⛔BOCIL MENYINGKIR!!
Ameera Khansa adalah gadis yatim piatu yang menjadi tulang punggung untuk dua adiknya. Suatu malam ia dijebak sehingga ternodai oleh seorang CEO muda sebuah perusahaan terkemuka, Ghazi Finn Cullen.
Ameera menuntut tanggung jawab atas harta berharga yang sangat dijaganya selama ini, tetapi lelaki itu malah melemparkan uang sebagai harga keperawanannya. Finn juga menudingnya sebagai perempuan murahan yang rela menjual diri demi materi. Ia tidak tahu bagaimana kerasnya Ameera bekerja halal, meski butuh banyak uang untuk menutupi hutang, dan biaya berobat sang adik.
___
Ghazi Finn Cullen, seorang pria kaya raya penikmat kebebasan dan membenci keterikatan, terutama hubungan pernikahan. Ia butuh kekasih tetapi tidak merasa tidak butuh istri. Namun suatu hari, tindakan Ameera membuatnya terpaksa menikahi perempuan itu.
Bagaimanakah kehidupan pernikahan mereka?
FB/IG : Myoonaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Musibah dan Penciuman Finn Sensitif
"Sami?! Jadi, yang kamu maksud adikku tadi bukan Naja? Sami kenapa, Han? Di jalan mana?!" Gemuruh penuh isi kepala Ameera sembari lari keluar lift, berputar mencari ojek ataukah taksi yang kebetulan mangkal.
Ia salah tangkap tadi, karena suara Rayhan kurang jelas. Ia kira Naja ditinggalkan Yuni di jalan. Entah kenapa kalut pikirannya terbayang hal itu, mungkin bekas trauma pada pengasuh Naja dulu, yang pernah tinggalkan Naja di jalan, sampai anak itu terus menerus menangis.
Sampai di tempat yang disebut Rayhan, Ameera turun dari taksi, setengah lari mendekati beberapa orang yang berkerumun di bahu jalan.
"Permisi! Permisi, Pak, Bu. Adik saya mana?" Ameera menyela orang-orang yang beralih melihatnya.
"Mbak kakak anak SMA tadi?"
"Iya, namanya Sami!" Ia agak linglung melihat sekitar, apalagi menemukan bercak darah dan sebelah sepatu yang tak asing.
"Baru saja dibawa ke rumah sakit, Mbak!"
"Iya, dibawa sama Mas yang pakai seragam pegawai tadi."
Mendengar itu Ameera langsung menghubungi Rayhan lagi, sambil lari menuju taksi yang masih menunggu.
"Duh, Han!" Ia berdecak panggilannya tidak diangkat.
"Tolong ke rumah sakit terdekat dari sini, Pak!" pinta Ameera panik setelah kembali duduk di kursi penumpang taksi.
"Di arah depan sana ada Rumah Sakit Keluarga, Mbak. Kita ke sana?"
"Ya, Pak. Iya!" Dengan jantung tak berhenti bertalu ia terus coba hubungi Rayhan.
"*Ra, ke rumah sakit Keluarga, ya*," ucap Rayhan terdengar gemetar saat menerima panggilannya.
"Iya. Ini lagi ke sana. Gimana Sami, Han? Dia baik-baik aja kan...?"
"*Alhamdulillah, doakan. Kamu langsung ke IGD*."
"Agak cepatan, Pak!" Usai menutup panggilan ponsel Ameera masukkan ke saku celana. Ia masih memakai pakaian rumah berupa setelan baju dan celana panjang. Tadi memang sudah mandi, tapi karena masih terlalu pagi ia belum bersiap berangkat ke restoran.
"Han! Gimana Sami, Han?" tanyanya penuh kecemasan tatkala melihat lelaki berseragam coklat muda di depan IGD.
"Lukanya lagi ditangani, Ra."
"Kita disuruh tunggu dulu di sini." Pria berjenggot tipis itu menahan lengan baju Ameera yang akan masuk.
"Kenapa nggak boleh lihat? Parah ya, Han?" Mata Ameera berkaca-kaca. "Ya Allah, semoga Sami baik-baik saja...."
"Aamiin. Insya Allah Sami baik-baik saja," ulang Rayhan menenangkannya.
Hati Ameera perih, di depan ruang IGD begini pernah ia rasakan dua tahun lalu, saat sang ayah dan Naja kecelakaan. Hari dimana ia melihat lelaki yang disayangi, meski kerap menjadikannya sasaran tinju itu terbujur kaku. Juga awal buruk bagi Naja, si ceria nan aktif menjadi sensitif dan mudah sedih karena cidera pinggang, dan harus kehilangan fungsi dua kakinya....
"Untunglah Doni telepon pas aku nggak jauh dari lokasi, Ra. Kalau nggak, kasian Sami."
Tadi Rayhan ditelepon Doni--sepupunya yang sering berangkat bersama Sami karena satu sekolahan--mengabarkan mereka dibegal di jalan. Rayhan spontan menghubungi Ameera sembari mencari jalan balik arah mobilnya.
"Kak." Doni mengangguk sopan saat bertemu Ameera di ruang tunggu, usai luka lecetnya dibersihkan. Ia lantas cerita bagaimana tas Sami ditarik oleh dua orang yang memepeti motornya dari sebelah kanan. Sami pertahankan tas berisi laptop itu sampai jatuh terseret berapa meter.
Motor Doni juga jatuh hingga akhirnya berhasil dibawa kabur komplotan 4 motor yang mengepung mereka.
"Mereka berdelapan orang, Kak, teriak-teriak sambil nodongin pistol sama piso," jelas Doni yang lari menjauh sesaat setelah motornya jatuh.
"Apa jalannya sepi sampai nggak ada yang nolong, Don?"
"Ada dua motor sama mobil, sih, Kak, tapi ga ada yang berani deket. Semua pada takut sama senjata mereka."
"Astaghfirullahhaladzim...." Ameera mengusap dada. Ngilu membayangkan jika sampai ada yang meletuskan senjata pada sang adik.
\*\*\*
"Saya minta maaf mendadak izin gini, Pak. Tadi saya kelupaan karena adek saya kena musibah." Keadaan Sami luka berat, dan sempat mendapat penanganan intensif membuat Ameera agak buntu berpikir. Sekarang jam 2 siang, usai Sami bisa masuk ruang rawat baru ia teringat belum izin tidak masuk kerja.
"*Saya tau kamu tidak butuh uang lagi, Ameera. Kalau mau keluar silakan, saya akan segera setujui*."
"Nggak, Pak Alan. Besok insyaallah saya bisa masuk."
Manajer Alan tidak mau mendengar banyak, langsung menutup panggilan setelah mengatakan lebih baik Ameera berhenti saja sebelum ia makin pusing.
Lelaki beranak dua itu memang tambah dingin saat nyaris pingsan di panggung resepsi malam itu. Syok melihat mempelai pengantin wanita adalah salah satu bawahannya. Dan, sepertinya di Perfecto Resto baru Alan yang tahu ia istri salah satu pelanggan royal restoran.
"Beb? Kamu di sini?" Siapa lagi yang memanggil demikian kalau bukan cowok gondrong itu.
Ameera menoleh pada lorong sisi taman, ia menelepon Alan barusan di luar sini, agar Sami yang tengah tidur tak terganggu.
"Kamu juga kenapa di sini, Jun?" tanyanya balik sembari melihat pada kertas yang dipegang pria berkaus warna kuning telur.
"Ini, nebus resep teman kerja aku yang dirawat di ruang Anggrek. Kamu ngantar Naja ya?"
Ameera menggeleng. "Sami, Jun, luka habis dibegal tadi pagi."
Juna terkejut dan minta melihat keadaan Sami. Dari detik itu, pemuda berperawakan agak kurus ini jadi lebih banyak ada di kamar Sami untuk menemani Ameera.
"Kamu kalau mau pulang istirahat pulanglah, Beb, biar aku jaga Sami."
"Kamu yang harusnya pulang, Juna. Aku nggak mau banyak ngerepotin."
Juna memegang botol air mineral, duduk di sebelah Ameera yang keluar ruang rawat karena tampak tak nyaman berduaan dengannya. Apalagi Sami kembali tidur.
"Minum?" Ia menawarkan minum melihat wajah lelah perempuan itu.
Ameera menggeleng.
"Jaga kesehatanmu, Beb. Kamu kelihatan capek."
"Juna tolong jangan manggil gitu. Aku istri orang."
Juna menipiskan bibir. "Mulut mulutku. Lihat saja siapa berani melarang."
Ameera mengembuskan napas berat. "Kamu libur hari ini?"
"Gak."
"Izin?"
Lagi, Juna menggedikkan bahu. "Aku sudah resign."
"Hah?" Mata Ameera membulat, dua detik menatap keseriusan wajah Juna.
Bukankah menjadi master chef di restoran besar seperti Gokana adalah cita-cita Juna sejak lama? Lalu kenapa berhenti?
"Aku mau buka usaha sendiri, Beb." Senyum getir mencuat di bibir Juna, seakan bisa menebak pertanyaan hati Ameera.
"Yang bisa kaya itu kan pengusaha kayak Ghazi Finn Cullen. Bukan karyawan kayak aku, iya kan?" Mata coklat lelaki asal Lampung itu menatapnya lekat, masih melanjutkan, "aku akan jadi pengusaha buat masa depan kita, Ra. Ga tau kenapa hati ini yakin aja pernikahan kalian cuman sementara. Cuma karena terikat kepentingan uang atau apalah. Sebentar lagi juga pisah."
Ameera terkejut atas kalimat penuh keyakinan Juna, tapi semakin terasa putus napasnya melihat ada seseorang berdiri di belakang Juna, melihat arah mereka.
*Di-dia? Kok ada di sini*...?
Mata Ameera tak berkedip. Otaknya blank sampai amat lambat loading berpikir.
Lelaki yang menutup hidung dengan saputangan biru itu Finn ataukah bukan? Sebab cuma matanya yang jelas kelihatan.
"Baby... lihat mataku. Aku serius nunggu kamu. Aku tunggu jandamu, Ameera Khansa." Juna menjatuhkan lutut di lantai, bergaya seakan melamarnya.
Astagaa!
Beberapa keluarga pasien lewat tampak menahan senyum karena kelakuan Juna.
"Uhuk! Uhukk! Uhukkk!" Ameera tersedak air liur saking terkejut melihat pria di belakang Juna menurunkan tangan dari wajah. Dia, Finn!
"Ra, kamu gak papa? Ayo, minum dulu." Juna lekas bangun, menepuk punggung Ameera pelan seraya memberi air.
"Kenapa tidak bilang adikmu masuk rumah sakit?" Suara berat itu menarik kepala Juna menoleh ke belakang.
Ameera merampas botol minum Juna, tenggorokannya butuh air menghentikan batuk yang membuat pangkal hidung dan matanya perih.
"Oh, hai. Gue Juna. Keka-"
"M-Mas, Mas, maaf, sa-saya lupa kabari Mas." Ameera berdiri cepat memegang lengan Finn. "Alhamdulillah Sami sudah ditangani, Mas, dia di dalam lagi tidur." Sulit sekali bagi Ameera berakting. Senyum lebarnya terbaca jelas tidak natural.
*Kamu gak bisa bohongi aku, Ra*, benak Juna dengan bibir tersenyum tipis.
"Juna, ini suamiku Mas Finn. Mas, ini Juna."
Dua pria itu bersalaman, meski mata mereka sama-sama beradu tajam. Satu tangan Finn kembali membekap hidung dan mulutnya dengan saputangan, terlihat sedang tidak nyaman.
"Mas mau lihat keadaan Sami? Ayo!" ajak Ameera cepat sembari menggamit lengan sang suami.
"Jun, kalau mau pulang nggak papa, ini sudah ada suami bersamaku. Ya kan, Mas?" Senyum Ameera setengah meringis mendapat tatapan dingin Finn.
"Hum, oke. Aku pergi dulu. Ingat jaga kesehatanmu, Beb. Jangan sampai sakit."
"Ayo, Mas, kita masuk!" Demi menghindari kata-kata lanjutan Juna ia sedikit menarik tangan Finn ke dalam ruangan.
"Oekk!!" Aroma obat dan antiseptik membuat Finn sangat mual. Tanpa pikir panjang ia lari ke kamar mandi.
"Oekk! Oekkk!!" Di dalam lebih parah, aroma karbol semakin menguras isi perut Finn.
Karena khawatir, Ameera minta suaminya diperiksa. Untunglah tidak apa-apa, Finn hanya diduga kurang fit, sementara disarankan istirahat dan perbanyak minum.
Akan melewati petugas cleaning servis sedang ngepel lantai koridor yang kotor, langkah Finn tertahan, perutnya kembali bergelombang. Meski hidung dan mulut sudah ia bekap dengan saputangan aroma karbol tetap menusuk.
"Mas mual lagi?"
Finn menggeleng sambil berbalik, menghindari aroma yang terasa menyengat dalam hidungnya.
"Kenapa, Mbak?" tanya wanita petugas kebersihan itu.
"Maaf ya, Bu, suami saya kayaknya mual cium bau karbol. Lagi kurang sehat."
"Mbaknya lagi hamil?"
Pertanyaan itu bagai lebah terbang menyengat jantung keduanya sekaligus.
"Soalnya dulu suami saya juga gitu waktu saya hamil muda, Mbak. Alhamdulillah suami yang ngidam, jadinya saya gampang makan, hee."
Pergerakan dunia sekitar seakan terhenti saat Finn memutar badan. Bersama embusan angin ia merasa ada geletar hangat begitu pandangannya jatuh tepat pada mata Ameera, yang juga tertegun melihatnya.
Tiga detik keduanya bertatap-tatapan.
Benarkah Ameera hamil anaknya?
Faktor terlalu sibuk, mereka berdua sama-sama lupa kalau sekarang usia pernikahan sudah dua bulan lebih. Keputusan kebersamaan ini berakhir ataukah lanjut tergantung dari hasil test kehamilan Ameera nanti.
... Mohon dukungannya ya teman-teman. Biar aku makin semangaat. Semoga kita semua sehat slalu, aamiin 🤲...
Skrang Lu sdar arti seorang Istri kan ?
Begitu jg Ameera, kapoookk
Untung aja saluran nafas lu masih Allah biarkan terpasang 🤦♀️🤦♀️🤦♀️
Lu bakalan ❤️ sm Ameera