Tara Azhara Putri Mahendra—biasa dipanggil Tara—adalah seorang wanita muda yang menjalani hidupnya di jantung kota metropolitan. Sebagai seorang event planner, Tara adalah sosok yang tidak pernah lepas dari kesibukan dan tantangan, tetapi dia selalu berhasil melewati hari-harinya dengan tawa dan keceriaan. Dikenal sebagai "Cewek Tangguh," Tara memiliki semangat pantang menyerah, kepribadian yang kuat, dan selera humor yang mampu menghidupkan suasana di mana pun dia berada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Angin dingin malam menerpa wajah Tara ketika ia dan yang lainnya terus berlari tanpa henti melewati lorong-lorong kota yang sepi. Sirene dan deru kendaraan masih terdengar samar dari belakang, namun mereka telah keluar dari zona paling berbahaya—untuk saat ini. Jalanan kota yang gelap dan kosong, diapit oleh gedung-gedung tinggi yang menjulang, menciptakan perasaan seperti mereka terperangkap dalam labirin tanpa ujung.
“Aku yakin kita sudah kehilangan mereka,” gumam Lucas, berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah.
“Kita belum aman,” balas Adrian sambil memeriksa sudut jalan dengan hati-hati. “Mereka punya akses ke semua kamera di kota. Kita harus segera menemukan tempat untuk bersembunyi.”
Tara menoleh ke Raymond. “Apa ada tempat aman yang bisa kita tuju?”
Raymond mengangguk sambil menatap peta di perangkatnya. “Ada sebuah gudang tua yang sudah lama ditinggalkan di pinggiran kota. Kalau kita bisa sampai ke sana, mungkin kita bisa menunggu sampai situasi sedikit mereda.”
“Bagaimana caranya ke sana?” tanya Tara, merasa napasnya semakin berat. Mereka sudah berlari cukup lama tanpa istirahat.
“Kita perlu mencari kendaraan,” jawab Raymond. “Kalau jalan kaki, mereka akan menemukan kita dalam waktu singkat.”
Lucas melirik ke arah jalan utama, di mana beberapa kendaraan melintas sesekali. “Kita bisa mencuri mobil. Tidak ada pilihan lain kalau mau cepat.”
Adrian tersenyum tipis. “Ternyata kau punya sisi pemberontak juga, Lucas.”
“Ini keadaan darurat,” balas Lucas sambil menyipitkan mata. “Aku tidak suka merampas hak orang, tapi kalau kita tidak cepat, kita bisa kehilangan nyawa.”
Tanpa membuang waktu, mereka berjalan cepat menuju jalan utama yang lebih terbuka, berhati-hati menghindari sorotan lampu dari kendaraan yang lewat. Suara derap kaki mereka bergema pelan di trotoar yang lengang, menambah kesan tegang yang sudah menggantung di udara.
Setelah beberapa menit mengintai, Tara melihat sebuah mobil sedan hitam parkir di depan sebuah toko kecil yang sudah tutup. Mobil itu tampak biasa saja, namun yang terpenting, tak ada penjaga di sekitar.
“Itu dia,” bisik Tara sambil menunjuk. “Aku bisa mencoba membobolnya.”
Raymond mengangguk setuju. “Cepat, kita tidak punya banyak waktu.”
Tara berjalan mendekat ke mobil itu dengan hati-hati, sementara yang lainnya berjaga-jaga di sekitarnya. Dengan gesit, Tara mengeluarkan perangkat kecil dari dalam jaketnya—alat khusus yang dirancang untuk membuka kunci elektronik. Tangannya bergerak cepat, memasukkan alat itu ke dalam slot kunci mobil.
Hanya butuh beberapa detik sebelum bunyi klik halus terdengar, tanda kunci mobil telah terbuka. Tara tersenyum kecil, lalu menggeser pintu mobil dan masuk ke dalam.
“Cepat masuk!” serunya.
Yang lain segera melompat masuk ke dalam mobil, dan Adrian mengambil alih kursi pengemudi. Dalam sekejap, mesin mobil menderu, dan mereka meluncur ke jalan dengan kecepatan penuh, meninggalkan area tersebut.
“Ke mana sekarang?” tanya Adrian sambil melirik kaca spion untuk memastikan mereka tidak diikuti.
Raymond menunjuk ke arah utara. “Ambil jalan pintas melalui terowongan di sana, lalu terus ke luar kota. Kita harus mencapai gudang sebelum mereka menutup akses keluar.”
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, berbelok tajam di setiap sudut jalan. Meski kota di sekitar mereka sepi, mereka tahu bahwa musuh masih mengawasi, mencari celah untuk menemukan mereka. Ketegangan terasa semakin memuncak seiring waktu berlalu.
Mereka akhirnya tiba di terowongan yang dimaksud Raymond—jalur sempit dan panjang yang biasa digunakan untuk menghindari kemacetan kota. Cahaya lampu mobil menjadi satu-satunya sumber penerangan di dalam terowongan itu, menciptakan bayang-bayang yang bergerak mengikuti kecepatan mereka.
“Aku tidak suka tempat ini,” gumam Lucas, matanya waspada mengamati setiap sudut terowongan.
Tara merasakan hal yang sama. Terowongan ini, meski tampak sepi, memberikan kesan tidak nyaman. Udara di dalamnya terasa berat dan pengap, seolah menambah beban pada bahu mereka.
“Ayo, kita hampir sampai,” kata Raymond, mencoba mengurangi ketegangan.
Namun, tiba-tiba suara bising dari belakang mengusik mereka. Dari kaca spion, Adrian melihat beberapa lampu kendaraan lain yang memasuki terowongan.
“Kita diikuti!” seru Adrian. “Mereka menemukan kita!”
Tara dengan cepat melihat ke belakang. “Ada tiga mobil. Mereka semakin dekat!”
“Pegang erat-erat!” teriak Adrian sebelum menginjak pedal gas lebih dalam.
Mobil mereka melesat di dalam terowongan, namun pengejar dari belakang juga tak mau kalah. Tiga mobil hitam dengan kecepatan tinggi terus mendekat, lampu-lampu mereka menyorot tajam ke arah mobil Tara dan kawan-kawan.
“Lucas, bisa kau ganggu sistem mereka?” teriak Tara sambil memegangi pintu dengan kuat.
Lucas mengeluarkan perangkatnya lagi, mencoba meretas jaringan komunikasi musuh. Namun, dalam situasi yang penuh tekanan seperti ini, ia merasa kesulitan. “Butuh waktu! Mereka sudah memperkuat sistem keamanan mereka!”
Suara tembakan tiba-tiba terdengar dari belakang. Pengejar mereka mulai menembak, peluru menghantam bagian belakang mobil mereka, menimbulkan percikan api.
“Kita harus lakukan sesuatu!” seru Raymond, wajahnya mulai penuh ketegangan.
Adrian menggertakkan giginya dan mengarahkan mobil ke sisi kanan terowongan, berusaha menghindari tembakan. “Kita tidak bisa terus-terusan menghindar! Apa rencanamu, Ray?”
Raymond menoleh ke Tara dan Lucas. “Kalian berdua siapkan senjata. Kita tidak punya pilihan selain melawan balik.”
Tara mengeluarkan pistol kecilnya dari sarung, sementara Lucas dengan enggan melakukan hal yang sama. Meski ia lebih terbiasa dengan dunia digital, ia tahu bahwa saat ini ia harus melawan demi keselamatan mereka semua.
Adrian melirik cermin tengah. “Ketika aku memberi isyarat, kalian buka jendela dan tembak ke ban mereka. Kita harus memperlambat mereka!”
Ketika salah satu mobil pengejar semakin dekat, Adrian berbelok tajam, membuat mobil itu kehilangan keseimbangan sejenak. “Sekarang!” teriaknya.
Tara dan Lucas membuka jendela dengan cepat dan melepaskan tembakan ke arah ban mobil terdekat. Tembakan Tara tepat mengenai ban depan mobil tersebut, membuat kendaraan itu tergelincir dan menabrak dinding terowongan dengan keras. Ledakan kecil terdengar, diikuti suara kaca berderak.
“Satu jatuh,” gumam Tara, namun dua mobil lainnya masih terus mengejar.
Saat mereka keluar dari terowongan, Adrian memacu mobil lebih cepat, namun jalanan kini semakin sempit dengan belokan-belokan tajam. “Kita hampir sampai di luar kota,” katanya dengan penuh konsentrasi. “Tapi mereka tidak akan berhenti sampai kita benar-benar lenyap.”
Pengejaran ini terasa seperti tanpa akhir. Setiap belokan yang mereka ambil, dua mobil di belakang mereka terus menempel, tidak memberikan ruang bagi mereka untuk melarikan diri.
“Kita tidak akan bisa lolos jika hanya seperti ini,” gumam Lucas, matanya tetap terfokus pada perangkatnya. “Aku butuh waktu lebih untuk meretas sistem mereka.”
Raymond memandang ke depan, matanya menelusuri peta digital. “Di depan sana, ada jalan yang menuju ke lereng bukit. Jika kita bisa membuat mereka kehilangan kontrol di sana, kita punya peluang.”
“Kita mungkin harus mengambil risiko itu,” kata Tara, bersiap-siap untuk apa yang akan terjadi.
Adrian mengangguk. “Pegang erat-erat. Ini akan gila.”
Mobil mereka berbelok tajam ke arah jalan setapak yang berkelok menuju lereng bukit. Jalanan semakin tidak rata, membuat mobil berguncang hebat. Namun, Adrian tetap mengendalikan mobil dengan lihai, menjaga agar mereka tetap di jalur.
“Semoga mereka tidak secepat kita,” gumam Adrian sambil memacu mobil lebih cepat.
Pengejar mereka ternyata juga tak gentar, dua mobil hitam itu masih terus mengikuti. Namun, ketika mereka sampai di tikungan tajam di lereng bukit, Adrian dengan cepat berbelok ke kiri, sementara salah satu mobil musuh tak bisa mengendalikan laju dan jatuh ke jurang.
Ledakan besar terdengar di bawah, namun masih ada satu mobil yang terus mengejar.
“Yang terakhir ini tidak akan mudah dikalahkan,” kata Raymond sambil menatap kaca spion.
Dengan sisa kekuatan mereka, Adrian terus memacu mobil menuju gudang tua di pinggiran kota, berharap mereka bisa mencapai tempat itu sebelum pengejar terakhir menyusul. Waktu mereka semakin menipis, dan ancaman masih terus membayangi.