Suami Pilihan Bapak
"Mel!" Bapak mengajakku duduk mengobrol malam itu. Aku selalu takut saat seperti ini. Bapakku bukan orang yang galak, tapi beliau sangat berwibawa, membuatku senam jantung tiap kali diajak ngobrol berdua seperti ini. Pasti ada masalah serius yang akan beliau katakan.
"Ya, Pak? Ada apa?"
"Begini, kamu kan sudah lulus kuliah, sudah mengajar juga, jadi sudah pantas untuk berumah tangga. Lagipula teman-temanmu juga banyak yang sudah menikah. Kamu bagaimana? Apa sudah ada calon? Kenapa belum pernah kamu kenalkan sama Bapak?" Bapak bertanya hati-hati. Umurku baru 25 tahun, sebenarnya belum terlalu tua. Tapi entah kenapa, Bapak seperti sangat khawatir kalau aku akan jadi perawan tua.
Aku menggeleng pelan.
"Mela belum punya calon, Pak. Jangankan calon, orang yang Mela incar juga belum ada. Belum ada gambaran sama sekali." Aku tertunduk. Jujur saja, aku takut menaruh hati pada orang yang salah. Aku juga tidak mau membuat nama baik orang tuaku jadi buruk kalau aku memiliki hubungan dengan lawan jenis, sebelum halal.
"Bagaimana kalau kamu menikah dengan putra dari Pak Yusuf? Mantan kaum rois desa sebelah. Dia tengah mencari calon istri. Kebetulan kemarin kakaknya ke sini dan melihat kamu menjemur baju, jadi beliau menanyakan kamu pada Bapak."
"Menanyakan bagaimana, Pak?" Aku masih belum paham dengan maksud ucapan Bapak.
"Menanyakan, kamu mau atau tidak kalau jadi istrinya. Dia sudah lama mencari calon istri, tapi belum ketemu juga. Jadi kakaknya berharap, kamu mau jadi istri putra bungsu Pak Yusuf."
Deg!
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kenapa harus secepat ini? Bahkan kami berdua tidak saling mengenal satu sama lain. Yang saling kenal hanyalah Bapak dan putra sulung dari Pak Yusuf. Bukan aku dan putra bungsu Pak Yusuf yang namanya saja aku bahkan tidak tau. Apa bisa, menikah dengan cara seperti ini?
"Tapi, Pak. Kami tidak saling mengenal, bagaimana bisa tiba-tiba menikah?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Besok kan pasti kenalan, kalau kamu memang setuju. Minimal berkenalanlah dulu, siapa tau, dia memang jodoh kamu, kan? Lagi pula dia putra dari Pak Yusuf, Bapak yakin kalau dia pasti sebaik dan sealim bapaknya. Putra sulungnya juga baik dan alim, jadi kemungkinan besar adik-adiknya juga menuruni sifat dari Pak Yusuf." Bapak berusaha meyakinkanku, dengan membawa-bawa nama Pak Yusuf yang memang cukup terkenal di desaku.
"Jadi, Bapak setuju dengan perjodohan ini?" Aku bertanya dengan hati-hati, tidak mau kalau sampai membuat Bapak sakit hati.
"Bapak setuju, kalau melihat dari profil keluarganya, dia pasti anak baik-baik. Tapi semua tetap terserah sama kamu. Bapak tidak memaksa, karena yang akan menjalani pernikahan itu adalah kalian."
"Apa putra bungsu Pak Yusuf juga sudah tau, kalau mau dikenalkan sama Mela, Pak?" Aku hanya ingin tau saja, karena akan aneh kalau aku mau, tapi dia tidak mau, kan?
"Sedang ditanyakan, kalau kamu mau, nanti Bapak akan ke rumah beliau, untuk bertanya langsung, mau bagaimana dan seperti apa kelanjutannya."
"Ya sudah, Pak. Mela ikut apa kata Bapak saja." Aku menunduk pasrah.
Aku sebenarnya bingung harus bagaimana, ingin menolak, tapi takut kalau aku akan jadi perawan tua seperti kata orang-orang dulu. Tidak baik menolak lamaran. Siapa tau beliau memang jodohku, kan? Dan ini memang cara untuk kami bertemu.
Lagi pula, aku sudah selalu merepotkan Bapak, sejak kecil sampai saat ini aku sudah mengajar pun masih tetap merepotkan Bapak. Mungkin ini caraku agar bisa membuat Bapak bahagia, dengan menjadikannya besan dari orang yang terpandang, kan?
Bapak sudah berumur, aku juga masih punya dua adik yang harus dibiayai Bapak. Mungkin dengan aku menikah, aku bisa mengurangi beban Bapak, karena aku akan sepenuhnya ditanggung oleh suami, kan?
"Tapi kamu tidak terpaksa, kan?" Bapak bertanya sekali lagi.
Aku menggeleng.
"Bismillah, Pak. Aku mau mencoba berkenalan dengan beliau. Semoga kami berdua memang cocok." Akhirnya aku berkata dengan mantap, dengan berbagai pertimbangan yang tadi kupikirkan.
"Syukurlah. Kalau begitu, besok Bapak akan bertamu ke rumah Pak Yusuf, untuk membahas hal ini." Aku melihat raut wajah Bapak yang tersenyum bahagia. Mungkin memang ini yang Bapak inginkan.
"Baik, Pak. Besok biar kami bertukar CV saja, untuk mengenal satu sama lain. Tidak perlu bertemu dan lain sebagainya. Aku takut akan terjadi fitnah dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Pak. Kalau mau menghubungiku, bisa diwakilkan ke keluarganya yang perempuan saja, supaya kami tidak berkirim pesan ke arah yang negatif, sebelum kami benar-benar halal." Aku berpesan pada Bapak, untuk menyamakan persepsi.
Bapak memang bukan orang kota yang berpengetahuan luas, bukan juga seorang pemuka agama yang paham banyak tentang aturan dalam agama. Tapi beliau berusaha menjaga sholat lima waktu di masjid dan juga suka mendengarkan ceramah-ceramah di radio atau di pengajian umum yang bisa dijangkau. Aku yakin, Bapak bisa memahami prinsip dasar yang juga baru kuketahui setelah aku kuliah dulu. Hal-hal terkait dengan ta'aruf untuk mendapatkan jodoh.
"Baik, besok akan Bapak sampaikan ke beliau." Bapak mengangguk paham.
***
Bapak segera melancarkan rencananya setelah mendapat persetujuanku. Sepertinya beliau memang benar-benar menginginkan pria tersebut untuk menjadi suamiku kelak. Aku tidak bisa menolak, aku sadar diri, sudah terlalu merepotkan Bapak selama ini. Mungkin ini saatnya aku untuk berbakti, dengan mengikuti apa yang beliau inginkan. Aku memantapkan hatiku, semoga memang seperti ini jalan yang harus kutempuh dalam menemukan jodoh.
Aku mengirimkan CV-ku terlebih dahulu pada lelaki yang belum ku ketahui nama lengkapnya itu. Aku baru tau nama panggilannya saja, "Aak". Itu juga saat Bapak memberiku secarik kertas berisi deretan nomer telepon juga nama panggilannya. Tidak ada nomer lain selain itu, aku pikir tidak apa-apalah, toh kami tidak berkirim pesan yang macam-macam. Hanya berniat ta'aruf saja.
Selang satu hari kemudian, aku baru mendapatkan balasan CV, seperti yang kuminta. Aku membacanya saat jam istirahat sekolah di kantor. Aku membaca satu persatu kata yang ditulis oleh Mas Aak.
"Ada apa s, Bu Mela? Serius banget?" Bi Lina, teman akrabku sejak sekolah, yang kebetulan mengajar di tempat yang sama denganku tiba-tiba menepuk pundakku. Meskipun akrab, tapi kami tetap menghormati satu sama lain dan semenjak jadi guru, kami memang terbiasa memanggil dengan sebutan Bu, untuk membiasakan pada murid-murid kami.
"Eh, enggak." Aku tersenyum, ternyata dia sudah memperhatikanku sejak tadi.
"Jangan bohong de, Bu! Kelihatan kok, kalau ada yang sedang dipikirkan."
"Ini, Bu. Aku sedang berkirim CV sama seorang laki-laki, aku menerima perjodohan dari Bapakku." Aku mengatakan apa yang sebenarnya. Aku memang tidak terbiasa berbohong.
"Wah! Ada yang mau melepas masa lajangnya, nih!" Bu Lina justru meledekku.
"Iya, Bu. Tapi aku ragu." Aku tidak seyakin kemarin setelah membaca CV yang Mas Aak kirimkan padaku.
"Kenapa ragu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Arlingga El Mustafa🇮🇩🇹🇷
ayeee,,,, hadir bg,,, ikut nongkrong,,, 😁😁😁
2023-04-15
1
Author yang kece dong
aduh, kayak mau ngelamar kerja kak kidoo 😁,
2023-04-14
0