NovelToon NovelToon
Takhta Terakhir Endalast Ganfera

Takhta Terakhir Endalast Ganfera

Status: tamat
Genre:Action / Tamat / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:11.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nabilla Apriditha

— END 30 BAB —

Endalast Ganfera duduk di depan cermin besar di kamarnya, memandangi bayangannya sendiri. Usianya baru menginjak 15 tahun, tetapi di balik mata dan rambut merahnya, ada kedewasaan yang tumbuh terlalu cepat. Malam ini adalah ulang tahunnya, dan istana penuh dengan sorak-sorai perayaan.

Endalast tersenyum, tetapi matanya masih mengamati kerumunan. Di sudut ruangan, dia melihat pamannya, Lurian. Ada sesuatu dalam sikap dan tatapan Lurian yang membuat Endalast tidak nyaman. Lurian selalu tampak ambisius, dan ada desas-desus tentang ketidakpuasannya terhadap kepemimpinan Thalion.

Lurian berpaling dan berbicara dengan bangsawan lain, meninggalkan Endalast dengan perasaan tidak enak. Dia mencoba menikmati perayaan, tetapi kecemasan terus mengganggunya. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras dari luar, oh tidak apa yang akan terjadi??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nabilla Apriditha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10: Perpisahan Dan Pertemuan

.......

.......

.......

...——————————...

Jenderal Draven, yang sedari tadi berjuang dengan gagah berani sepanjang pertempuran menggunakan pedangnya, akhirnya tidak bisa lagi menahan kelelahannya. Tubuhnya yang gagah mulai goyah, dan akhirnya ia jatuh terduduk di lantai, napasnya tersengal-sengal.

Endalast, yang melihat kondisi Draven, merasa khawatir tetapi tidak membiarkan hal itu melemahkan semangatnya. Dia tahu bahwa mereka harus terus bertarung demi keselamatan bersama.

"Jenderal Draven!" teriak Endalast, berlari ke arahnya sambil menebas prajurit musuh yang mencoba mendekat. Dengan satu ayunan kuat, ia berhasil menjatuhkan prajurit tersebut dan segera berdiri di depan Draven, melindunginya dari serangan yang terus datang.

"Alven, Cedric, Eron! Bantu Jenderal Draven berdiri!" perintah Endalast dengan suara yang penuh otoritas. "Sementara kalian menjauh aku akan menahan mereka!"

Sir Alven segera berlari mendekati Draven, mengangkatnya dengan bantuan Cedric dan Eron. "Ayo, Jenderal, kita harus bergerak," kata Alven dengan nada tegas namun penuh kekhawatiran.

Mereka mulai menarik berdiri jenderal Draven, sementara Endalast berdiri gagah di hadapan musuh, siap melindungi teman-temannya.

Musuh datang semakin banyak, tetapi Endalast tetap berdiri teguh ditempanya berdiri. Pedangnya menari di udara, setiap ayunan mengarah tepat ke sasaran, membuat musuh-musuhnya ragu untuk mendekat.

Dia tahu bahwa setiap detik yang ia habiskan untuk menahan musuh memberi kesempatan bagi teman-temannya untuk bergerak lebih jauh dan menyusun pertahanan kembali.

"Pangeran, ayo bergerak menjauh kita tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini!" teriak Eron, yang mencoba kembali untuk membantu Endalast. Namun, Endalast menggelengkan kepala.

"Kalian utama Jenderal Draven," jawab Endalast dengan suara tegas. "Aku akan baik-baik saja!"

Alven menepuk bahu Eron. "Benar apa kata pangeran. Ayo kita bawa Draven ke tempat yang lebih aman."

"Aku baik-baik saja, bantu pangeran" Ucap Jenderal Draven sambil menahan nyeri bekas tusukan pedang di perutnya.

Endalast tetap di tempatnya, menghalau setiap serangan yang datang. Dia terluka dan lelah, tetapi semangatnya tidak pernah surut. Dia menganggap setiap prajurit di sisinya sebagai keluarga, dan dia tidak akan membiarkan satu pun dari mereka jatuh jika ia masih bisa berdiri.

Lurian, yang mengamati pertempuran dari kejauhan, tidak bisa menahan senyum sinisnya. "Lihatlah pangeran kecil itu," katanya kepada Raja Nereval. "Dia berusaha begitu keras untuk melindungi teman-temannya. Tapi itu tidak akan cukup untuk menyelamatkan mereka."

Raja Nereval mengangguk, tatapannya dingin dan penuh perhitungan. "Kita harus menghentikan Endalast sekarang. Jika dia terus memimpin dengan semangat seperti itu, dia akan menjadi ancaman serius bagi rencana kita."

Lurian memberi isyarat kepada pasukan elitnya. "Kepung Endalast! Pastikan dia tidak bisa bergerak."

Sementara itu, Endalast terus bertarung dengan segala tenaga yang tersisa. Pedangnya semakin berat di tangan, dan setiap serangan musuh semakin sulit untuk ditangkis.

Namun, dia tetap berdiri, melawan dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Dia tahu bahwa setiap detik yang ia tahan adalah detik tambahan untuk teman-temannya bisa menyelamatkan diri.

"Aku tidak akan menyerah," kata Endalast kepada dirinya sendiri, matanya berkilat penuh tekad. "Demi kalian semua, aku akan bertahan."

Pasukan elit Nereval mulai mengepung Endalast. Mereka terlatih dan sangat terorganisir, bergerak dengan presisi yang menakutkan.

Endalast menyadari bahwa ini adalah ujian terbesar yang pernah ia hadapi, tetapi ia tidak gentar. Dia tahu bahwa keberanian dan tekadnya adalah satu-satunya yang bisa diandalkan saat ini.

Sir Alven, yang kini telah mendudukkan Draven di sebuah pohon, kembali untuk membantu Endalast. "Aku di sini, Pangeran!" teriaknya sambil menebas prajurit musuh yang mendekat. "Kita akan melawan mereka bersama-sama!"

Endalast merasa semangatnya semakin berkobar. "Terima kasih, Alven. Kita harus bertahan sedikit lebih lama. Mereka tidak boleh melangkah lebih jauh."

Pertempuran terus berlangsung, semakin sengit dan penuh darah. Endalast dan Alven bertarung berdampingan, menahan serangan pasukan elit Nereval dengan segala kekuatan yang mereka miliki.

Mereka tahu bahwa mereka mungkin tidak akan selamat, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah. Meskipun mereka tahu risikonya sangat besar.

Mereka adalah prajurit yang setia, dan mereka akan berjuang sampai akhir untuk melindungi Pangeran mereka dan kerajaan yang mereka cintai.

Sementara itu, di tengah pertempuran, Endalast dan Alven terus bertarung dengan segala kekuatan yang mereka miliki. Mereka tahu bahwa waktu mereka semakin habis, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah.

Mereka akan bertarung sampai titik darah penghabisan, demi kehormatan dan keselamatan teman-teman mereka. Sekarang Lurian mulai mendekat dengan tatapan penuh kebencian.

"Kau benar-benar keras kepala, Endalast," katanya dengan suara rendah. "Tapi lihatlah sekelilingmu. Orang mu sudah terkepung, dan kau tidak punya jalan keluar."

Endalast menatap Lurian dengan mata penuh api. "Kami tidak membutuhkan jalan keluar. Mari kita selesaikan dengan pertarungan di sini."

Lurian tertawa kecil. "Keberanianmu memang mengagumkan, tapi itu tidak akan menyelamatkanmu kali ini."

Endalast mengangkat pedangnya, siap untuk melawan sampai akhir. "Kami akan melihat itu, Lurian. Kami tidak akan menyerah."

Pertempuran terus berlanjut, semakin sengit dan penuh darah. Endalast dan kelompoknya berjuang dengan segala kekuatan yang mereka miliki, berharap bisa meloloskan diri dan melindungi masa depan kerajaan mereka.

Mereka tahu bahwa mereka mungkin tidak akan keluar dari area ini dengan hidup, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan menyerah begitu saja tanpa perlawanan.

"Pangeran, kita selalu bersama-sama!" teriak Cedric sambil menebas musuh yang mendekat. "Kita akan bertarung bersama sampai akhir!"

Endalast merasa semangatnya kembali bangkit lagi. "Terima kasih, teman-teman. Kita akan melawan mereka bersama-sama!"

Pertempuran berlanjut dengan intensitas yang semakin meningkat. Endalast dan kelompoknya bertarung dengan keberanian dan tekad yang luar biasa, menolak untuk menyerah meskipun keadaan semakin sulit.

Mereka tahu bahwa mereka adalah satu keluarga, dan mereka akan melindungi satu sama lain sampai titik darah penghabisan.

Di tengah-tengah kekacauan, Lurian menyadari bahwa semangat Endalast dan kelompoknya tidak bisa dipatahkan begitu saja. "Mereka terlalu keras kepala," katanya kepada Raja Nereval. "Kita harus menghancurkan mereka dengan kekuatan penuh."

Raja Nereval mengangguk. "Lakukan apa yang harus dilakukan, Lurian. Kita tidak bisa membiarkan mereka menang."

Pertempuran semakin sengit. Endalast dan kelompoknya bertarung dengan segala kekuatan yang mereka miliki, berharap bisa meloloskan diri dan melindungi masa depan kerajaan mereka.

Mereka tahu bahwa mereka mungkin tidak akan keluar dari aula ini dengan hidup, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Paling tidak mereka telah menumbangkan banyak prajurit.

Endalast merasa tubuhnya semakin lelah, tetapi dia tidak membiarkan itu menghentikannya. Dia tahu bahwa dia harus terus bertarung, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk teman-temannya dan kerajaannya. "Kita tidak boleh menyerah," katanya dengan suara penuh tekad. "Kita harus terus bertarung."

Dengan semangat yang tak tergoyahkan, Endalast dan kelompoknya terus bertarung, melawan musuh yang datang dari segala arah.

Mereka akan bertarung sampai titik darah penghabisan, demi kehormatan dan keselamatan teman-teman mereka. Endalast mengayunkan pedangnya dengan tenaga terakhirnya, menebas musuh yang mendekat dengan keberanian yang luar biasa.

Namun, ketika dia melihat bayangan pedang yang siap menebasnya dari belakang, dia menyadari bahwa dia tidak akan bisa menghindar tepat waktu. Saat itu, sebuah bayangan besar melompat di depannya, menangkis serangan tersebut dengan tubuhnya sendiri.

"Jenderal Draven!" seru Endalast terkejut.

Draven, yang sebelumnya tampak begitu lemah, berdiri tegak di hadapannya. Obat antinyeri dari Arlon telah memberikan kekuatan sementara yang cukup untuknya.

"Aku tidak bisa membiarkanmu terpojok seperti ini Pangeran, aku akan melindungimu. Kau memiliki banyak nyawa dan aku salah satunya." katanya dengan suara yang lemah namun penuh tekad.

Mata Endalast berkaca-kaca melihat pengorbanan yang tak terduga ini. "Kenapa kau melakukan ini, Draven? Kenapa kau menyelamatkanku?"

Draven tersenyum samar, meski darah mengalir dari luka-lukanya. "Karena kau dan teman-temanmu telah menunjukkan padaku arti sebenarnya dari persahabatan dan keberanian. Aku tidak akan meninggalkan teman-temanku sendirian, tidak lagi."

Endalast merasakan air matanya jatuh. "Kau adalah seorang prajurit yang hebat, Draven. Kami tidak bisa kehilanganmu."

Draven menatapnya dengan mata yang semakin redup. "Karena aku tidak pernah merasakan memiliki teman, maka aku hadiahkan nyawaku untukmu, Pangeran."

Pedang musuh kembali terayun, dan kali ini Draven tidak bisa menghindar. Dia menjadikan dirinya tameng bagi Endalast, menerima tusukan yang seharusnya menghabisi sang pangeran.

Endalast menatap Draven dengan ketidakpercayaan, gemetar melihat darah bercucuran dari dada temannya.

"Kenapa kau menyelamatkanku?" tanyanya dengan suara yang dipenuhi emosi.

Draven setengah sadar, berusaha keras untuk tetap berbicara. "Aku tidak akan meninggalkan teman-temanku. Aku akan melindunginya, sama sepertimu, Pangeran."

Air mata Endalast mengalir deras. "Jenderal, kau terlalu baik. Aku tidak tahu bagaimana kami bisa melanjutkan ini tanpamu."

Draven tersenyum lemah. "Terima kasih sudah berjuang untuk rajaku, Pangeran. Setelah ini, aku tidak bisa melayani rajaku lagi. Tolong sampaikan maafku pada beliau."

Sir Alven dan Cedric serta Arlon bergegas menarik Endalast, memaksanya untuk melarikan diri. "Kita harus pergi sekarang, Pangeran!" teriak Alven.

Endalast menoleh ke belakang, melihat Draven yang terkapar di tanah, diinjak-injak dan ditusuk berkali-kali oleh Lurian. "Draven!" teriaknya dengan suara yang patah.

Mereka berhasil meloloskan diri dan mencapai markas. Sir Galen dan Lady Selene menyambut mereka dengan wajah penuh kekhawatiran. "Panggil tim medis!" perintah Lady Selene dengan cepat.

Endalast berdiri dengan tubuh yang penuh luka dan hati yang hancur. "Draven... dia mengorbankan dirinya untukku. Kita tidak boleh membiarkan pengorbanannya sia-sia."

Sir Galen meletakkan tangan di bahu Endalast. "Kami akan bertahan, Pangeran. Pengorbanan Draven akan selalu dikenang."

Endalast mengangguk, air matanya masih mengalir. "Kita akan terus berjuang, demi Draven dan demi kerajaan ini."

...——————————...

Endalast duduk di ruang tenda pertemuan, dikelilingi oleh sekutu-sekutu baru yang telah bersedia bergabung dalam perjuangan mereka melawan Nereval.

Meskipun tubuhnya telah mendapatkan perawatan, luka-luka emosional masih tampak jelas di wajahnya. Dia merasa bersalah setelah kehilangan Jenderal Draven, sosok yang telah mengorbankan nyawanya demi keselamatan sang pangeran.

Raja Thaloria masuk ke dalam tenda dengan langkah berat. Wajahnya mencerminkan kesedihan mendalam yang dirasakannya. Dia menatap sekilas ke arah Endalast, lalu beralih ke sekutu-sekutu yang menunggu.

"Para sekutu yang terhormat, aku mengucapkan terima kasih atas dukungan kalian. Kita semua tahu bahwa situasi ini tidaklah mudah, terutama setelah kehilangan Jenderal Draven," kata Raja Thaloria dengan suara yang bergetar.

Seorang prajurit tinggi dengan jubah merah maju ke depan. "Aku adalah Jenderal Aric dari Kerajaan Veltoria. Kami datang dengan pasukan tambahan yang kuat untuk membantu melawan Nereval. Kami semua di sini untuk memastikan bahwa pengorbanan Jenderal Draven tidak sia-sia."

Endalast mengangguk lemah. "Terima kasih, Jenderal Aric. Kami sangat menghargai bantuan kalian. Draven adalah seorang pahlawan, dan kita tidak akan membiarkan kematiannya sia-sia."

Sir Alven, yang berada di samping Endalast, menambahkan, "Dengan pasukan tambahan ini, kita memiliki kesempatan lebih besar untuk melawan dan mengalahkan Nereval. Namun, kita harus berhati-hati dan merencanakan setiap langkah dengan seksama."

Lady Selene mengangguk setuju. "Kita harus menyusun strategi yang tidak hanya melibatkan kekuatan militer, tetapi juga kecerdasan dan diplomasi. Kita harus menggali kelemahan Nereval dan menggunakannya untuk keuntungan kita."

Endalast menatap sekutu-sekutunya dengan tekad yang mulai bangkit kembali. "Kami tidak bisa melakukannya tanpa kalian. Bersama-sama, kita akan melawan Nereval dan mengakhiri tirani mereka. Demi Draven, demi semua yang telah berkorban, kita harus menang."

Raja Thaloria menambahkan, "Sekutu baru ini adalah harapan kita. Dengan kebersamaan dan semangat juang yang tinggi, kita akan merebut kembali kebebasan kita."

Pertemuan itu berakhir dengan janji yang kuat untuk bersatu dan melawan musuh bersama. Meskipun duka masih menyelimuti hati mereka, semangat untuk melanjutkan perjuangan dan menghormati pengorbanan Draven memberi mereka kekuatan baru.

Malam itu, Endalast berdiri di depan jendela, memandang bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit. Dia merasakan kehadiran Draven di hatinya, memberinya kekuatan untuk terus maju. "Aku tidak akan mengecewakanmu, Draven," bisiknya pada malam yang sunyi. "Aku akan bertarung demi kita semua."

Dengan semangat yang diperbaharui, Endalast dan pasukannya bersiap untuk menghadapi tantangan berikutnya. Pertarungan melawan Nereval masih panjang, tetapi dengan sekutu baru di sisi mereka, harapan kembali menyala.

Mereka siap untuk berjuang demi masa depan yang lebih baik, demi keadilan, dan demi menghormati semua yang telah berkorban di sepanjang jalan.

Jadi sejauh ini sekutu Endalast adalah Sir Alven dan Sir Cedric yang merupakan pengawal kepercayaan sejak kerajaan masih dipimpin oleh Thalion ayah Endalast, kemudian Arlon yakni seorang tabib dan teman lama Thalion, Eron seorang prajurit Neveral yang awalnya ingin memata-matai Endalast kini membelot dan menjadi teman, perwakilan Kerajaan Ethoria - Sir Galen, perwakilan Kerajaan Rirval - Lady Selene, perwakilan Kerajaan Thaloria - Jenderal Draven yang telah gugur mengorbankan dirinya demi melindungi Endalast beserta Raja Reon dan sekutu baru yakni Kerajaan Veltoria - Jenderal Aric.

Setelah pertemuan dan penyusunan agenda untuk besok pagi, Endalast berjalan keluar tenda menuju sebuah pohon besar di dekat markas mereka.

Udara malam yang dingin membelai wajahnya, memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang ia rasakan di dalam hatinya. Dia merenung, hati dan pikirannya dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa tragis yang telah ia lalui.

Ia teringat bagaimana Jenderal Draven mengorbankan diri demi menyelamatkannya. Gambaran Draven yang berdiri tegak, menerima serangan demi serangan agar ia bisa bertahan hidup, terbayang jelas di benaknya.

“Kenapa mereka harus mengorbankan diri mereka untukku?” bisiknya pelan, suaranya bergetar oleh kesedihan. “Aku tidak bisa terus melihat orang-orang yang kucintai jatuh di depan mataku.”

Menjadi pemimpin ternyata jauh lebih menyiksa daripada yang pernah ia bayangkan. Setiap keputusan yang ia buat, setiap langkah yang ia ambil, selalu membawa konsekuensi yang tidak hanya mempengaruhi dirinya, tetapi juga orang-orang yang setia padanya.

Beban tanggung jawab ini terasa begitu berat, membuatnya merasa tercekik. Endalast menghela napas panjang, menatap langit dengan mata berkaca-kaca.

Ia ingat tatapan terakhir Draven, senyuman samar di wajahnya saat ia mengatakan bahwa persahabatan dan keberanian adalah alasan di balik pengorbanannya.

“Draven, kenapa harus kau? Kenapa harus teman-teman yang selalu setia di sisiku?” Endalast bergumam, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan melihat kalian mengorbankan diri seperti ini.”

Kesunyian malam hanya memperdalam perasaannya yang hampa. Ia merasa sangat kecil dan tidak berdaya di tengah semua kekacauan ini.

Menjadi pemimpin berarti harus siap kehilangan, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa kehilangan ini akan begitu menyakitkan dan terus berulang.

Endalast memejamkan mata, mencoba mencari kedamaian dalam kekacauan hatinya. Bayangan-bayangan pengorbanan dan wajah teman-temannya terus menghantui pikirannya. Rasa bersalah dan ketidakberdayaan mencengkeram hatinya erat-erat.

“Apakah ini benar-benar takdir seorang pemimpin?” tanyanya dalam hati. “Haruskah selalu ada pengorbanan yang tak terelakkan?”

Angin malam berhembus lembut, seolah mencoba memberikan sedikit penghiburan. Namun, hatinya tetap berat oleh kesedihan dan rasa bersalah.

“Draven, kau mengorbankan dirimu untukku,” lanjutnya dengan suara lirih. “Aku harus menjadi lebih kuat, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi untuk kalian semua. Aku harus menghormati pengorbananmu dengan terus berjuang.”

Tekad yang mulai bangkit kembali dalam dirinya memberikan sedikit kelegaan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan rasa bersalah dan kesedihan menghentikannya.

Dia harus menjadi pemimpin yang kuat, seseorang yang bisa melindungi dan memimpin teman-temannya menuju kemenangan.

“Aku tidak akan mengecewakan kalian,” ujarnya dengan suara yang lebih tegas. “Aku akan bertarung demi kita semua. Demi kerajaan ini, demi masa depan yang lebih baik.”

Dengan semangat yang baru, Endalast berdiri perlahan, mengambil napas dalam-dalam, dan kembali menuju markas. Dia tidak sendirian dalam perjuangan ini.

Dengan dukungan teman-teman dan sekutu-sekutunya, Endalast yakin mereka bisa mengatasi segala rintangan yang menghadang. Dalam hati, dia berjanji untuk terus berjuang, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk semua orang yang telah berkorban demi tujuan yang lebih besar.

 Sebagai pemimpin, dia akan membawa harapan dan kekuatan bagi semua yang berjuang bersamanya. Keheningan malam memberikan Endalast waktu untuk merenung, tetapi juga memberinya kekuatan baru.

1
Carletta
keren
RenJana
lagi lagi
Lyon
next episode
Candramawa
up
NymEnjurA
lagi lagi
Ewanasa
up up
Alde.naro
next update
Sta v ros
keren bener
! Nykemoe
cakep up up
Kaelanero
bagus banget
AnGeorge
cakep
Nykelius
bagus top
Milesandre``
lagi thor
Thea Swesia
up kakak
Zho Wenxio
kece up
Shane Argantara
bagus
☕️ . . Maureen
bagus banget ceritanya
Kiara Serena
bagus pol
Veverly
cakep
Nezzy Meisya
waw keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!