NovelToon NovelToon
Aku, Atau Dia?

Aku, Atau Dia?

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Playboy / Crazy Rich/Konglomerat / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Gangster
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: keisar

Gema Tangkas Merapi, siswa tampan dan humoris di SMA Gajah Mada, dikenal dengan rayuan mautnya yang membuat banyak hati terpesona. Namun, hatinya hanya terpaut pada Raisa Navasya, kakak kelas yang menawan. Meski Gema dikenal dengan tingkah konyolnya, ia serius dalam mengejar hati Raisa.

Setahun penuh, Gema berjuang dengan segala cara untuk merebut hati Raisa. Namun, impiannya hancur ketika ia menemukan Raisa berpacaran dengan Adam, ketua geng sekolahnya. Dalam kegalauan, Gema disemangati oleh sahabat-sahabatnya untuk tetap berjuang.

Seiring waktu, usaha Gema mulai membuahkan hasil. Raisa perlahan mulai melunak, dan hubungan mereka akhirnya berkembang. Namun, kebahagiaan Gema tidak berlangsung lama. Raisa terpaksa menghadapi konsekuensi dari pengkhianatannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

berhenti

Pengumuman untuk pulang sudah keluar dari guru XI IPS 4. Seketika murid-murid XI IPS 4 langsung berhamburan keluar kelas, seperti burung-burung yang baru saja terlepas dari sangkar. Suara tawa dan obrolan yang bercampur riuh bergema di sepanjang koridor, meninggalkan Gema dan Tara yang masih tertahan di dalam kelas yang mulai lengang.

“Gem, Tar, gua duluan ya. Mau push rank sampai Ancient,” ujar Kian dengan semangat, tangannya terulur mengajak tos. Gema dan Tara menyambutnya dengan senyum ringan, meski di balik senyum itu tersirat sedikit kelelahan.

“Selamat piket, Gema, Tara!” Dava, yang selalu dengan senyum mengejeknya, melambaikan tangan sambil melangkah keluar kelas, seolah tak ada beban.

Gema hanya bisa mengacungkan jari tengahnya dengan setengah bercanda, tetapi jelas terlihat ada nada kesal di wajahnya. Sementara itu, Tara, yang tampak lebih tenang, meletakkan tasnya di dekat pintu kelas, bersiap untuk mulai piket.

“Bangsat, baru nyadar gua,” gumam Gema dengan wajah yang berubah kesal.

“Napa?” tanya Tara, bingung dan sedikit terkejut mendengar nada teman baiknya itu.

“Yang piket dan masuk cuman kita, Tar. Gua sumpahin mereka kakinya patah,” balas Gema, nadanya tajam tapi penuh dengan canda kesal yang menggantung di udara.

Tara mengangkat bahunya dengan santai, lalu meraih sapu yang tergeletak di sudut ruangan. “Biarin aja, Gem. Palingan mereka yang nggak mau piket beralasan sakit, terus berkembang jadi kena COVID,” jawab Tara dengan dingin, tanpa sedikit pun kehilangan ketenangannya.

Tara mulai menyapu, gerakan tangannya terampil dan cepat. Ia mendekati Gema yang masih memandang ke luar kelas dengan pandangan yang kesal. “Gem, lu angkatin bangku, gua yang nyapu,” titah Tara dengan nada tegas, meski wajahnya masih tetap tenang.

Gema, yang tadinya masih tampak kesal, akhirnya menghela napas panjang dan mulai ikut bekerja. Suasana kelas yang tadinya ramai kini berubah hening, hanya terdengar suara sapu yang menyapu lantai berdebu.

Ponsel Tara bergetar di dalam saku, membuatnya berhenti sejenak. Dengan satu gerakan cepat, Tara meraih ponselnya dan melihat pesan dari Andra, kakak kelas sekaligus pacarnya.

Bebeh❤️

beh, kelas aku udah pulang. Kamu dimana? Masih di kelas?

Tara mengetik cepat sambil tetap mengawasi pekerjaan Gema.

^^^Tara :^^^

^^^Maaf ya Dra, aku masih harus piket. Aku paling selesainya 15 menit, kamu aja yang kesini, mau nggak?^^^

bebeh❤️:

Oh oke.

^^^Tara:^^^

^^^Beh, Kak Raisa masih sama kamu nggak?^^^

bebeh❤️

Ada, kenapa Beh?

^^^Tara:^^^

^^^Ajak sekalian Beh, katanya Gema mau pulang bareng. Sekalian semangatin Gema.^^^

bebeh❤️

Oh, oke.

Tara kembali mengantongi ponselnya dan lanjut menyapu, senyum kecil terselip di bibirnya. Mereka berdua membersihkan kelas dalam diam, hingga akhirnya Gema memecah keheningan dengan suara yang lebih serius dari sebelumnya.

“Tar,” panggil Gema pelan, gerakan menyapunya melambat, tanda bahwa pikirannya sedang berkecamuk.

Tara hanya mendengus kecil sebagai jawaban, tidak ingin mengalihkan fokusnya dari pekerjaan.

Setelah beberapa saat, Gema menghentikan gerakannya dan menatap Tara dengan sorot mata yang lebih serius. “Kayaknya si Dava belum bisa lupain Sandra deh,” ucap Gema, suaranya terdengar lebih berat, seperti menahan sesuatu yang sulit diucapkan.

Tara meletakkan sapunya, lalu mendekati Gema. Wajahnya kini serius, mencerminkan keseriusan topik yang dibicarakan. “Ya, lu bayangin aja, Gem. Lu anak yatim piatu, ada yang lu harus hidupin, dan lu kerja banting tulang buat mereka. Terus ada satu cewek yang dukung lu...” Tara berhenti sejenak, memberi jeda agar Gema benar-benar mendengarkan, matanya terfokus pada teman baiknya.

“Anggaplah Kak Raisa, dia yang semangatin lu buat terus kerja keras, dan kalian pacaran,” Tara kembali menatap Gema dengan serius. “Terus tiba-tiba, Kak Raisa direbut dan jauh dari lu. Kalo itu terjadi, apa yang lu lakuin?” tanya Tara, suaranya rendah, mencerminkan beratnya beban yang dirasakan Dava.

Gema menghela napas, mencoba menimbang situasi. “Gua pukulin sih,” jawab Gema dengan santai, seolah masalahnya bisa selesai dengan kekerasan.

Tara menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Tapi kan yang ngerebutnya anak bos di tempat kerja lu. Lu bisa dipecat, Gem,” ucapnya, mencoba membuat Gema mengerti betapa sulit situasinya.

Gema menggigit bibirnya, matanya menyipit, berusaha mencerna kenyataan pahit itu. “Kenapa dia nggak bilang ke kita sih? Pasti kita bantu,” ucap Gema, suara kekesalan dan rasa bersalah bercampur di dalam hatinya.

Tara mengangguk pelan, ekspresinya melembut. “Lu kan tau dia nggak mau dikasihanin,” jawabnya, penuh pengertian, menatap Gema dengan tatapan yang dalam, seolah ingin menghapus beban yang dirasakan temannya itu.

Gema mengepalkan tangannya, perasaannya campur aduk antara marah dan kecewa. “Ya palingan kita bisa live streaming, ngumpulin duit buat sekolah adeknya,” katanya, mencoba mencari solusi meski terdengar lirih dan penuh keraguan.

Tara menepuk pundak Gema dengan lembut. “Ntar lah kita omongin lagi. Sekarang, fokus piket dulu. Kelas tiga pulang lebih cepat,” ucapnya, mencoba mengalihkan perhatian mereka kembali ke tugas yang ada.

Saat mereka kembali fokus pada pekerjaan, suasana di antara mereka sudah berubah. Rasa bersalah yang mendalam terutama dirasakan oleh Gema, mengganggu pikirannya di setiap sapuan lantai yang ia lakukan.

“Tar,”

“Gem,” panggilan dari arah belakang terdengar, membuat kedua sahabat itu yang sedang fokus mengepel membelakangi pintu menoleh.

“Eh, ada kakak-kakak cantik,” ucap Gema dengan senyum senang, menatap sosok Raisa dan Andra yang menunggu di depan pintu. Gadis Sunda itu tersenyum manis, membuat suasana sejenak terasa lebih ringan.

Tara hanya mengangguk sebagai sapaan, namun tetap fokus mengepel. Ketika sudah dekat dengan pintu, ia mengangkat pelnya dan kembali menaruhnya di dalam ember yang ditaruh di luar, di samping Andra dan Raisa.

“Gem, buru Gem! Kalo cepet gua kasih bapak,” Tara berkata sambil mengecilkan suaranya di akhir, sedikit bermain-main dengan Gema.

“Tolol anjing, lu juga yatim! Gimana cara lu ngasih bapak ke gua,” balas Gema, tersenyum geli, menciptakan suasana canda di antara mereka.

“Bisalah, kan gua kaya, dan baik kayak bapak gua. Siapa tau ada yang mau jadi bapak lu,” ucap Tara dengan nada yang lebih santai, meski nada candaannya sedikit menggoda.

“Baik? Gua aja dikejer om Luthfi pake bambu, apa baiknya,” ucap Gema sambil tertawa kecil, mengenang momen itu.

“Hah?” bingung Raisa dan Andra, mereka tidak sepenuhnya memahami apa yang sedang dibicarakan.

Tara tertawa kecil, mengingat masa lalu. “Masih inget aja lu. Itu beh, si Gema mau ikut maen bareng Hendra, maenan kayak T-rex gitu. Si pinter, leher T-rex nya di copotin, nangis lah si Hendra. Karena kesel, papa aku ngejer dia sampe dilerai bapaknya,” Tara menjelaskan sambil terkekeh, membuat suasana semakin cair.

Mendengar itu, Andra tertawa, begitu juga dengan Raisa yang tak bisa menahan senyumnya, meski ia menutupinya dengan tangan kecilnya.

Gema hanya bisa pasrah mendengar pengalaman menyeramkan sekaligus lucu di ketawai gebetannya.

Setelah selesai, Gema menaruh pelnya ke dalam ember, lalu menatap Andra dengan senyum hangat sebelum mengalihkan pandangannya ke Raisa yang menurutnya semakin cantik setiap harinya.

“Yok buang aernya, sekalian cuci pel, jangan mandangin Kak Raisa mulu,” ajak Tara, membuat Gema menoleh.

Tara dan Gema mengangkat ember yang penuh air bekas mengepel, berjalan bersisian menuju toilet yang terletak cukup jauh dari kelas mereka. Sesekali, mereka saling melempar candaan ringan, meski beban ember yang mereka bawa membuat mereka harus berhati-hati agar tidak tumpah.

Saat mereka kembali, baju dan celana mereka sudah basah kuyup. Entah apa yang terjadi di toilet tadi, namun wajah mereka menunjukkan kelelahan sekaligus kegembiraan. Seperti biasa, mereka berhasil menemukan kesenangan dalam hal-hal kecil meski situasinya tak ideal.

Dengan tawa yang masih tersisa, Tara dan Gema mengambil tas mereka yang tergeletak di bangku, lalu mengenakannya dengan satu gerakan yang kompak. Tara memandang pacarnya, Andra, yang tampak sibuk mengaduk-aduk isi tas hitam miliknya, wajahnya menunjukkan ekspresi bingung.

“Ada apa, beh?” tanya Tara, keningnya berkerut.

Andra berhenti sejenak, menatap Tara dengan mata yang sedikit putus asa. “Kayaknya kacamata aku ketinggalan deh, temenin aku cari, dong,” pintanya lembut.

Tanpa berpikir dua kali, Tara mengangguk. “Yaudah yuk, cari bareng. Kalian duluan gih,” ujar Tara, memberi isyarat pada Gema dan Raisa untuk berjalan lebih dulu.

Tara dan Andra kemudian berjalan beriringan meninggalkan kelas, sementara Gema dan Raisa tertinggal di belakang. Hening sejenak menyelimuti mereka berdua, hingga akhirnya Gema melangkah lebih dekat ke arah Raisa.

“Ayok balik,” ajak Gema, suaranya lembut namun tegas. Raisa hanya mengangguk pelan, tidak mengatakan apa-apa.

Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, Gema meraih tangan Raisa dengan lembut namun pasti. Sentuhan tangan Gema yang besar dan hangat membuat jantung Raisa berdetak lebih kencang. Mereka berjalan bersama menuju parkiran, langkah mereka seirama, seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal dan nyaman satu sama lain.

Sepanjang perjalanan, Raisa tak bisa berhenti memandangi Gema. Wajahnya yang tampak serius saat berjalan, dengan rambutnya yang sedikit berantakan tertiup angin sore, justru membuatnya terlihat semakin tampan di mata Raisa. Ada sesuatu dalam kesederhanaan Gema yang membuatnya berbeda; tidak ada perhiasan mencolok atau gaya yang berlebihan, namun tetap memancarkan pesona yang tak bisa diabaikan.

Tanpa disadari, mereka sudah sampai di parkiran. Gema, yang menyadari lamunan Raisa, meniup lembut wajahnya untuk membangunkan gadis itu dari pikirannya. Raisa tersentak, wajahnya sedikit memerah saat menyadari dirinya keasyikan memandangi Gema.

Gema menatap Raisa dengan senyum lebar. “Gua tau kok kalau gua ini gantengnya melebihi Henry Cavill,” candanya dengan percaya diri, membuat Raisa memutar matanya.

“Mana ada, Henry Cavill mah jauh lebih ganteng, plus sixpack. Lah kamu, buncit begini,” balas Raisa sambil menepuk perut Gema, yang memang agak berisi, meski tidak terlalu besar.

Gema hanya tertawa kecil, menerima candaannya dengan lapang dada. “Untung lu cantik,” gumam Gema, lalu membuka pintu mobil dan masuk ke kursi pengemudi.

Raisa yang sudah masuk lebih dulu ke mobil hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Gema. Mereka berdua pun meluncur menuju rumah Raisa, melewati hiruk-pikuk jalanan sore yang dipenuhi suara klakson dan pengendara yang berlomba-lomba ingin cepat sampai di tujuan.

Sesampainya di rumah mewah bercat putih milik Raisa, mereka berdua menghela napas lega. Gema menghentikan mobilnya dengan perlahan di depan rumah, sambil mengamati Raisa yang keluar dari mobil tanpa berkata apa-apa.

“Kak!” Gema memanggil sebelum Raisa sempat masuk ke dalam rumah. Raisa berbalik, sedikit terkejut dengan panggilan itu.

“Besok gua boleh anter jemput lu lagi nggak?” tanya Gema, ada harapan besar di matanya.

Raisa menatap Gema sejenak, seperti sedang menimbang sesuatu di dalam hatinya. “Gak usah Gem,” jawabnya singkat, namun ada nada lembut yang terkesan di dalamnya.

Gema merasa sedikit bingung dengan jawaban Raisa. “Kenapa?” tanyanya, berharap ada penjelasan lebih.

“Udah gak usah, jalan sana, hati-hati di jalan,” Raisa berkata sambil tersenyum tipis, namun matanya menyiratkan sesuatu yang Gema tak bisa pahami sepenuhnya.

Gema hanya bisa mengangguk, mencoba menerima keputusan itu meski ada rasa kecewa yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menyalakan mesin mobilnya, memandang Raisa yang perlahan berjalan masuk ke rumahnya, lalu perlahan meninggalkan komplek cluster tersebut.

1
Rose Skyler
mamanya masih 29?
Siti Nina
oke ceritanya,,,👍👍👍
Siti Nina
ceritanya bagus kak tetep semangat,,,👍💪
Iqhbal
tetap semangat bg🗿butuh waktu untuk ramai pembaca🗿
Iqhbal
semangat bg, jangan lupa share di komunitas agar orang pada tau
Iqhbal: mau dibantu share? 🗿
Keisar: gak ada waktu, tapi thank you udah komen
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!