NovelToon NovelToon
Dipaksa Kawin Kontrak

Dipaksa Kawin Kontrak

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Pelakor jahat
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Dini Nuraenii

Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.

Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Cahaya jingga menembus kaca besar di lantai eksekutif. Hampir semua karyawan sudah pulang. Hanya tersisa suara AC dan detak jam dinding yang terdengar samar.

Di ruang kerja Arya, suasana tampak lebih santai. Jasnya sudah dilepas, lengan kemeja digulung hingga siku.

Di meja sebelah, Kaila masih berkutat merapikan beberapa berkas, berusaha tetap terlihat sibuk meski matanya terus mencuri pandang ke arah Arya.

“Kenapa belum pulang?” tanya Arya tanpa menoleh, suaranya terdengar lebih ringan dari biasanya.

Kaila tersentak pelan, lalu menjawab, “Aku belum selesai mengecek jadwal rapat besok.”

“Kamu bisa lanjutkan di rumah.” Arya berdiri, lalu berjalan pelan ke arah jendela. “Hari ini cukup melelahkan.”

Kaila diam sejenak, lalu memberanikan diri bertanya, “Apa kamu lelah... karena aku?”

Arya menoleh cepat. Sorot matanya tajam, namun tak lagi setegang biasanya. Ia berjalan pelan ke arah Kaila.

“Tidak,” katanya singkat. “Tapi kamu memang membuat segalanya jadi berbeda.”

Kaila menatap pria itu dengan bingung. “Berbeda bagaimana?”

Arya mendekat, berdiri di samping meja Kaila. Ia mengambil salah satu sticky note berwarna pink yang tertempel di sudut laptop Kaila tulisan tangan kecil berbunyi “Jangan lupa tersenyum”.

Ia membaca tulisan itu dengan senyum kecil yang nyaris tak terlihat.

“Kamu tulis ini untuk siapa?” tanyanya.

Kaila tersipu. “Untuk diriku sendiri... biar ingat kalau hari-hari buruk pun tetap bisa dilewati.”

Arya menatapnya lama. “Kamu selalu mencoba kuat, ya?”

“Kalau tidak kuat, aku bisa apa?” jawab Kaila pelan.

Lalu, tanpa ia duga, Arya meletakkan sticky note itu di sakunya dan berkata, “Hari ini, aku yang perlu pengingat itu.”

Kaila menatapnya tak percaya. “Untuk apa?”

Arya hanya menatap lurus padanya. “Karena kamu ada di sini, dan itu... membuat semuanya terasa lebih rumit. Tapi juga... lebih hidup.”

Hening mengisi ruang itu beberapa detik. Hanya suara detik jam yang mengalun lembut.

Kaila menunduk pelan, menyembunyikan senyumnya.

“Terima kasih,” katanya.

Arya berjalan kembali ke mejanya. Sebelum duduk, ia sempat menoleh, “Besok, temani aku ke lokasi proyek. Sekalian... kita makan siang di luar. Aku tahu tempat yang bagus.”

Kaila hanya bisa mengangguk, masih belum percaya dengan nada lembut yang keluar dari mulut seorang Arya Satya.

Dan di saat itu, untuk pertama kalinya, mereka berdua menyadari bahwa ‘kontrak’ yang mereka jalani perlahan mulai kehilangan batasnya.

.....

Mentari menggantung rendah di langit, sinarnya hangat menyapu area proyek yang masih setengah jadi. Kaila melangkah turun dari mobil, sedikit menyipit karena cahaya. Angin pagi berembus lembut, memainkan helaian rambut yang luput dari ikatannya.

Di sampingnya, Arya berdiri tenang. Kemeja birunya tergulung rapi sampai siku, memperlihatkan lengan yang kekar namun tetap bersih dari debu.

Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan lebih dulu, lalu menoleh sambil menunggu Kaila menyusul.

Langkah mereka seirama menapaki jalur tanah berkerikil. Seorang kepala proyek menyambut dan mulai menjelaskan perkembangan bangunan. Kaila membuka notes kecil, mulai mencatat.

Dari sudut mata, Arya memperhatikan gerak-geriknya. Serius. Rapi. Dan... sedikit terlalu tegang.

“Tidak perlu sedetail itu,” bisiknya pelan, mencondongkan tubuh sedikit mendekat.

Kaila menoleh, agak kaget. “Aku hanya ingin memastikan semua tercatat dengan baik.”

Arya tersenyum singkat. “Kamu selalu begitu ya? Serius dan takut salah.”

Kaila tidak menjawab. Ia hanya kembali menunduk, tapi sudut bibirnya terangkat samar.

Setelah sesi inspeksi selesai, Arya membuka pintu mobil untuknya. Kali ini, Kaila hanya menatap sekilas sebelum masuk. Tak ada protes, tak ada basa-basi. Tapi ada jeda aneh di dada.

Alih-alih kembali ke kantor, Arya membawa mobil menyusuri jalanan kota yang lebih sepi. Mereka berhenti di sebuah kedai makan kecil dengan papan nama usang, tertutup tanaman rambat.

Kaila menatapnya dengan dahi mengernyit. “Ini?”

“Tempat favoritku. Tidak ramai, makanannya enak,” jawab Arya singkat.

Di dalam, suara jazz klasik mengalun pelan. Mereka duduk di sudut ruangan, ditemani aroma ayam panggang dan teh melati.

“Kenapa tidak pilih restoran mewah?” tanya Kaila sambil membuka menu.

Arya meliriknya. “Karena hari ini bukan soal tempatnya. Aku cuma... ingin makan siang sama kamu. Sambil ngobrol, mungkin.”

Kaila tak langsung menjawab. Tapi saat pelayan datang membawa pesanan mereka, ia sempat mencuri pandang ke arah Arya—lelaki yang awalnya terasa begitu jauh, kini mulai terasa sedikit lebih dekat.

Dan entah kenapa, makanan siang itu terasa lebih hangat dari biasanya.

Kaila menyesap teh melatinya pelan. Hangatnya menenangkan tenggorokan yang sejak tadi nyaris tak mengeluarkan suara.

“Dulu,” ujar Arya tiba-tiba, “aku sering ke sini sama Mama.”

Kaila menoleh. “Mama kamu?”

Arya mengangguk, pandangannya terarah ke jendela yang dipenuhi embun tipis. “Waktu aku masih SMA. Kami suka bahas arsitektur. Beliau pengagum bangunan tua. Dulu aku nggak terlalu paham kenapa.”

“Sekarang?”

Arya tersenyum simpul. “Sekarang aku rindu obrolan-obrolan itu.”

Kaila ikut tersenyum, tapi tidak berkomentar. Ia memilih menunduk, memainkan sendoknya.

“Tapi kamu tipe pendengar yang baik,” lanjut Arya tiba-tiba.

Kaila tersentak kecil. “Dari mana tahu?”

“Dari caramu diam. Kamu tidak memburu-buru. Tidak menyela. Itu langka.”

Kaila terkekeh pelan, suara tawanya nyaris tenggelam oleh musik yang mengalun. “Mungkin karena aku belum tahu harus jawab apa.”

Arya menatapnya dalam, lalu mengalihkan pandangan sebelum terlalu lama.

“Kalau kamu sendiri, masih suka main piano?” tanyanya.

Kaila menoleh cepat. “Kamu tahu dari mana?”

“Gaun yang kamu pakai waktu wawancara. Ada logo sekolah musik.”

Kaila mengangguk pelan. “Dulu sempat les, tapi berhenti karena—” Ia terhenti. Helaan napas menggantung. “—karena keadaan.”

Arya tidak bertanya lebih jauh. Tapi tangan kirinya diam-diam menggeser piringnya lebih dekat ke Kaila. “Cobain ini. Ayam panggangnya khas banget.”

Kaila mencicipinya. “Hmm... enak,” gumamnya, sedikit terkejut.

“Aku jarang salah soal makanan,” ujar Arya, kali ini dengan senyum penuh percaya diri.

Untuk pertama kalinya sejak mereka makan, Kaila tertawa lebih lepas.

---

Sore Hari, di Rumah Arya

Langit mulai gelap saat mobil Arya berhenti di halaman rumah. Kaila membuka pintu pelan, lalu membungkuk sedikit memberi hormat.

“Terima kasih sudah mengantar.”

“Terima kasih sudah nemenin makan,” balas Arya.

Belum sempat Kaila masuk ke dalam, pintu utama terbuka. Nayla berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun rumah berbahan satin, rambutnya tergerai sempurna.

Tatapan matanya tajam, meski mulutnya tersenyum. “Wah, sudah pulang, Mas?” Suaranya lembut, tapi terdengar seperti pisau bermata dua.

“Iya. Kami habis survei proyek,” jawab Arya santai.

Nayla menggeser pandangannya ke Kaila. “Lama sekali surveinya. Sampai makan siang bersama juga?”

Kaila menunduk, sopan. “Maaf, saya permisi dulu, Bu Nayla.”

“Silakan,” ucap Nayla manis. Tapi matanya tetap mengikuti Kaila masuk ke kamarnya.

Begitu Kaila menghilang, Nayla melipat tangan di depan dada. “Kamu mulai nyaman ya, ditemani dia?”

Arya tidak menjawab.

“Bahkan kamu terlihat... lebih tenang.” Nadanya menyelidik, bibirnya menipis.

Arya menatapnya datar. “Kalau kamu merasa terganggu, tinggal bilang.”

Nayla terkekeh. “Aku hanya mengingatkan. Kita suami istri secara hukum. Dan perempuan itu tinggal di rumah ini.”

“Kontrak pernikahan. Setahun saja.” Arya membalas datar. “Jangan khawatir, Nayla. Perasaan tidak termasuk dalam kontrak itu.”

Tapi Nayla tahu. Ia tahu sorot mata Arya tidak lagi sama.

Dan itu cukup membuat hatinya terasa panas.

1
R 💤
jangan mau kaila,
R 💤
hadir Thor 👋🏻
R 💤: siap Thor 👋🏻
Dini Nuraeni: Thanks dah mampir dan jadi yang pertama mengomentari 🥹🫶
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!