NovelToon NovelToon
Paman, Aku Mencintaimu

Paman, Aku Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Enemy to Lovers
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.

Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 - Dibalik Senyuman

Hari Senin pagi, udara Jakarta masih menyisakan kelembaban setelah hujan semalam. Langit belum benar-benar biru, tapi di gedung tinggi Kartanegara Beauty, aktivitas sudah dimulai sejak matahari baru menyentuh kaca-kaca besar di fasad bangunan.

Tari berdiri di depan pintu kaca besar bertuliskan Creative Division, mengenakan blouse warna gading dan celana kain krem lembut. Rambutnya dikuncir setengah, wajahnya tampak lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya, meski jantungnya berdegup lebih cepat.

“Selama dua minggu ini, kamu hanya dikenalkan sebagai pegawai trainee. Fokus saja belajar,” ucapnya singkat saat mereka akan berangkat.

Tari mengangguk. “Dan setelah dua minggu?”

“Kita lihat siapa yang bertahan.”

Lalu Gilang menaiki mobilnya, Ia berbalik dan pergi tanpa kata tambahan. Seperti biasa. Dingin. Efisien.

Tapi sedikit demi sedikit Tari mulai terbiasa sedangkan dia menaiki mobil sampai halte dekat kantor dan menaiki busway agar tidak mencurigakan.

Pintu terbuka otomatis. Di dalam, aroma parfum ruangan premium menyambutnya. Suasana divisi kreatif sangat berbeda dengan ruang-ruang perusahaan lainnya—dinding warna pastel, tanaman indoor di beberapa sudut, deretan meja terbuka dengan papan inspirasi, dan beberapa display kosmetik hasil kampanye terbaru.

Seorang perempuan berkacamata bulat, mengenakan setelan blazer navy dengan celana putih, menghampiri Tari dengan senyum ramah.

“Halo, kamu pasti Tari, ya?” sapanya ceria. “Aku Restu, manajer kreatif di sini. Selamat datang.”

Tari menjabat tangannya, “Terima kasih, Mbak Restu.”

Restu mengajak Tari keliling sebentar. “Kamu akan kerja dalam satu tim kecil untuk bantu kampanye produk edisi festival bulan depan. Kita satu tim ada lima orang, termasuk aku dan kamu.”

Mereka tiba di meja kerja berbentuk L yang ditempati oleh empat orang lainnya. Restu memperkenalkan satu per satu.

“Ini Nana, staff senior kita. Senior banget malah. Udah tujuh tahun di sini. Yang ini Riska, juga senior. Dan ini Rega, anak baru juga, tapi udah cepat nyetel.”

Tari menyalami satu per satu, berusaha menghafal nama dan wajah. Nana tampak hangat dan sopan, dengan senyum tulus dan gaya bicara tenang. Riska—perempuan bertubuh ramping dengan rambut panjang bergelombang dan makeup sempurna—memberi senyum singkat, tapi matanya… menilai.

Lalu Rega, laki-laki berkacamata dengan hoodie hitam dan headphone menggantung di leher, tampak cuek tapi ramah saat menyambut.

“Baru ya?” tanya Rega sambil duduk kembali ke depan layarnya.

“Iya, trainee… semacam itu,” jawab Tari sambil tersenyum.

Restu menunjuk satu meja kosong. “Meja kamu di sini. Laptop dan ID sudah disiapkan. Nanti kamu ikut brainstorming hari ini jam sebelas, ya. Kita mulai ringan dulu.”

Sepuluh menit setelah Tari mulai membuka laptop, sebuah suara menggelegar dari sudut ruangan.

“Oke semua, ada update penting! Tadi pagi Pak Gilang lewat depan pantry!”

Tari menoleh refleks. Suara itu datang dari Riska, yang sekarang berdiri dengan tangan berkacak pinggang dan ekspresi terlalu heboh untuk berita sekecil itu.

“Dia pakai kemeja putih, celana abu-abu, dan… oh my God… dia senyum!” lanjutnya, disambut tawa kecil beberapa rekan kerja lain.

Rega berbisik ke Tari, “Dia anggota GFC.”

Tari mengernyit. “GFC?”

“Gilang Fans Club,” bisik Rega sambil nyengir. “Isinya orang-orang yang… ya, gitu deh. Obsesi.”

Tari menahan tawa. Ia melirik ke arah Riska yang kini membuka folder berisi foto-foto candid Gilan dari potongan di lift sampai pantulan kaca dari pantry.

“Kalau kamu mau join, tinggal daftar. Tapi harus sumpah setia,” kata Nana yang baru ikut bergabung sambil tertawa geli.

Tari ikut tertawa. “Mungkin aku butuh waktu lebih lama di sini sebelum ikut klub-klub khusus.”

“Don’t worry, kami cuma bercanda… separuhnya,” celetuk Riska dengan tatapan menyelidik. “Tapi kamu dari mana ya sebelumnya?”

“Bandung,” jawab Tari singkat.

“Background?”

“Agribisnis. Tapi aku sempat buka toko bunga sendiri.”

“Florist?” Riska mengangkat alis. “Agak jauh ya dari kreatif branding.”

“Iya. Tapi bunga juga soal warna, komposisi, dan emosi. Kayak kampanye, kan?” jawab Tari pelan, mencoba tetap tenang.

Nana tersenyum senang. “Bagus tuh. Pendekatannya beda. Kita justru butuh orang yang fresh.”

Restu lewat di dekat mereka dan menyahut, “Tari ikut brainstorming nanti, ya. Bawa ide segila apa pun. Kita lagi butuh terobosan.”

Jam sebelas, mereka berkumpul di ruang meeting mungil dengan dinding whiteboard penuh coretan. Tari duduk di pojok, mendengarkan tim berdiskusi soal kampanye edisi Festival Bumi Nusantara. Temanya adalah keberagaman alam Indonesia yang terinspirasi dari kekayaan tanaman lokal.

Restu memimpin diskusi dengan dinamis, sementara Nana sesekali memberi masukan berdasar pengalaman. Rega banyak mencatat, dan Riska… lebih banyak mengomentari ide orang lain ketimbang memberi ide baru.

Saat Tari ditanya pendapatnya, ia sempat terdiam. Tapi kemudian ia memberanikan diri.

“Kalau konsepnya tanah dan tumbuhan Indonesia, bagaimana kalau kita fokus pada proses tumbuhnya? Mulai dari biji, tunas, lalu mekar… sebagai simbol kecantikan alami yang berkembang dari dalam.”

Semua menoleh. Beberapa mengangguk. Nana tampak menganggumi.

“Bagus,” kata Restu. “Visualnya bisa kuat banget. Tumbuh pelan-pelan, kayak metamorfosis. Bisa kita olah.”

Riska mengangguk ragu. “Tapi… konsep tumbuh-tumbuhan itu udah sering dipakai. Jangan-jangan terlalu klise?”

“Beda kalau pendekatannya personal,” sahut Nana. “Bisa digabung dengan narasi perjalanan perempuan Indonesia.”

Tari mengangguk pelan, mencatat masukannya.

Dua minggu berlalu dengan cepat. Setiap hari Tari datang lebih pagi dari yang lain dan pulang paling akhir. Ia tahu ia masih ‘orang asing’—belum sepenuhnya diterima, tapi juga tidak ditolak. Ia bukan ancaman karena tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya.

Di sela pekerjaan, ia sering melihat interaksi kecil di kantor—yang diam-diam mulai ia nikmati. Rega yang selalu iseng mengubah ringtone Nana, Riska yang terlalu perfeksionis, dan Restu yang selalu membawa energi positif meski tekanan tinggi.

Namun, di balik semua senyum ramah itu, Tari mulai melihat pola. Orang-orang di kantor sangat hati-hati bicara soal level manajemen atas. Gilang, misalnya, disanjung tapi juga ditakuti. Setiap langkahnya jadi topik gosip, tapi tak ada yang benar-benar mengenalnya.

Tari juga tahu, Riska memperhatikannya. Bukan dalam arti positif. Beberapa kali, ia menangkap tatapan Riska saat dirinya berdiskusi dengan Restu, atau ketika Nana memberinya pujian atas ide presentasi visual.

Pada hari Jumat di minggu kedua, Tari menerima undangan rapat tim kecil bersama Gilang dan Restu untuk review ide kampanye.

Seketika, Riska jadi lebih aktif. Ia menyodorkan konsep yang sebelumnya tidak pernah ia angkat dalam brainstorming—penuh detail dan diagram. Sementara Tari hanya membawa sketsa visual kasar dan narasi pendek.

Saat rapat berlangsung, Gilang mendengarkan dengan wajah tanpa ekspresi. Ia memberi masukan, mempertanyakan beberapa ide, dan sesekali menatap Tari tanpa reaksi. Namun saat Restu menunjukkan sketsa milik Tari, Gilang mengangguk pelan.

“Yang ini… punya potensi. Lanjutkan. Kembangkan dari sisi narasi lokal dan hubungan emosionalnya.”

Riska tampak kecewa. Tapi Tari hanya mengangguk sopan. Ia tak mengatakan apa pun.

Ia hanya mencatat satu hal, di balik senyum ramah… selalu ada kompetisi. Dan ia harus belajar bertahan di dalamnya.

1
Rendi Best
lanjutkan thor🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!