Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Arnold tentu tahu arah pembicaraan Mario kemana, bagaimanapun, Mario adalah orang nomor satu, orang terkaya nomor satu yang tidak akan bisa tersentuh oleh siapapun, mencari masalah dengan Mario, sudah pasti akan berakhir tidak baik-baik saja.
“Papi tunggu kamu di rumah, Renaya!” kata Arnold lalu meninggalkan keduanya.
Arnold langsung mengajak Bella pergi, tidak jadi makan di restoran itu
Setelah Arnold meninggalkan mereka, suasana di meja makan terasa sedikit hening. Renaya menatap punggung ayahnya yang berjalan pergi dengan langkah cepat, tubuhnya tampak kaku dan penuh ketegangan. Ia bisa merasakan keputusasaannya, bagaimana perasaan sang ayah yang tak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Namun, Renaya tetap teguh dengan pilihannya.
Setelah beberapa detik yang penuh keheningan, Mario akhirnya membuka suara, suaranya terdengar lebih ringan namun tetap tegas. "Kamu nggak usah khawatir, sayang," katanya, sambil memandang Renaya dengan pandangan yang penuh arti. "Aku akan selalu ada di sini untuk kamu. Apa pun yang terjadi, aku tak akan biarkan siapa pun, termasuk ayahmu, membuat kamu merasa tidak aman atau tertekan."
Renaya menghela napas panjang, merasa sedikit lega meskipun masih ada ketegangan di dalam dirinya. "Aku tahu, Dad. Tapi, aku nggak tahu harus gimana lagi. Papi itu keras kepala sekali. Mungkin dia nggak akan pernah menerima aku bersama kamu." Matanya menatap Mario dengan tatapan yang sulit dibaca—antara kebingungan, ketegangan, dan rasa rindu terhadap kasih sayang yang terasa semakin sulit didapatkan.
Mario mengulurkan tangannya, dengan lembut membelai rambut Renaya yang tergerai. "Terkadang orangtua memang keras kepala, sayang. Tapi kamu punya hak untuk memilih jalan hidupmu. Dan aku yakin, pada akhirnya, dia akan melihat bahwa kamu bahagia. Jika dia benar-benar peduli padamu, dia akan mengerti."
Renaya mengangguk pelan, meskipun hatinya sedikit terluka. Ia tahu betul bahwa ayahnya hanya ingin yang terbaik untuknya. Namun, ia juga tahu bahwa perasaan itu tidak cukup untuk menghapus kenyataan bahwa hubungan mereka semakin renggang sejak Bella hadir dalam hidup mereka.
Mario tersenyum tipis, meskipun ada keseriusan di balik senyumnya. "Kamu tahu kan, Renaya, bahwa segala sesuatu dalam hidup ini pasti ada tantangannya. Mungkin ini salah satu dari tantangan itu. Tapi kita akan hadapi bersama-sama, oke?" Ia menatap Renaya dengan penuh keyakinan, memberikan rasa aman yang hanya bisa datang dari seseorang yang benar-benar peduli.
Renaya terdiam sejenak, menatap mata Mario yang penuh perhatian itu. Setelah beberapa detik, ia akhirnya mengangguk, merasakan ketenangan yang muncul dari dalam dirinya. "Iya, Dad. Aku percaya sama kamu," jawabnya, suaranya penuh dengan rasa terima kasih dan keyakinan.
**
**
**
Sementara itu, di luar restoran, Arnold dan Bella sudah keluar dan berjalan menuju mobil. Arnold tidak bisa menahan rasa kesalnya. Ia merasa sangat terluka dengan sikap Renaya yang tampaknya lebih memilih untuk mendengarkan Mario daripada dirinya. Di sisi lain, Bella tampak tenang, meskipun ia tahu bahwa perasaan Arnold saat ini sangat terombang-ambing.
"Kenapa kamu diam saja?" tanya Arnold dengan suara keras, mencoba meredam rasa frustrasinya. "Kenapa dia harus memilih pria itu? Pria yang bahkan tidak tahu batas!"
Bella hanya menghela napas panjang, mencoba menenangkan suaminya yang tampak semakin cemas. "Sayang, kamu tahu kan, Mario itu bukan orang sembarangan. Jangan terlalu emosi. Kita bisa coba cari cara lain untuk mendekati Renaya. Yang penting sekarang adalah jangan membuat situasi jadi lebih buruk."
Arnold menatap Bella dengan tatapan tajam, tetapi akhirnya mengangguk pelan. "Aku tahu, tapi ini sulit, Bella. Sulit sekali menerima kenyataan ini. Renaya adalah putriku, dan dia lebih memilih pria itu daripada aku."
"Kalau begitu, kamu harus lebih hati-hati. Renaya bukan anak kecil lagi. Kamu harus beri dia ruang untuk memilih jalannya sendiri," Bella menenangkan, meskipun dalam hatinya juga merasa cemas. Dia tahu bahwa dengan kedekatan Renaya dan Mario, semuanya bisa berubah dengan sangat cepat.
Arnold tidak mengucapkan apa-apa lagi. Ia hanya mengarahkan mobil mereka keluar dari area parkir restoran, mencoba untuk menenangkan dirinya. Namun, di dalam hatinya, rasa kecewa dan amarah yang tak tertahankan terus mengganjal.
Bella duduk di kursi mobil, matanya terfokus pada jalan yang terbentang di depan, namun pikirannya jelas melayang jauh, kembali ke masa lalu. Setiap detik yang berlalu semakin mengingatkannya pada hubungan yang pernah ia jalani dengan Mario—pria yang penuh perhatian, yang ketika mencintai, tak segan memberikan segalanya. Tapi kini, itu bukan lagi miliknya. Mario tidak lagi menatapnya dengan cara yang sama. Semua itu kini tertuju pada Renaya.
Setiap kali Bella memandang Renaya, rasa cemburu semakin menggelora di dalam dadanya. Renaya begitu mudah meraih perhatian Mario, seperti dulu ia lakukan. Namun bedanya, kini ia bukan lagi wanita yang pertama dalam hidup Mario. Bella tahu benar, bahwa saat Mario sudah memilih seseorang, dia akan memberikan seluruh hatinya. Dia akan memberikan perhatian dan kasih sayang yang begitu mendalam, seperti yang dia lakukan pada Renaya.
Di dalam hatinya, Bella merasa sebuah rasa jengkel yang sulit dibendung. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ada wanita lain yang kini mendapatkan apa yang dulu selalu menjadi miliknya. "Renaya...," gumam Bella pelan, seolah menyimpan dendam yang tidak terucapkan. "Kamu pikir kamu bisa menguasai semuanya, tapi aku akan pastikan Mario kembali ke pelukanku."
Bella menggenggam stir mobil dengan lebih erat, mencoba menenangkan dirinya. Tentu saja, dia tidak akan membiarkan Mario begitu saja meninggalkannya. Dia sudah cukup lama bertahan dalam bayang-bayang hubungan itu. Kini saatnya dia bertindak. "Mario, kamu akan kembali padaku," bisiknya lagi, dengan tatapan mata yang penuh tekad.
Sementara itu, di dalam restoran, Mario dan Renaya tidak menyadari betapa besar badai yang sedang mengguncang pikiran Bella. Mereka menikmati makan siang mereka dengan santai, meskipun pikiran Renaya masih terganggu oleh pertemuan dengan ayahnya. Setiap detik terasa lebih berat karena beban yang harus ia tanggung—menyusun kata-kata untuk menjelaskan keputusan hidupnya, terutama kepada Arnold.
Namun, Mario selalu tahu bagaimana membuatnya merasa lebih baik. Ia tahu betul bagaimana membuat Renaya merasa dihargai, merasa diinginkan, dan dicintai. Itu adalah bagian dari siapa Mario—seorang pria yang jika mencintai, tak segan-segan memberikan seluruh hatinya, bahkan jika itu berarti harus bertahan melawan berbagai macam rintangan yang datang dari orang-orang di sekitarnya.
Dengan senyuman lembut, Mario menatap Renaya. "Kamu baik-baik saja, sayang?" tanyanya dengan perhatian penuh.
Renaya mengangguk, meskipun ada kekhawatiran yang masih menggelayuti dirinya. "Iya, Dad. Cuma... Papi, dia pasti masih marah. Aku nggak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya padanya."
Mario mengulurkan tangan, meraih tangan Renaya yang terletak di meja. "Kita akan hadapi ini bersama, Renaya. Kamu nggak sendiri."
Mario mengusap lembut wajah Renaya, “Bagaimana kalau kita menikah saja?”
“Hah! Me-menikah Dad!?”
**
Jangan lupa mampir ke Fb otor ya, Mima Rahyudi.
Terima kasih.
**
Visual Mario dan Renaya