Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 10 — Reuni —
Aku terbangun di tengah malam, tergugah oleh suara samar yang menggema di sekitar hutan. Suara langkah kaki berat menginjak ranting yang patah, memecah keheningan yang biasanya menyelimuti malam. Jantungku berdetak kencang. Tubuhku mendadak kaku, sementara di sebelahku, Eirene masih terlelap dengan wajah damainya. Menatapnya sejenak, aku mengingat kembali saat-saat saat ia mengisahkan masa lalunya, mengingatkanku betapa rentannya ia di sini.
Perlahan, aku beranjak dari sisinya, memastikan tidak ada gerakan yang terlalu mencolok agar Eirene tetap tertidur. Setelah aku keluar dari tenda, mataku menyesuaikan diri dengan kegelapan. Dengan mengaktifkan Penglihatan Malam, suasana di sekeliling mulai terlihat jelas.
Di kejauhan, aku bisa melihat beberapa sosok samar bergerak di antara pepohonan, dan perasaanku berdesir tajam. Siluet-siluet itu terasa sangat familiar, membuat jantungku semakin berdebar kencang.
Aku berdiri mematung, bingung sekaligus terkejut. Itu teman-teman sekelasku. Aku melihat beberapa dari mereka yang pernah mengisi hari-hariku di dunia lama, seperti Ayana Suzue yang selalu berusaha tampil elegan, serta Kenta, yang sejak dulu memegang peran pemimpin di antara kami.
Di sini, di dunia asing ini, mereka juga terlihat sedikit berbeda—kini mengenakan baju perang dan peralatan lengkap. Pikiran tentang rencana Raja Iblis terlintas di benakku, mengingatkan bahwa mereka, entah bagaimana, adalah ancaman bagi diriku dalam tiga tahun ke depan.
Aku menghela napas panjang, menekan keinginan untuk mendekat dan menyapa. Bagaimanapun juga, mereka adalah teman-temanku—orang-orang yang telah berbagi kenangan dan mimpi bersamaku. Tapi ingatan akan kata-kata Raja Iblis terus berputar di kepalaku, membuat langkahku terhenti. Aku tahu bahwa mendekati mereka mungkin membawa bahaya. Maka, aku memutuskan untuk berbalik dan membiarkan mereka pergi.
"Eh?!"
Namun, sebelum aku benar-benar sempat menjauh, tiba-tiba sebuah bola api melesat ke arahku dengan kecepatan tinggi. Refleksku langsung bekerja, membuatku menghindar dalam waktu singkat. Aku menoleh, terkejut, dan mendapati salah satu dari mereka dengan tangan terulur ke arahku, seakan mempersiapkan serangan berikutnya.
Keberadaanku rupanya telah terdeteksi, dan mereka kini memasang formasi pertahanan. Untungnya, serangannya agak jauh dari tenda, jadi itu tidak akan mengganggu tidur Eirene.
Aku sempat ragu sejenak, merasakan adrenalin mengalir kencang di dalam diriku. Haruskah aku menghilang begitu saja? Atau… mungkin, aku bisa mendekati mereka dan menjelaskan semuanya.
Mengambil keputusan yang cukup berisiko, aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengaktifkan skill Manipulasi Darah. Lapisan darah melindungi tubuhku, menjadi tameng jika mereka benar-benar menyerang lagi.
Dengan hati-hati, aku mendekati mereka. Aku bergerak dengan cepat namun tidak berisik, hingga akhirnya muncul tepat di hadapan mereka. Ketika aku menampakkan diri, beberapa dari mereka tampak terperangah, terutama Ayana yang matanya membelalak saat melihatku.
"Hayato?!" Suara Ayana menggetarkan suasana, diikuti oleh desas-desus dari teman-teman lainnya yang langsung mengarahkan pandangan mereka padaku.
Aku mengangkat kedua tanganku, berusaha memberikan isyarat damai. Wajah mereka menyiratkan campuran keterkejutan dan kebingungan. Beberapa langkah di depanku, Kenta berdiri, menatapku seakan memastikan bahwa ini memang aku.
“Kenta,” sapaku, mencoba memecah keheningan yang tiba-tiba terasa begitu tegang. “Ini aku, Hayato.”
Kenta maju selangkah dengan ekspresi sulit diterjemahkan, matanya menelusuri diriku, mungkin mencari tanda-tanda bahwa ini semua bukanlah tipuan. “Hayato… kau masih hidup?” suaranya lirih, nyaris tak percaya. “Kenapa kau tidak ikut bersama kami sejak awal? Kami semua berpikir kau sudah…”
Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Rasanya terlalu banyak yang harus dijelaskan. “Aku… aku sendiri bingung dengan semua ini. Aku terbangun di hutan ini tanpa tahu apa yang terjadi.”
Dari balik kerumunan, yang lainnya berbicara, suaranya terdengar cemas, “Kami juga tidak sadar kalau kau tidak bersama kami.”
Ayana melangkah maju, matanya masih menyiratkan keterkejutan. “Kami benar-benar khawatir, Hayato. Kupikir kau mungkin…” Kata-katanya terhenti, dan ekspresinya berubah melankolis, membuat hatiku sedikit tersentuh. Di bawah langit malam yang gelap, wajahnya seolah menggambarkan rasa cemas dan kelegaan yang bercampur aduk.
Kenta lalu mengulurkan tangannya kepadaku. “Jika begitu, ikutlah bersama kami. Kami akan kembali ke Abeir Toril—tempat yang aman.”
Abeir Toril? Aku tak tahu apa yang dimaksud Kenta dengan itu. Mendengar ajakannya, aku ragu sejenak. Pikiran tentang Eirene masih menghantui. Meninggalkannya di tengah hutan tanpa penjelasan jelas bukanlah hal yang bisa kulakukan dengan ringan hati. Namun, aku menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk kembali terhubung dengan teman-temanku, setidaknya untuk saat ini.
“Baiklah,” jawabku akhirnya, mencoba menutupi keraguan dalam suaraku. Tapi sebelum benar-benar pergi, aku teringat sesuatu. Aku membalikkan tubuhku dan menuju sebatang pohon, lalu menggunakan Manipulasi Darah untuk menulis pesan di atas sehelai daun.
Aku menempatkan daun itu di tempat yang mudah terlihat di dekat tenda, berharap Eirene akan mengerti. Dengan sedikit rasa berat di hati, aku kembali ke teman-teman sekelasku, bergabung dengan mereka untuk perjalanan ke Abeir Toril.
Setelah bergabung dengan teman-teman sekelasku, aku merasakan suasana yang hangat meski di tengah hutan yang dingin. Kenta memimpin jalan, diikuti oleh Ayana dan juga yang lainnya. Suara langkah kaki kami berpadu dengan suara dedaunan yang berdesir, menciptakan irama yang menenangkan. Namun, di dalam hatiku, ada rasa cemas yang terus menggelayuti.
“Jadi, bagaimana kau bisa terpisah dari kami?” Kenta bertanya, menoleh ke arahku dengan penuh rasa ingin tahu. “Kami semua berusaha mencari, tetapi tidak menemukan jejakmu.”
Aku merengut, mengingat kembali bagaimana aku terbangun sendirian di hutan itu. “Aku tidak tahu. Aku terbangun di tempat yang asing dan tidak ada tanda-tanda keberadaan kalian. Rasanya seperti… aku terlempar ke dunia lain.”
Ayana mengangguk, seolah berusaha memahami. “Kami juga mengalami hal yang sama. Kami terbangun di tempat yang sama seolah-olah sudah dikumpulkan untuk sesuatu. Tapi saat kami semua berkumpul, kau tidak ada. Tentu saja, aku jadi khawatir dengan itu."
Perasaan hangat menyelimuti hatiku mendengar kata-kata Ayana. Rasanya menyenangkan mengetahui bahwa mereka mengkhawatirkanku. Namun, di sisi lain, ada rasa malu yang menggerogoti diriku. “Maaf jika membuat kalian khawatir,” kataku, menundukkan kepala. “Aku tidak bermaksud…”
“Jangan bilang begitu, Hayato!” potong Kenta dengan tegas. “Kami adalah teman. Kami saling menjaga. Itu yang terpenting.”
Ayana tersenyum lembut, dan aku merasakan jantungku berdebar. Senyumnya membuatku teringat akan momen-momen indah saat ia ada di dunia lama.
Namun, pada saat itu juga, firasat buruk menghantuiku. Ada sesuatu yang tidak beres, seolah ada bayangan gelap yang mengintai di balik semua ini. Ada sesuatu di balik senyuman mereka, di balik kebahagiaan ini, yang membuatku merasa tidak tenang. Mungkin karena aku adalah calon Raja Iblis, perasaan buruk terus bersarang di dalam diriku.
Aku berusaha untuk tetap fokus, dan tidak membiarkan pikiran buruk menghantuiku. Tapi, saat melihat ke arah teman-temanku, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya: apakah aku akan dikeroyok dan dibunuh oleh mereka semua?