Banyak faktor yang membuat pasangan mencari kesenangan dengan mendua. Malini Lestari, wanita itu menjadi korban yang diduakan. Karena perselingkuhan itu, kepercayaan yang selama ini ditanamkan untuk sang suami, Hudda Prasetya, pudar seketika, meskipun sebelumnya tahu suaminya itu memiliki sifat yang baik, bertanggung jawab, dan menjadi satu-satunya pria yang paling diagungkan kesetiaannya.
Bukan karena cinta, Hudda berselingkuh karena terikat oleh sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan lalu yang membuatnya terjalin hubungan bersama Yuna, sang istri temannya karena terpaksa. Interaksi itu membuatnya ingin coba-coba menjalin hubungan.
Bagaimana Malini menyikapi masalah perselingkuhan mereka?
***
Baca juga novel kedua saya yang berjudul Noda Dibalik Rupa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membohongi Hudda
🌿🌿🌿
Rangga mengantar Malini dan kedua anaknya ke rumah. Malini mempersilahkan Rangga masuk dan bertamu di rumahnya. Malini menyuguhkan segelas teh ke hadapan Rangga yang duduk sambil bercanda bersama kedua anak Malini.
"Anak-anak, kalian main di kamar. Ayo!" suruh Malini.
"Iya, Ma," balas kedua anak itu dan berlari ke kamar mereka.
"Jadi, kamu tahu hubungan mereka? Kamu mendukung hubungan mereka?" tanya Malini, beranggapan Rangga mendukung Hudda selingkuh, begitu semua karyawan di kantor setelah mengingat sikap Rangga sama seperti yang lainnya, yaitu diam seolah tidak ada yang terjadi.
"Tidak. Aku baru mengetahui kemarin dari Buk Anisa. Sebelum Ibuk mengambil ponsel dariku, Buk Anisa menghubungi Ibuk dan menceritakan kecurigaannya mengenai hubungan mereka berdua. Semua orang tidak tahu karena mereka beranggapan Pak Hudda masih sama seperti pria yang mereka kenal setia. Hanya Buk Anisa yang mengetahuinya, itupun masih kecurigaannya. Tapi ternyata, semuanya …." Rangga menggantungkan perkataannya.
"Iya. Aku tahu sejak beberapa hari lalu," ungkap Malini dengan wajah geram.
"Kenapa Ibuk diam? Jika Ibuk bersuara, semua bisa lebih baik."
"Lebih baik? Sikapnya sekarang sudah bertolak belakang dengan prinsipku. Aku akan melihat sejauh mana dia bertindak. Pria yang berselingkuh itu tidak akan bisa berubah jika kita memaksanya dan perubahan itu tidak berasal dari dirinya sendiri," kata Malini sambil mengingat kisah rumah tangga kakak iparnya.
"Aku tahu itu. Tapi, apa semua masalah akan selesai dengan diam?" tanya Rangga dengan menunjukkan wajah tidak bisa menerima sikap diam Malini.
"Bangkai tidak bisa disembunyikan. Tidak perlu aku yang membuka kebenaran itu, dia sendiri yang akan membukanya. Saat itu dia akan sadar kalau dirinya begitu bodoh dan malu sendiri karena tidak bisa menepati janjinya. Terima kasih karena sudah mau mendengar ceritaku. Aku berharap kamu bisa diam," harap Malini.
"Ibuk akan diam? Bukankah itu sakit?" tanya Rangga dengan memasang wajah prihatin.
"Benar. Sakit sekali. Luka yang paling sakit itu berada di hati. Meskipun tidak berdarah, tapi perlahan bisa menggerogoti pikiran dan membuat seseorang bisa kehilangan akal sehat mereka," kata Malini, menatap vas bunga yang ada di atas meja dengan tatapan kosong.
Rangga menarik napas dalam dan menenangkan perasaan yang sempat tersulut emosi dengan perselingkuhan Hudda yang membuat Malini bersedih.
Notifikasi pesan masuk ke ponsel Hudda di tengah pria itu sedang mendentingkan gelas bersama orang. Tangannya bergerak menarik gelas lebih dulu dari yang lainnya setelah melihat foto Malini dan Rangga saat berpelukan. Kedua bola matanya membola kaget. Tawa di bibir Yuna memudar setelah melihat ekspresi Hudda.
Hudda meletakkan gelas di di tangannya ke atas meja dan berjalan keluar dari gedung pernikahan itu. Yuna mengikutinya, berdiri di sampingnya saat Hudda mencoba menghubungi nomor Malini. Namun, sambungan telepon tidak terjawab karena ponselnya tinggal di mobil Rangga yang masih terparkir di halaman rumah.
"Kalau begitu, aku pamit, Buk. Jangan banyak pikiran, kasihan anak-anak melihat Mama mereka bersedih."
Rangga berdiri dari sofa dan mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. Malini berjalan di samping Rangga, mengantar kepergian pria itu dari rumahnya sampai di teras rumah. Rangga tersenyum lebar kepada Malini setelah membuka pintu mobil dan sebelum tubuhnya masuk. Malini membalas senyuman itu. Setelah itu, Rangga masuk dan mengontakkan kunci mobil sampai menyalakan mesin mobil. Klakson mobil dibunyikan dan berlanjut mobil itu berjalan keluar dari gerbang rumah.
Setelah beberapa meter mobil itu berjalan, deringan telepon dari ponsel Malini terdengar. Rangga mencari-cari sumber suara setelah sadar kalau deringan itu bukan berasal dari ponselnya. Ia mengambil ponsel yang ternyata ada di laci depan mobilnya, ia ingat Malini meletakkannya di sana saat mengutip barang-barang di tasnya yang jatuh di lantai mobil.
"Pak Hudda," kata Rangga setelah melihat sambungan telepon yang masuk.
Rangga memutar arah mobilnya dan menjawab sambungan telepon.
"Halo?"
Suara Rangga masuk ke sambungan telepon. Suara pria itu terdengar jelas di telinga Hudda dan membuat tangan Hudda mencengkram kuat ponselnya menahan emosi. Hudda memutuskan sambungan telepon dan menanam kesalahpahaman, mengira pria itu benar selingkuh istrinya.
"Kenapa?" tanya Yuna dengan nada pelan.
"Aku harus kembali ke rumah," kata Hudda dan berjalan menuju mobil.
"Kita belum selesai. Ayolah …!" bujuk Yuna sambil berjalan mengikutinya.
"Aku ada urusan penting. Aku tidak bisa mengantarmu, kamu menggunakan taksi online saja," kata Hudda berbicara setelah membuka pintu mobil.
Hudda masuk ke dalam mobil dan menancap gas mobilnya menuju rumah tanpa berpikir panjang karena sudah termakan oleh sulutan emosi. Dalam waktu setengah jam ia sampai di rumah, mobilnya terparkir tepat di teras rumah. Lalu, tubuhnya bergelagat cepat masuk ke dalam rumah.
"Malin!" panggil Hudda seperti orang yang ingin menggerebek.
Malini keluar dari kamar anak-anaknya, ia berdiri di ambang pintu kamar dengan senyuman tipis yang diperlihatkan. Hudda mendekatinya dan menunjukkan foto yang ada di ponselnya.
"Maksudnya apa?" Hudda mempertanyakan foto itu.
Malini paham dengan emosi yang terlihat di wajah Hudda, ia tahu kalau suaminya itu sudah salah paham. Namun, ia terus menunjukkan ekspresi santai dan tenang, seolah tidak terjadi apa pun. Sikapnya itu membuat Hudda tidak berkutik, apalagi setelah mempertanyakan keberadaan suaminya itu.
"Itu bukan aku. Mas tahu sendiri kalau sekarang banyak orang yang bisa melakukan manipulasi foto dengan hasil yang sempurna. Bukannya Mas di Bandung? Kenapa tiba-tiba ada di sini?" tanya Malini, berpura-pura tidak tahu kebohongan suaminya itu.
Emosional membara di wajah Hudda meredah setelah mendengar penjelasan singkat Malini.
"Baru itu saja kamu sudah tidak bisa menahan emosional mu, Mas. Bagaimana dengan aku yang tahu semua perbuatanmu?" Malini berbicara dalam hati.
"Aku … aku terpaksa pulang karena ada urusan mendadak di kantor. Perusahaan membutuhkan ku. Kalau begitu, aku akan bersiap-siap ke kantor," kata Hudda.
Hudda berjalan menaiki tangga, sedangkan Malini berjalan menuju dapur dengan perasaan lega karena berhasil berbohong pada Hudda. Padahal, saat berbohong, ia berusaha membenamkan rasa gugupnya karena tidak terbiasa berbohong.
Kaki Hudda berhenti bergerak setelah menaiki tiga tangga dari bawah. Memorinya berputar mengingat sambungan teleponnya yang dijawab oleh seorang pria yang diyakini adalah Rangga, pria yang ada di foto yang didapatnya. Hudda memutar tubuh dan memanggil Malini. Wanita itu berhenti berjalan setelah sampai di depan pintu dapur.
"Siapa pria yang menjawab sambungan teleponku tadi? Kamu baru saja berbohong mengenai foto editan itu, kan?" tanya Hudda, menatap Malini yang masih berdiri diam membelakangi keberadaannya.
Malini menoleh ke belakang dan tersenyum.
"Tadi Mas menghubungiku dan setelah itu memutuskan sambungan telepon setelah aku berbicara halo. Sebenarnya, apa yang terjadi, Mas? Apa suaraku seperti laki-laki? Aneh," kata Malini dengan memperlihatkan wajah bingung.
"Ponselmu mana?" Hudda ingin meyakinkan kalau dirinya tidak halu.
"Ini." Malini mengeluarkan ponsel dari saku rok nya dan memperlihatkannya kepada Hudda.
"Apa mungkin aku halu? Jelas-jelas telingaku tadi menangkap suara pria," kata Hudda berbicara dalam hati sambil mengingat kembali suara pria yang ditangkap oleh indera pendengarannya.
"Kamu mandi dulu saja, Mas. Tenangkan pikiranmu agar lebih fokus."
Malini membodohi suaminya itu dengan kebohongan. Tapi, butuh perjuangan baginya untuk berbohong.
Malini lanjut berjalan ke dapur, lalu Hudda kembali melangkahkan kaki ke atas.