Mela mempunyai prinsip untuk tidak pacaran sebelum menikah, membuatnya tak kunjung menikah saat usianya sudah cukup. Sampai suatu ketika, ia dijodohkan dengan orang yang sama sekali tidak ia kenali. Selain usianya terpaut cukup jauh, karakter calon suaminya juga sangat jauh dari kriteria Mela. Namun, demi membahagiakan bapaknya, Mela tetap menerima pria tersebut sebagai suaminya, berharap ia bisa merubah kebiasaan buruk dari suaminya.
Meskipun ternyata, kenyataannya tidak semudah dengan apa yang dia pikirkan. Bahkan mulai dari persiapan pernikahan pun, Mela sudah harus banyak bersabar menghadapi segala macam tingkah konyol calon suaminya. Terlebih saat sudah menjadi pasangan suami istri, semakin terlihat jelas, kebiasaan buruk dari suaminya yang ternyata sangat sulit untuk di rubah. Seperti kata mutiara, semua orang bisa tua pada saatnya, tapi tidak semua orang bisa bersikap dewasa. Kata-kata itu pantas disematkan pada suami Mela, meskipun sudah be
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KidOO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
"Iya, ayo, buruan naik!"
Mas Aak terlihat sangat antusias berada di barisan paling depan, memimpin rombongan. Mungkin itu adalah cita-citanya sejak dulu. Menggunakan vespa kesayangannya di hari bahagianya, bersama orang yang sah jadi istrinya. Tapi bagaimana denganku? Aku bisa sakit pinggang kalau harus naik vespa yang joknya cuma tinggal sedikit itu. Terlebih aku memakai gaun pengantin yang super ribet. Kalau justru membuat gaunnya rusak bagaimana? Ganti rugi dong? Aduh! Aku benar-benar bingung, antara realistis, tapi juga kasihan sama Mas Aak.
Tiba-tiba saja ibu mertuaku sudah berada di sampingku. Beliau mungkin saja melihat keraguanku yang tidak kunjung naik motor Mas Aak, setelah beberapa lama.
"Mela ikut di mobil aja, Ak. Kasian dia, nanti riasannya rusak sebelum sampai di rumah kita. Kena angin, kena debu. Kan periasnya nggak ikut serta ke rumah kita. Nggak lucu, kan, kalau pas acara, dandanan Mela udah berantakan?" Bu Yusuf memberi pengertian pada Mas Aak, anak bungsunya itu.
"Yah, tapi ini impian Aak dari jaman dulu, Bu." Mas Aak terlihat kecewa, aku baru pertama kali melihat, ternyata orang seperti Mas Aak bisa juga kecewa. Wajahnya benar-benar memelas. Membuatku jadi nggak tega.
"Buat apa, sih? Buat gaya-gayaan di foto? Di pajang di medsos?" Bu Yusuf melemparkan pertanyaan yang cukup menohok.
"Ya, kan keren, Bu. Akhirnya bisa boncengin istriku pakai vespa kesayanganku." Mas Aak masih mencoba untuk melaksanakan keinginannya.
"Begini aja, kalian foto lah. Boncengan. Teman-teman kamu juga ikut, biar bisa buat kenang-kenangan. Setelah itu, Mela biar ke rumah kita naik mobil. Nggak bagus juga kan, kalau jadi tontonan orang-orang? Apa yang kamu anggap keren, belum tentu dianggap serupa oleh orang lain, kan? Boncengin istri pakai vespa juga bisa setelah ini, kalau Mela siap dengan dandanan yang normal. Dandanan pengantin terlalu ribet kalai dipakai buat naik vespa. Mau duduk miring, takut bawahannya masuk ke rantai, selain gaunnya bisa rusak, kalian juga bisa celaka. Mau duduk biasa, kok nggak pantes, nggak sesuai sama gaunnya yang cantik." Bu Yusuf masih mencoba bernegosiasi dengan Mas Aak dengan segala macam penjelasan yang masuk akal.
"Yaudah deh, kita foto aja. Nanti kamu ikut mobil nggak papa." Akhirnya Mas Aak mengalah. Sepertinya dia memang tidak akan menang beradu argumen dengan ibunya.
"Nah, gitu, kan enak. Mela juga nyaman. Iya nggak, Mel?"
"Eh, hehe. Iya, Bu. Takut nanti sakit pinggang juga. Joknya sempit, nggak ada pegangannya juga. Kalau jatuh, malah repot." Aku baru berani menyatakan keberatanku, setelah ada yang mendukungku.
"Nah, kan. Mela juga setuju dengan pendapat ibu. Lebih baik Mela ikut mobil aja, atau kamu juga mau ikut mobil juga tidak masalah. Mobilnya kan sekarang longgar."
"Enggak ah, Bu. Aku naik si Timmy aja." Mas Aak menyebut vespanya dengan nama Timmy. Aku menahan tawa mendengar nama motor vespa yang sebenarnya memang cocok, karena vespanya memang berwarna merah muda itu.
"Yaudah, sana bilang sama tukang fotonya, sama teman-temanmu juga, buat foto bersama di beberapa tempat. Yang penting jangan lama-lama. Kasian yang di rumah udah nungguin, kan."
"Oke, Bu."
Mas Aak segera mengganti rencananya, dia berkoordinasi dengan teman-temannya, juga dengan tukang foto. Akhirnya kami sama-sama naik vespa, meskipun hanya untuk kepentingan dokumentasi saja.
Setelah semua dirasa cukup, Mas Aak membawaku kembali ke mobil. Aku segera naik ke mobil, sedangkan Mas Aak tetap mengendarai vespanya. Di mobil hanya ada aku, mertuaku, juga iparku. Untuk pertama kalinya, aku bersama mereka, setelah sah menjadi anggota keluarga baru bagi mereka. Aku sangat beruntung, ibu mertuaku sangat ramah dan mengajakku ngobrol terus, jadi aku tidak merasa bingung harus apa dan lain sebagainya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, kami akhirnya sampai di rumah mertuaku. Ternyata di sana sudah ramai orang yang menunggu. Tanpa basa-basi, aku kembali dipajang di depan, bersama Mas Aak. Sedangkan bapak ibuku, juga mertuaku, duduk di depan panggung, bersama para tamu.
Acara pun segera dimulai, berbagai sambutan dan lain sebagainya, juga pengajian pernikahan diadakan di rumah mertuaku. Selanjutnya masih sama seperti di rumahku, di sini juga dipersilahkan untuk makan-makan. Aku tetap menahan diri untuk tidak makan dulu. Nanti aja, kalau semuanya udah selesai, pikirku.
Sekitar dua jam kemudian, acara pun berakhir. Kami bersalaman dengan tamu yang hadir, setelah itu dipersilahkan untuk sesi foto bersama keluarga.
"Kami pulang dulu ya, Mel!" Bapak berpamitan padaku, setelah selesai foto.
"Yah, Pak. Aku gimana?" Aku panik seketika, masih belum bisa menyesuaikan diri kalau ternyata sekarang di sinilah rumahku.
"Ya kamu tetep di sini, Mel. Pakaianmu kan udah dibawa ke sini juga. Besok lah, berkunjung ke rumah. Tapi malam ini ya kamu udah mulai nginep sini." Ibuku ikut menyahuti.
"Tapi, Bu? Aku takut."
"Takut apa? Kan di sini sekarang rumahmu juga, keluargamu juga, Mel. Pokoknya yakin, semua akan baik-baik aja. Yang penting kamu menjunjung tinggi sopan santun, sama mertua, suami ataupun ipar. Ibu yakin, semua akan akan sayang sama kamu, asalkan kamu bersikap sopan dan santun." Ibu berpesan padaku saat aku menyalami tangan beliau.
"Baik, Bu. Aku akan berusaha bersikap sebaik mungkin, supaya nggak bikin malu Bapak sama Ibu." Aku bertekad dalam hati.
"Harus itu, Mel." Bapak mendukung tekad baikku.
Bapak Ibu beserta rombongan akhirnya meninggalkan rumah mertuaku, meninggalkanku sendiri bersama orang-orang yang terbilang baru bagiku. Mau bagaimana lagi? Keputusan sudah dibuat. Aku harus bisa menjalaninya.
Setelah acara selesai, aku segers ke kamar Mas Aak yang juga menjadi kamarku saat ini. Aku baru saja akan melepas hijabku, saat tiba-tiba saja pintu dibuka.
"Mas! Jangan ke sini dulu!" Aku melotot ke arah Mas Aak.
"Lah, kenapa emangnya? Kan ini kamarku?" Mas Aak tidak menghiraukan laranganku. Dia justru masuk kamar, menutup pintu dan menguncinya.
Hatiku berdebar hebat. Berada dalam satu kamar dengan laki-laki yang baru ku kenal. Meskipun sekarang status kami sudah jadi suami istri, tapi tetap saja, aku masih belum terbiasa dengan keadaan ini.
"Aku mau ganti baju dulu, Mas! Nanti gantian. Mas mending keluar dulu, deh!" Aku mencoba mengusir Mas Aak, berusaha membuat jantungku berdetak normal lagi.
"Yaudah, ganti baju aja nggak papa! Aku nggak nglarang kok." Mas Aak menjawab santai. Dia mulai melepas pakaiannya, tanpa rasa risih sedikitpun dengan adanya aku di kamarnya.
Seketika aku berbalik dan menutup mataku dengan kedua tanganku. Justru aku yang malu.
"Kamu ngapain, Dek?" Suara Mas Aak tiba-tiba saja sudah terdengar sangat dekat dengan telingaku.
"Aaa! Stop, Mas! Stop! Jangan mendekat!"