Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dewa dan Dewi part 2 End.
Aku mendesah saat menyadari tatapan penasaran siswa-siswi padaku saat aku melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah. Aku berbalik, menemukan Bang Ali masih tetap diatas motornya. Abangku menatapku dengan senyum terulas dibibir lalu ia mengepalkan tangan, seolah-olah menyuruhku untuk tetap bersemangat. Aku mendesah lalu lalu balas mengepalkan tanganku juga. Setelah itu aku melangkah berani menuju ke kelasku. Apa pun yang akan kuhadapi di kelas nanti, aku tidak boleh bersikap lemah. Kalau mereka melihatku bersikap berani, aku yakin mereka tidak akan macam-macam.
Saat aku masuk ke kelas, aku merasakan atmosfer yang mencekam. Aku melirik bangku Dewa, menemukannya sedang menatapku dingin. Aku menelan ludah. Jika preman sekolah merangkap murid kesayangan guru itu memusuhiku, aku yakin kehidupan sekolahku tidak akan baik-baik saja. Aku menghela nafas, meneguhkan hati. Dengan langkah sedikit bergetar, aku menghampiri bangkuku. Aku duduk di bangkuku lalu membaringkan kepalaku di meja untuk pura-pura tidur.
“Urusan kita belum selesai,”kata suara yang biasanya kukagumi itu.
Aku merinding. Aku memilih mengabaikannya. Udara dingin berbau mint menyapu telinga dan pipiku, membuatku merona karena menyadari dari mana udara itu berasal. Aku menatap wajah Dewa yang sangat dekat dengan wajahku.
Ia tersenyum jahil lalu mengelus pipiku dengan buku-buku jarinya. “Kamu wangi sabun mandi favoritku. Aku suka banget,”bisiknya persis di telingaku.
Bibirku bergetar saat aku berniat membuka mulut untuk bicara. “Ka-ka-kamu ma-mau a-apa?”tanyaku tergagap.
Dewa terkekeh pelan. Ia lalu mencubit pipiku.
“Kamu imut banget. Aku suka,”katanya dengan nada riang.
Suara pekikan feminim membahana di kelas.
“Gila! Dewa bilang suka sama Dewi!”teriak sebuah suara feminim, terdengar tidak terima.
“Dewa! Jangan, dong!”teriak yang lain dengan nada merengek. “Cantikan juga aku, Dewa!”
“Dewi! Lo main pelet, ya! Curang lo!”tuduh suara feminim lain.
Aku menatap mata jahil Dewa takut-takut. Aku lalu menangkupkan kepalaku di mejaku, putus asa dengan situasi ini. Menurutku Dewa hanya mempermainkanku. Entah apa tujuannya aku tidak tahu.
Dewa terkekeh lagi. “Aku tunggu di taman belakang pas istirahat nanti,”bisiknya di telingaku. “Awas aja kalo nggak datang,”ancamnya. “Ngerti?”
Aku memilih mengangguk. Sudah banyak bukti kekejaman laki-laki yang kusuka ini pada orang-orang yang dia ancam. Aku tidak ingin mengalami nasib serupa.
“Bagus,”katanya.
Aku lalu merasakan elusan lembut di kepalaku, membuat hatiku hangat. Sesaat setelah elusan itu berakhir, aku memberanikan diri untuk melirik bangkunya. Aku melihatnya kembali fokus dengan HP-nya, seperti biasanya. Tapi, tidak seperti biasanya, ada senyum terulas di bibir tipisnya yang berwarna merah muda lembut. Aku jadi menebak-nebak sendiri alasan senyum itu ada di sana. Apakah penyebabnya adalah aku?
Aku mendesah, kembali membaringkan kepalaku di meja. Aku tidak berani berharap. Rasanya tidak mungkin aku seistimewa itu. Aku teringat kalau sudah 2 kali kata suka Dewa ucapkan untukku pagi ini. Aku menggingit bibirku, menahan senyum. Bolehkah aku berharap?
∞
Aku mengambil sekaleng kopi dari lemari pendingin di kantin lalu membayarnya ke pemilik warung. Tidak seperti biasanya, aku tidak memesan makanan. Ada Dewa yang menungguku di taman belakang, jadi aku tidak mungkin membuatnya menunggu lama. Aku terlalu takut dengan konsekuensinya. Aku menghela nafas untuk meneguhkan hati lalu melangkahkan kakiku menuju taman belakang sekolah. Aku berdebar-debar, penasaran dengan hal yang ingin Dewa bicarakan denganku. Mengingat caranya mengangguku pagi ini, aku berharap maksud Dewa akan menggembirakan hatiku.
Saat sudah dekat dengan taman belakang aku mencari-cari Dewa di antara siswa-siswi yang sedang menghabiskan jam istirahat mereka di sana. Aku menemukan Dewa sedang duduk di bawah pohon Seri, terlihat seperti sedang berpiknik dengan selimut sebagai alas duduk dan kotak makan terbuka di hadapannya. Dewa tidak sendiri. Ia bersama Bu Siska, guru sosiologi sekaligus Ibu kandungnya. Aku menelan ludah, tidak bisa membayangkan harus bersikap bagaimana agar tidak terlihat bodoh.
Aku meneguhkan hati, lalu berjalan mendekati orang yang kusuka dan guru yang terkenal baik itu. “Selamat siang, Bu Siska,”sapaku saat sudah berada cukup dekat.
Bu Siska tersenyum padaku. “Ayo duduk, Dewi. Dewa udah bilang kalo hari ini kamu gabung makan siang sama kami.”
Aku melotot. Makan siang bersama? Aku menelan ludah, merasa tidak enak hati karena harus bergabung. “Dewa nggak bilang kalo dia ngajak mau makan siang.”
Bu Siska tertawa kecil lalu menjewer pelan telinga putranya. “Bandel kamu! Katanya ngundang, kok nggak ngasih tau Dewi? Dewi pasti jadi nggak enak hati karena gabung tanpa diajak dulu.”
“Nggak apa-apa, Ma. Aku suka bikin Dewi deg-degan. Dia kan emang suka aku,”kata Dewa santai.
Wajahku langsung memanas. “Si-si-siapa bilang aku suka kamu!”sanggahku.
Dewa mendecih. “Ih! Nggak mau ngaku! Padahal diari kamu isinya perasaan kamu ke aku semua!”
Aku berusaha bersikap tenang. “Dewa tuh jahat banget tau, Bu. Dia sengaja bikin aku malu.”
Bu Siska menjitak dahi Dewa. “Iya, Dewi. Kadang Ibu juga kesel sama tingkahnya. Suka jahil, mirip banget sama Papanya.”
“Ya ampun, Ma! Masa bocorin masalah rumah tangga sendiri ke murid, sih! Nggak tau malu banget Mama nih, emang!”omel Dewa, terlihat kesal.
Aku berusaha menahan tawa, membuat Dewa memelototiku. “Nggak lucu, tau!”protesnya.
Aku mendehem. “Maaf,”kataku.
“Mau gabung nggak nih? Ntar makanannya aku habisin semua, loh! Biar kamu kelaparan selama jam pelajaran karena nggak makan!”kata Dewa sewot.
Aku memilih menatap Bu Siska untuk meminta persetujuan. “Boleh gabung nggak, Bu?”tanyaku.
“Boleh, dong! Ibu sengaja masak karena Dewa mau ngajak kamu makan bareng katanya.”
Aku tersenyum malu-malu lalu duduk di samping Bu Siska.
“Silakan dicicipi, Dewi,”kata Bu Siska mempersilahkan.
Aku mengambil sepotong risoles lalu menyantapnya. “Enak, Bu!”kataku setelah mengunyah beberapa kali.
“Syukurlah. Dewa bilang kamu suka risoles, makanya saya bikin banyak.”
Aku tersipu-sipu. Dewa pasti tahu dari diariku. Ternyata dia memang membaca semuanya. Memalukan sekali rasanya saat menatap wajahnya yang tersenyum jahil. Dewa pasti bisa membaca apa yang sedang aku rasakan sekarang dari wajahku. Rasanya ingin sekali menyembunyikan wajahku dengan kantung plastic hitam.
“Dewi? Kenapa? Kok wajah kamu merah begitu?”tanya Bu Siska.
Aku Cuma bisa menggeleng pelan. Aku melirik Dewa yang ternyata sedang menatapku juga. “Makasih, ya,”kataku tulus.
Aku senang dengansikapnya atas semuanya. Dia tidak mengolokku seperti yang lainnya.
“Buat?”tanyanya sambil tersenyum.
“Semuanya.”
“Udah seharusnya. Jadi kita bisa jadian? Mamaku udah restu, loh.”
Aku menatap guru perempuanku itu. Ia hanya tersenyum tanpa menatap kami. Aku tertunduk malu. “Aku ke sini cuma buat makan siang,”kataku akhirnya.
Bu Siska tertawa kecil, lalu menjawil pipi anaknya. “Sabar. Dewi butuh waktu,”katanya.
“Aku butuh kepastian,”celetuknya.
Bu Siska ganti menatapku. “Dewa tuh udah lama suka sama kamu. Dia nggak mau ngaku aja.”
Aku menatap Dewa, tidak percaya. Yang bersangkutan malah mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Seriuskah ini Ya Allah?!
~Selesai~
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka