“Arga, ini aku bawain sandwich buat kamu. Dimakan ya, semoga kamu suka,”
Argantara datang menjemput Shelina tunangannya hasil perjodohan karena suruhan orangtua. Ketika Shelina sudah masuk ke dalam mobil, Ia langsung mengemudikan mobil dengan kecepatan yang tinggi dan mengabaikan ucapan Shelina.
Tunangannya itu langsung panik ketika Argantara melajukan mobil dengan kecepatan yang tinggi tanpa memedulikan dirinya yang merasa trauma pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di usia kecil.
“Arga tolong jangan ngebut, aku takut,”
“Lo pantes dapat hukuman ini ya. Nyokap gue nyuruh gue untuk jemput lo! Emang gue supir lo?! Hah?!”
“Tapi ‘kan—-tapi bukan aku yang minta, Ga,”
“Lo harus tau satu hal, gue benci sama lo! Walaupun gue udah putus dari cewek gue, dan dia ninggalin gue nggak jelas sebabnya apa, tapi gue masih cinta sama dia, dan gue nggak akan buka hati buat siapapun itu selain dia! Gue yakin dia bakal balik lagi,”
“Tapi ‘kan kita udah tunangan, Ga,”
“BARU TUNANGAN! GUE BENCI SAMA LO, PAHAM?!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arzeerawrites, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
“Arga, duduk dulu yuk, nggak lagi buru-buru ‘kan?”
“Maaf, Tante. Aku mau langsung pulang aja,”
“Yah kok nggak mau duduk dulu? Abis dari sini mau kemana? Langsung pulang?”
“Iya, Mama udah nungguin,”
Argantara terlalu malas untuk terlalu banyak interaksi baik dengan Shelina maupun orangtuanya jadi Ia ingin cepat-cepat pulang walaupun Shefia mengajaknya untuk duduk dulu di ruang tamu. Ia menggunakan Mamanya sebagai alasan. Dan itu berhasil.
“Okay hati-hati kalau begitu ya, Nak,”
“Iya, Tante. Aku pamit pulang, Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam, hati-hati ya,”
“Ya, Tante,”
Setelah mengantarkan Shelina pulang ke rumah dengan selamat, Argantara menemui Shefia dulu yang ternyata sedang duduk di halaman depan rumah. Sekarang Argantara melajukan mobilnya menuju rumah.
“Males banget gue basa-basi sama Shelina atau nyokapnya. Mending gue langsung pulang ke rumah, terus istirahat,”
*******
“Gimana ceritanya kamu sama Argantara bisa pulang bareng, Shel? Arga ngajakin kamu?”
“Iya, Ma,”
“Mama kira kamu yang ngajakin pulang bareng,”
“Nggak, Ma. Aku tadinya mau pulang sama dua teman aku. Nah tapi Arga manggil aku dan nawarin pulang bareng. Jadi ya udah deh, aku pulang bareng Arga,”
“Eh gimana hari pertama kamu di kampus? Senang nggak?”
Shelina tidak langsung bergegas ke kamarnya karena diajak mengobrol oleh mamanya, dan Ia tak masalah menanggapi. Ia malah senang ketika hari-harinya dipertanyakan oleh orangtuanya. Itu tanda bahwa Ia diperhatikan. Orangtuanya mau mendengarkan cerita-ceritanya.
“Alhamdulillah teman-teman aku pada baik banget sama aku, mereka nggak ada yang sombong gitu, Ma. Pertama kali aku ketemu mereka, nggak ada yang cemberut tuh, semuanya senyum, terus ngajakin ngobrol. Tapi yang sering ngajakin aku ngobrol, jarang berhenti itu dua teman aku kanan kiri, namanya Lifa sama Tita, Ma. Mereka tuh asyik banget, hari-hari aku kayaknya bakal berwarna banget sih setelah ketemu mereka,”
“Ih kapan-kapan kenalin dong ke Mama,”
“Iya boleh, Ma. Nanti lain kali aku ajakin mereka main ke sini ya, jadi Mama bisa kenal sama mereka juga, bisa nilai sendiri. Semuanya baik kok sama aku, benar kata Mama. Harusnya aku nggak perlu khawatir karena anak-anak di kampus itu, khususnya di kelas aku semua pada baik,”
“Tuh ‘kan apa Mama bilang. Makanya jangan terlalu mengkhawatirkan hal yang sebenarnya tuh belum tentu terjadi, Nak. Selagi kamu baik, percaya aja bakal ada orang yang baik sama kamu,”
Shelina menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. Mamanya kelihatan senang sekali mendengar ceritanya. Ia pun sama senangnya. Tidak ada penyesalan sedikitpun pindah ke kampus yang sekarang, karena kenyamanan bisa Ia rasakan.
“Terus kalau Arga sendiri gimana?”
“Gimana apanya, Ma?”
“Dia jadi teman yang baik nggak untuk kamu?”
Tanpa ragu sedikitpun Shelina langsung menganggukkan kepalanya. Ia tidak mungkin berkata yang sejujurnya soal Argantara.
Shelina yakin sebenarnya Argantara baik, hanya saja Argantara sedang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehadirannya di hidup Argantara. Mengingat pertemuan mereka kesannya cukup tiba-tiba, kaku dijodohkan juga.
“Baik kok, Ma. Arga baik banget ke aku. Tadi dia bantuin aku cari kelas jadi aku nggak perlu susah-susah deh untuk temuin kelas aku,”
Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Shelina mencari kelasnya sendirian, dan mengandalkan mulutnya untuk bertanya pada mahasiswa yang Ia temui sepanjang pencarian kelas.
“Terus gimana sama sandwich buatan kamu? Dimakan sama Arga?”
“Nggak, Ma,” kalimat itu hanya sampai di ujung lidah, tidak berhasil Shelina lontarkan. Dua kata itu saja tidak berhasil terlontar, apalagi penjelasan panjang lebar tentang momen dimana Argantara sengaja menggunakan kecepatan tinggi ketika melajukan mobilnya, ditambah lagi Argantara membuang kotak makanan berisi sandwich yang sengaja Ia berikan kepada Argantara akan tetapi Argantara tolak dengan teganya disaat Argantara bisa menolaknya dengan cara yang baik tanpa perlu menyakiti hati Shelina yang memang sudah terluka karena ketika di perjalanan, Argantara membuatnya ketakutan setengah mati, Argantara seperti sengaja menjebak Ia di dalam rasa traumanya sendiri.
“Sayang, sandwichnya dimakan sama Arga nggak?”
“Dimakan kok, Ma. Malah habis, dan aku senang banget,”
“Wah Alhamdulillah kalau begitu. Mama ikut senang dengarnya. Kamu sendiri makan sandwich nya nggak?”
“Makan, aku bagi juga sama teman-teman aku, terus aku juga jajan deh,”
“Argantara senang kamu kasih sandwich?”
“Iya senang, Ma,”
“Terus kamu mau ngasih dia makanan lagi besok?”
“Hmm…belum tau, Ma,”
“Kayaknya nggak usah deh, soalnya kamu jadi ribet pagi-pagi, lagipula kamu ‘kan belum tau ya seleranya Arga tuh kayak gimana. Bukan maksud Mama pelit, tapi takutnya nggak sesuai sama selera Arga,”
“Iya, Ma,”
“Lagian aku masih trauma, Ma. Nggak tau kapan berani lagi nyiapin makanan untuk Arga,” sambung Shelina di dalam hati.
.