" Arjuna bertanya, meskipun bagian dari dirinya sudah tahu bahwa sosok itu adalah ancaman terbesar yang pernah mereka hadapi.
Sosok itu tertawa pelan, suara tawanya bergema di dinding ruangan. "Aku adalah Seta, penguasa kegelapan di Tirta Amerta. Aku adalah penjaga gerbang ini, dan kalian adalah tamu-tamu yang tidak diundang."
Vera melangkah maju dengan keberanian yang memancar di wajahnya. "Kami tidak takut padamu, Seta. Kami tahu apa yang harus dilakukan untuk menghentikan kegelapan ini."
"Tidak takut, ya?" Seta menyeringai, memperlihatkan giginya yang tajam. "Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi. Aku sudah melihat banyak orang sepertimu. Pahlawan-pahlawan kecil yang berpikir bahwa mereka bisa mengalahkan kegelapan. Tapi akhirnya, mereka semua berakhir sama—menjadi bagian dari kekuatan ini." Dia menunjuk ke kristal hitam besar di tengah altar.
Maya mencoba menarik perhatian kelompoknya. "Kita harus melawan, tapi kita tidak bisa melakukannya secara sembrono. Seta adalah makhluk yang sudah menjadi bagian dari kuil ini. Dia mungkin tidak bisa dihancurkan dengan cara biasa."
---
Tanpa peringatan, Seta melompat maju, tongkatnya menghantam tanah dengan keras. Dari titik itu, gelombang energi hitam menjalar ke seluruh ruangan, memaksa mereka semua untuk berpisah dan berlindung di balik pilar-pilar batu yang ada di sekitar ruangan.
Arjuna, yang kini lebih percaya pada dirinya setelah melewati ujiannya, melompat ke arah Seta dengan belatinya yang bersinar biru. Dia mengayunkan belatinya dengan kekuatan penuh, tetapi serangannya hanya menyentuh udara kosong. Seta bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, muncul di belakang Arjuna dan menjatuhkannya dengan pukulan keras.
"Kau terlalu lambat," ejek Seta, sebelum meluncurkan serangan lain yang memaksa Arjuna mundur.
Dimas dan Raka bekerja sama, mencoba menyerang dari dua arah yang berbeda. Raka mengayunkan stafnya, menciptakan gelombang cahaya yang memantul ke dinding-dinding ruangan, sementara Dimas melepaskan panah energi dari jimat yang dia bawa. Namun, Seta hanya tertawa, menghilang dan muncul kembali seolah-olah dia adalah bagian dari bayangan di ruangan itu.
"Kalian hanya membuang-buang waktu," katanya. "Kegelapan tidak bisa dihancurkan. Itu adalah bagian dari dunia ini, seperti kalian adalah bagian dari cahaya."
Vera menyadari bahwa mereka tidak akan menang dengan cara ini. Dia melihat ke arah kristal hitam di altar dan menyadari bahwa itulah kunci segalanya. Jika mereka bisa menghancurkan kristal itu, mungkin mereka bisa melemahkan Seta.
"Maya!" Vera berteriak. "Bantu aku ke altar! Kita harus menghancurkan kristal itu sekarang!"
Maya mengangguk, mengikuti Vera yang mulai berlari menuju altar. Namun, Seta menyadari apa yang mereka rencanakan dan muncul di depan mereka, menghalangi jalan mereka dengan tongkatnya.
"Kalian pikir aku akan membiarkan kalian begitu saja?" katanya dengan nada marah. Dengan satu ayunan tongkatnya, dia menciptakan dinding energi hitam yang memisahkan Vera dan Maya dari yang lainnya.
---
Sementara itu, di sisi lain ruangan, Arjuna dan Raka mencoba mencari cara untuk menembus dinding energi itu. Dimas memperhatikan sesuatu yang aneh—di salah satu dinding ruangan, ada ukiran yang bersinar samar. Ukiran itu mirip dengan yang mereka lihat di pintu masuk kuil, tetapi kali ini ada simbol yang lebih jelas: sebuah kunci yang terbelah dua.
"Raka! Arjuna! Lihat ini!" seru Dimas. "Mungkin ini bisa membantu kita menghancurkan dinding energi itu!"
Raka segera mendekati ukiran itu dan memeriksanya. "Ini adalah simbol pemisah. Jika kita bisa mengaktifkannya, mungkin kita bisa menghancurkan koneksi Seta dengan kuil ini."
"Bagaimana caranya?" tanya Arjuna, semakin tidak sabar.
"Kita harus menemukan dua sumber energi di ruangan ini," jawab Raka. "Satu pasti ada di altar, dan yang satunya lagi... mungkin di tubuh Seta."
Sementara Raka dan Arjuna mencoba mencari solusi, Vera dan Maya menghadapi Seta secara langsung. Maya mencoba melindungi Vera dengan mantra perlindungan, tetapi kekuatan Seta terlalu besar. Dia berhasil melukai Maya, membuatnya terjatuh ke tanah dengan luka besar di lengannya.
"Sekarang tinggal kau," kata Seta, menatap Vera dengan senyum licik. "Apa yang akan kau lakukan, Vera? Apakah kau pikir kau bisa melawanku sendirian?"
Vera menggenggam belatinya erat-erat, meskipun dia tahu itu tidak cukup. "Aku tidak takut padamu, Seta," katanya dengan tegas. "Aku akan menghentikanmu, apa pun yang terjadi."
Dengan sisa keberaniannya, Vera melompat ke arah kristal di altar. Dia mengayunkan belatinya dengan kekuatan penuh, tetapi sebelum belatinya menyentuh kristal, sebuah suara lain menggema di ruangan itu.
"Berhenti, Vera," suara itu berkata, suara yang dalam dan penuh otoritas. Semua orang membeku di tempat mereka berdiri, termasuk Seta.
Dari kegelapan di atas altar, sebuah sosok muncul. Sosok itu berbeda dari Seta—auranya lebih terang, tetapi tetap membawa kesan yang sama menakutkannya.
"Siapa kau?" Vera bertanya, matanya membelalak.
"Aku adalah penjaga sejati kuil ini," sosok itu menjawab. "Dan kalian telah melanggar keseimbangan dunia ini."
Ruangan itu mulai bergetar, dan mereka semua menyadari bahwa pertempuran ini baru saja dimulai. Rahasia di balik kuil dan kaitannya dengan dunia kegelapan perlahan terungkap, membawa mereka lebih dekat ke bahaya yang tak terbayangkan.