Riana, seorang pecinta drama, terkejut saat terbangun di tubuh Zahra, karakter utama dalam drama favoritnya yang terbunuh oleh suami dan selingkuhannya. Dengan pengetahuan tentang alur cerita, Riana bertekad mengubah nasib tragis Zahra.
Namun, Hal yang dia tidak ketahui bahwa setelah dia terlempar ke Tubuh Zahra alur cerita yang dramatis berubah menjadi menegangkan. Ini lebih dari perselingkuhan, Ini adalah petualangan besar untuk menyelamatkan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Angin dingin menerpa wajah Riana, Reyhan, dan Kayla saat mereka terus melayang naik menuju puncak menara kristal. Pemandangan kota yang kacau balau di bawah mereka semakin mengecil, digantikan oleh hamparan awan berwarna-warni yang berputar seperti pusaran psychedelic.
"Aku masih tidak percaya kita bisa terbang," bisik Kayla, matanya terbelalak takjub sekaligus ngeri.
Reyhan mengangguk. "Ingat, fokus pada tujuan kita. Jangan biarkan keajaiban ini mengalihkan perhatian kita."
Saat mereka semakin dekat dengan puncak menara, sosok Adrian semakin jelas terlihat. Pria itu berdiri membelakangi mereka, tangannya terentang lebar seolah hendak memeluk dunia yang telah dia ciptakan. Di tangan kanannya, pena perak berkilau tertimpa cahaya dari berbagai warna langit yang terus berubah.
Riana memberi isyarat pada kedua temannya untuk mendarat perlahan di belakang Adrian. Mereka berhasil memijakkan kaki di lantai kristal tanpa suara.
"Selamat datang, para pahlawan," suara Adrian terdengar, membuat ketiganya tersentak. Pria itu berbalik, senyum dingin menghiasi wajahnya. "Aku sudah menunggu kalian."
"Adrian," Riana melangkah maju, berusaha terdengar berani meski jantungnya berdebar kencang. "Hentikan semua ini. Kau tidak bisa mempermainkan realitas sesuka hatimu."
Adrian tertawa, suaranya menggema di udara yang kini dipenuhi gelembung-gelembung sabun raksasa. "Oh, Riana. Masih belum mengerti juga? Aku tidak mempermainkan realitas. Aku menciptakannya."
Dengan satu jentikan jarinya, lantai di bawah kaki mereka berubah menjadi kaca, memperlihatkan kedalaman menara yang seolah tak berdasar. Kayla menjerit kaget, sementara Reyhan dengan sigap menariknya mendekat.
"Lihat dunia yang kuciptakan," Adrian melanjutkan, matanya berkilat penuh kegilaan. "Sebuah dunia tanpa batasan, tanpa aturan yang mengekang. Bukankah ini yang selalu diimpikan manusia?"
"Tapi ini bukan dunia yang nyata," Reyhan angkat bicara. "Ini hanya ilusi, Adrian. Dan kau telah kehilangan akal sehatmu dalam proses menciptakannya."
Adrian menggeleng, senyumnya semakin lebar. "Akal sehat? Itu hanya konstruksi sosial, Reyhan. Di sini, dalam duniaku, akulah yang menentukan apa itu kewarasan."
Tiba-tiba, lantai kaca di bawah kaki mereka retak. Riana, Reyhan, dan Kayla saling berpegangan, berusaha menjaga keseimbangan.
"Kalian datang ke sini untuk menghentikanku," Adrian melanjutkan, perlahan berjalan mendekati mereka. "Tapi tidak bisakah kalian lihat? Aku memberi kalian kekuatan untuk terbang, untuk melawan gravitasi. Aku bisa memberi kalian lebih banyak lagi. Bergabunglah denganku, dan kita bisa menjadi para dewa dalam dunia baru ini."
Untuk sesaat, tawaran itu terdengar menggoda. Riana bisa melihat keraguan di mata Kayla, bahkan Reyhan tampak goyah. Namun kemudian, dia teringat akan semua kekacauan yang telah mereka saksikan, akan ketakutan di wajah orang-orang yang terjebak dalam dunia gila ini.
"Tidak, Adrian," Riana berkata tegas. "Kekuatanmu telah membutakanmu. Kau bukan dewa. Kau hanya seorang manusia yang telah kehilangan kemanusiaannya."
Senyum Adrian lenyap, digantikan oleh raut wajah dingin. "Kalau begitu, kalian telah memilih untuk menjadi musuhku."
Dengan satu ayunan penanya, lantai kaca di bawah kaki mereka hancur berkeping-keping. Riana, Reyhan, dan Kayla jatuh ke dalam kegelapan, teriakan mereka teredam oleh tawa Adrian yang menggema.
Namun bukannya terhempas ke dasar menara, mereka mendapati diri mereka terapung di ruang hampa. Di sekeliling mereka, potongan-potongan realitas yang berbeda melayang-layang seperti pecahan cermin.
"Apa yang terjadi?" tanya Kayla panik.
"Kita ada di Ruang Antara," jawab Reyhan, mengenali tempat itu dari pengalaman sebelumnya. "Tempat di mana realitas dan fiksi bertemu."
Riana melihat ke sekelilingnya, mencari cara untuk kembali ke menara Adrian. Tiba-tiba, matanya menangkap kilasan sesuatu yang familiar dalam salah satu pecahan realitas.
"Itu... itu kamarku," bisiknya. "Kamarku yang asli, di dunia nyata."
Tanpa pikir panjang, Riana berenang melalui ruang hampa menuju pecahan itu. Reyhan dan Kayla mengikuti di belakangnya.
Saat mereka menembus pecahan itu, dunia berputar cepat di sekeliling mereka. Dalam sekejap mata, mereka mendapati diri mereka tergeletak di lantai kamar Riana, terengah-engah.
"Kita... kita kembali?" tanya Kayla tak percaya, memandang sekeliling kamar yang normal.
Reyhan bangkit, mengintip keluar jendela. Langit biru cerah menyambutnya, tanpa ada tanda-tanda kegilaan yang mereka saksikan sebelumnya. "Sepertinya begitu. Tapi bagaimana...?"
Riana terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Kurasa... kurasa keinginan kita untuk kembali ke realitas yang sebenarnya lebih kuat dari ilusi Adrian."
"Tapi Adrian masih di luar sana," Reyhan mengingatkan. "Dan dia masih memiliki kekuatan untuk mengubah realitas."
Kayla, yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara. "Tunggu. Jika kita bisa kembali ke sini hanya dengan keinginan kuat kita, bukankah itu berarti... kita juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi realitas?"
Riana dan Reyhan saling berpandangan, sebuah pemahaman baru muncul di benak mereka.
"Kau benar, Kayla," Riana mengangguk. "Adrian mungkin memiliki teknologi untuk memanipulasi realitas, tapi kita... kita memiliki kekuatan pikiran dan keyakinan kita sendiri."
"Jadi, apa rencana kita sekarang?" tanya Reyhan.
Riana berdiri, matanya berkilat penuh tekad. "Kita akan kembali ke dunia Adrian. Tapi kali ini, kita tidak akan melawannya dengan kekuatannya. Kita akan melawannya dengan kekuatan kita sendiri - kekuatan untuk percaya pada realitas yang kita inginkan."
Mereka mulai menyusun rencana baru. Kayla, dengan pengetahuannya tentang mitologi dan cerita, membantu mereka memahami konsep kekuatan pikiran dan manifestasi. Reyhan, sebagai penulis, mulai membayangkan skenario-skenario yang mungkin terjadi dan bagaimana mereka bisa menghadapinya. Riana, dengan intuisinya yang tajam, memimpin strategi mereka.
Setelah beberapa jam persiapan, mereka siap untuk kembali ke dunia Adrian. Kali ini, mereka tidak membutuhkan parfum vanila atau benda-benda ajaib lainnya. Mereka hanya perlu keyakinan kuat dalam pikiran mereka.
"Ingat," Riana berkata pada kedua temannya, "apapun yang terjadi, tetap fokus pada tujuan kita. Percayalah pada kekuatan pikiran kita untuk mengubah realitas."
Dengan tangan saling bertaut, mereka memejamkan mata dan membayangkan diri mereka kembali ke menara kristal Adrian. Udara di sekeliling mereka mulai bergetar, dan ketika mereka membuka mata, mereka telah berdiri di puncak menara itu lagi.
Adrian, yang tampak terkejut melihat kemunculan mereka, segera menguasai diri. "Kalian keras kepala juga rupanya," ujarnya dingin. "Tapi tidak masalah. Aku akan menunjukkan pada kalian kekuatan sejati dari seorang dewa."
Dengan satu ayunan penanya, dunia di sekeliling mereka mulai berubah liar. Gedung-gedung mencair seperti lilin, langit berubah menjadi mozaik warna-warni, dan makhluk-makhluk fantastis bermunculan dari segala arah.
Namun kali ini, Riana, Reyhan, dan Kayla tidak gentar. Mereka memejamkan mata, fokus pada gambaran dunia normal yang ingin mereka kembalikan. Perlahan tapi pasti, perubahan mulai terjadi. Gedung-gedung kembali solid, langit kembali biru, dan makhluk-makhluk fantastis lenyap satu per satu.
Adrian terbelalak tak percaya. "Tidak mungkin! Bagaimana kalian bisa...?"
"Karena ini bukan duniamu, Adrian," Riana berkata tegas. "Ini dunia kita semua. Dan kami memilih untuk mengembalikannya seperti semula."
Pertarungan pikiran pun dimulai. Adrian terus berusaha mengubah realitas dengan penanya, sementara Riana, Reyhan, dan Kayla berjuang untuk mempertahankan normalitas dengan kekuatan pikiran mereka. Dunia di sekeliling mereka berfluktuasi liar, berubah-ubah antara fantasi gila Adrian dan realitas normal yang diinginkan trio itu.
Saat pertarungan semakin sengit, mereka sadar bahwa ini bukan hanya tentang siapa yang lebih kuat. Ini adalah pertarungan antara keegoisan dan kebersamaan, antara manipulasi dan kejujuran, antara kegilaan dan kewarasan.
Dan dalam pertarungan itu, mereka tahu bahwa hasil akhirnya akan menentukan tidak hanya nasib mereka, tapi juga nasib seluruh realitas yang mereka kenal.