“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mie rebus
Fathi melirik tajam saat istri barunya meninggalkan dia bersama anaknya, tanpa berpamitan dengannya. Mau menegurnya rasanya aneh, nanti dikira dia peduli dengan Jihan bukankah dia sudah mengatakan tidak akan mengurus urusan mereka masing-masing, berarti jangan tunjukkan perhatiannya dong.
Jihan yang sudah merasakan perutnya lapar bergegas ke dapur, bukannya ke meja makan.
“Bik Murni masih ada stok mie rebus gak?” tanya Jihan sembari membuka salah satu kabinet dimana dulu Embun suka menyimpan berbagai makanan siap saji.
“Kayaknya masih ada Non,” jawab Bik Murni menunjuk ke arah dalam kabinet tersebut, langsung saja dengan kaki yang dijinjit diambilnya salah satu rasa untuk dimakan.
“Mau Bibi buatkan, Non?” tawar Bik Murni.
“Gak usah Bik, biar Jihan aja yang bikin sendiri,” jawab Jihan, dengan lincahnya dia membuka kulkas mencari sayur sawi, sayur kol, daun bawang, cabai rawit dan sebutir telur sebagai pelengkap makan mie rebusnya, tak terasa lidahnya sudah ngiler membayangkan begitu nikmatnya makan mie rebus yang pedas di malam yang dingin tersebut.
Sekitar tujuh menit Jihan selesai masak mie rebusnya, liurnya semakin ngeces melihat tampilan mie yang sudah matang tersebut. Dengan hati-hati mangkok mie yang bertatakan piring tersebut dia bawa keluar dari pintu samping menuju kolam renang, rasanya sangat mantap pastinya makan mie rebus di tepi kolam renang dengan ditemani angin malam.
“Mmm ... kayaknya enak banget ini,” gumam Jihan sembari menghirup wangi mie yang menguar dari hawa panas yang masih ngebul.
“Non, ini minumnya,” ucap Bik Murni yang menyusulnya mengantarkan segelas air putih.
“Makasih banyak Bik Murni,” jawab Jihan tersenyum, tangannya mulai sibuk memilin mie dan sesekali menyeruput kuah mienya.
“Sama-sama Non,” jawab Bik Murni, usai itu kembali ke dalam.
Jihan kembali menyeruput kuah mienya lalu baru makan mienya. “Sepertinya kurang pedes, ambil saos sambal dulu ah,” gumam Jihan sembari beranjak dari duduknya, lalu bergegas kembali ke dapur untuk mencari saos sambal.
Sehubungan Bik Murni tidak ada di dapur, dan Jihan juga sudah lama tidak ke rumah Fathi, agak kelimpungan mencari saos sambal tersebut, hingga dirinya pun tersentak saat ada bunyi benda yang jatuh.
“Waduh, apa tuh yang jatuh,” gumam Jihan langsung menegakkan tubuhnya, kemudian kakinya bergerak keluar ke tepi kolam berenang.
Membeliaklah netra Jihan melihat mangkok mie-nya sudah berada di lantai dalam keadaan yang tak terbentuk, kemudian netranya tergerak melihat ke sosok pria yang saat ini melangkah menuju pintu masuk yang berbeda.
“Apakah di sini Jihan tidak boleh makan!?” Entah ini sebuah pertanyaan atau pernyataan saat jihan berkata.
Pria itu tidak menolehkan wajahnya, sementara itu Jihan menatap nanar punggung pria itu dengan hati yang sangat berkecamuk.
“Katakan saja jika Jihan tidak boleh makan di sini! Atau menikmati apa pun yang tersedia di sini! Jihan akan sangat tahu diri, jadi Om Dokter tidak perlu membanting mangkok tersebut! Di luar sana masih banyak orang yang kelaparan, dan mangkok yang berisi mie ini sangat istimewa bagi mereka jika melihatnya!” pungkas Jihan. Gadis itu pun berjongkok dan mulai merapikan pecahan mangkok tersebut.
Fathi yang masih berdiri hanya bisa mengepalkan tangannya dan tidak menyahuti perkataan Jihan. Tapi memang dialah pelaku yang menjatuhkan mie milik Jihan, entah apa alasannya.
Sesak sekali rasanya hati Jihan untuk hari ini, ternyata lumayan menekan batinnya padahal dia belum ada sehari menjadi istri mantan kakak iparnya, namun sudah bertubi-tubi permasalahan datang menyapa dirinya. Sebenci itukah mantan kakak iparnya pada dirinya atas dasar sangat mencintai kakaknya dan masih belum menerima suratan takdir yang sudah tergariskan untuk nasib Embun.
Jihan menarik napasnya dalam-dalam agar hatinya tak mendesak dirinya untuk menangis. “Sabar Jihan, kamu pasti kuat menghadapinya!” batin Jihan berusaha menguatkan.
“Baguslah kalau kamu menyadarinya!” jawab Fathi, dengan sekilas menolehkan wajahnya.
“Terima kasih, seharusnya sejak tadi Om Dokter memberitahukan dari awal jika Jihan tidak berhak makan makanan dari sini, dan seharusnya tadi Om Dokter juga tidak usah repot-repot menawarkan Jihan turut makan di sini!” sindir Jihan menatap tajam saat dia mendongakkan wajahnya.
Gadis itu pun berdiri dari jongkoknya dan kembali menuju dapur dengan pintu yang berbeda untuk mengambil sapu dan pengki. Fathi hanya bisa mendengkus kesal dan masuk kembali ke dalam rumahnya.
“Non mau ngapain?” tanya Bik Murni melihat Jihan sudah mengambil pengki dan sapu.
“Mau merapikan pecahan mangkok Bik.”
Bik Murni bergegas mengambil pengki dan sapu tersebut dari tangan Jihan. “Biar Bibi aja yang kerjakan,” pinta Bik Murni.
Akhirnya Jihan membiarkan Bik Murni yang merapikan, gadis itu menghela napas sembari mengusap perutnya yang masih terasa perih. Dari pada dia sakit maagnya kambuh, dia bergegas ke kamarnya mengambil dompetnya, lalu menghampir Bik Murni yang sedang merapikan pecahan mangkok.
“Bik, Jihan keluar sebentar ya,” pamit Jihan.
“Oh ... iya Non,” jawab Bik Murni tanpa bertanya hendak ke mana.
Jihan sengaja keluar dari halaman samping, tidak melalui pintu utama, dia sedang malas bertemu dengan pria yang menyebalkan itu. Dan masalah Ezra sudah ada papa dan baby sitternya, jadi menurutnya tidak masalah jika keluar sebentar demi mengisi perutnya yang sudah semakin perih.
Terpaksa dia harus berjalan kaki menuju keluar komplek perumahan elit tersebut, karena motor miliknya belum dia bawa ke rumah Fathi. Tapi menikmati jalan seorang diri di malam hari ternyata lumayan membuat hatinya sedikit nyaman.
Setibanya dia di luar komplek perumahan, Jihan langsung mencari warung tenda pecel ayam yang ada di jalan utama tersebut, seingat dia tidak jauh dari gerbang utama perumahan. Setelah ketemu Jihan langsung memesan nasi pecel ayam dan lele untuk dia makan di tempat.
“Akhirnya bisa isi perut juga,” gumam Jihan sendiri, ketika pesanannya sudah tersaji di hadapannya. Menghadapi mantan kakak ipar butuh energi yang banyak, dengan lahapnya Jihan menikmati makan malamnya dengan iringan musik yang dinyanyikan oleh pengamen jalanan.
Jika di luar rumah Jihan sedang menikmati makan malamnya, maka di rumah Fathi Ezra rewel dan mulai menangis. Ita si baby sitter mulai kewalahan, Fathi yang mendengar anaknya rewel ikut menanganinya, tapi sayangnya Ezra semakin menangis.
Sungguh sangat disayangkan, memang Fathi juga yang salah, terpuruk karena kehilangan istri tercinta, anak jadi sampai diabaikan. Selama enam bulan Ezra tidak diperhatikan, hanya sesekali saja bertemunya selebihnya diurus oleh Jihan dan Ibu Kaila. Alhasil Fathi tidak berhasil menenangi putranya sendiri.
“Panggil Jihan sekarang!” perintah Fathi sembari mengendong putra semata wayangnya.
“Baik Pak,” jawab Ita, wanita itu bergegas turun ke bawah untuk mencari istri baru majikannya.
“Bik Murni, Non Jihan ada di kamarnya gak?” tanya Ita saat berpapasan dengan Bik Murni.
“Non Jihan, tadi pamit keluar. Memangnya kenapa Ita?”
“Itu Bapak cariin, Ezra rewel lagi,” jawab Ita.
“Ya sudah kita ke atas lagi, Bibi coba bantu tenangin,” ajak Bik Murni. Mereka berdua pun ke lantai dua menuju kamar Ezra.
Tangisan Ezra masih terdengar kejer dalam gendongan Fathi. “Ke mana Jihannya?” tanya Fathi saat melihat kedua wanita itu masuk ke kamar Ezra.
“Maaf Pak, sejak tadi Non Jihan pamit keluar Pak,” jawab Bik Murni.
“Pergi ke mana? Kenapa gak pamit sama saya dulu!” suara Fathi meninggi, wajahnya agak memerah menahan amarahnya. Bik Murni dan Ita jadi tergidik mendengar suara tinggi majikannya.
Bersambung ... ✍🏻