Aura, gadis berusia 26 tahun yang selama hidupnya tidak pernah memahami arti cinta.
Karena permintaan keluarga, Aura menyetujui perjodohan dengan Jeno.
Akan tetapi, malam itu akad tak berlanjut, karena Aura yang tiba-tiba menghilang di malam pengantinnya.
Entah apa yang terjadi, hingga keesokan harinya Aura justru terbangun di sebuah kamar bersama Rayyan yang adalah anak dari ART di kediamannya.
"Aku akan bertanggung jawab," kata Rayyan lugas.
Aura berdecih. "Aku tidak butuh pertanggungjawaban darimu, anggap ini tidak pernah terjadi," pungkasnya.
"Lalu, bagaimana jika kamu hamil?"
Aura membeku, pemikirannya belum sampai kesana.
"Tidak akan hamil jika hanya melakukannya satu kali." Aura membuang muka, tak berani menatap netra Rayyan.
"Aku rasa nilai pelajaran biologimu pasti buruk," cibir Rayyan dengan senyum yang tertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Penjelasan
Dengan tergesa-gesa, seorang pria turun dari mobilnya. Karena rasa tak sabar, dia menekan bel secara berulang kali pada rumah yang tengah didatanginya.
"Mas Jeno?" Bi Dima keheranan melihat wajah pemuda itu yang memerah.
"Aura mana, Bi?" serobot Jeno langsung.
"Non Aura masih---"
"Ah, udahlah ..." Jeno yang sudah terbiasa di kediaman Aura sebab disana juga tempat bermainnya sejak kecil--mulai berderap untuk mencari keberadaan gadis itu.
Langkah Jeno terhenti di undakan tangga-- saat melihat gadis yang dicarinya sedang bergerak untuk turun ke arahnya.
"Jen?" Aura tampak sedikit terkejut dengan kedatangan Jeno hari ini. Sudah seminggu berlalu sejak acara pernikahan mereka berdua yang batal, dan ini adalah kedua kalinya Jeno mendatangi Aura kembali.
"Kamu mau ke luar negeri?" Jeno menggelengkan kepalanya tak percaya. "Kenapa, Ra?" tanyanya dengan tatapan pilu.
Hal ini pula yang membawa Jeno untuk cepat-cepat mendatangi Aura lagi, padahal dia masih mau memberi Aura waktu untuk menenangkan diri agar bisa memikirkan lanjutan pernikahan mereka yang hampir terjadi. Tapi, kabar mengenai Aura yang akan pergi-- mengusik ketenangan seorang Jeno Alvaro.
Aura berhenti tepat di depan Jeno setelah dia benar-benar menuruni beberapa anak tangga.
"Gak ada alasan." Gadis itu mencoba tersenyum. Aura tidak mau nampak lemah dihadapan lelaki yang hampir menjadi suaminya ini. "Aku udah bilang kan, kalau semua diantara kita berakhir dan gak usah menemui aku lagi."
"Gak gini caranya, Aura!" Jeno tampak menekankan. "Aku butuh penjelasan kamu. Apa yang udah terjadi? Kamu pergi dimalam pernikahan kita dan kamu membatalkan semuanya tanpa memikirkan perasaanku?" desaknya.
Aura menipiskan bibir, dia mencoba menanggapi Jeno dengan sikap tenang.
"Bisa kita duduk dulu? Aku akan menjelaskannya sama kamu."
"Fine." Jeno menurut. "Aku bakal denger apa alasan kamu sebenarnya, karena aku memang menunggu penjelasan kamu. Aku berhak tau hal itu!" tukasnya.
Mereka pun duduk di sofa ruang tengah dengan posisi berhadap-hadapan.
Aura menarik nafas dalam-dalam sebelum mengatakan yang sebenarnya pada Jeno. Dia juga memaklumi jika Jeno masih merasa hubungan mereka belum tuntas. Terang saja, Jeno memang belum mendengar penjelasannya bahkan tidak tau apa yang menimpanya.
"Sebelum aku memberitahu kamu apa alasan aku menghilang di malam itu, boleh aku tau lebih dulu kenapa kamu masih datang kesini dan menemuiku, Jen?"
"Tentu saja karena aku masih sangat berharap kita bisa memperbaiki semuanya, Ra." Jeno menyahut mantap.
Ada sorot keteguhan dimata Jeno, membuat perasaan Aura tak tega harus menyakiti Jeno kembali dengan kenyataan yang ada. Tapi, sekali lagi Aura meyakinkan jika Jeno memang berhak tau segalanya, kendati dengan begini sama dengan Aura sengaja membuka aib dan kekurangannya didepan pemuda itu.
"Gimana dengan keluarga kamu? Mereka gak akan mau nerima aku lagi, kan? Aku udah mendengar bagaimana marahnya Nenek kamu pada keluargaku karena hal ini. Aku maklum, aku gak menyalahkan mereka karena aku yang salah dengan tiba-tiba menghilang di acara itu."
Aura memang sempat mendengar Papa atau Mamanya menerima panggilan dari keluarga Jeno dan itu berupa kemarahan. Aura pun merasa bersalah, karena dirinyalah hubungan baik yang telah terjalin antara keluarganya dan keluarga pemuda itu menjadi berantakan.
"Aku gak peduli, Ra. Sama seperti mereka yang juga gak peduli sama aku. Mereka hanya memikirkan malu, tanpa memikirkan gimana perasaanku."
Aura masih diam dan tidak menyahuti ucapan Jeno.
"... satu hal yang harus kamu tau, aku mau semuanya kembali seperti semula. Aku bahkan bisa menerima semua alasan kamu yang pergi di malam itu. Aku ke sini, karena aku masih menunggu kamu, tapi kenapa kamu malah memutuskan untuk pergi?" Suara Jeno berubah frustrasi. Dia mendengkus kasar diujung kalimat, menunjukkan ketidaksukaannya atas keputusan Aura yang akan meninggalkan Indonesia setelah gagalnya pernikahan mereka.
"Oh, ya?" Aura tersenyum getir. "Apa kamu bakal tetap bersikukuh seperti ini jika kamu tau keadaan aku yang sebenarnya?" tanyanya.
Jeno mendelik kecil, belum mengerti kemana arah perkataan Aura, atau dia memang belum menangkap maksud dibalik ucapan gadis itu?
"... apa kamu juga bakal tetap gak peduli jika alasan aku yang tetap gak mau memperbaiki hubungan kita--karena aku yang udah gak sama lagi?" imbuhnya.
"Maksud kamu apa, Ra?"
"Kamu gak akan bisa menerima keadaan aku jika kamu tau yang sebenarnya, Jen."
"Sebenarnya?" Kedua alis Jeno terangkat, masih merasa perkataan Aura ambigu, dia mau mendengar penjelasan dengan sangat jelas meski sepertinya akan terasa lebih menyakitkan dari kejadian yang sudah-sudah.
"Kamu gak perlu menunggu aku lagi karena aku gak akan merubah keputusan untuk tetap pergi meninggalkan Indonesia," ujar Aura teguh.
Jeno bangkit dari duduknya, dengan sedikit menyentakkan tubuh. Dia menyorot dalam ke arah netra Aura yang tampak berair namun belum meneteskan air itu. Jeno tau Aura sedang berusaha menahan tangis sekarang.
"Kamu bilang sama aku apa dan dimana masalahnya? Kalau salah itu dari aku, aku bakal berusaha memperbaikinya. Sama seperti hubungan kita, semua ini masih bisa diperbaiki." Jeno tampak mengiba sekarang.
"Jangan ..." Aura menggeleng pelan, sesekali mengadah ke atas agar airmatanya tidak tumpah. "Semuanya udah gak bisa diperbaiki. Udah aku bilang kamu gak akan bisa menerima keadaanku karena aku udah gak sama lagi. Masalahnya ada di aku, bukan di kamu."
"Kita perbaiki apa yang salah dari kamu. Aku bisa menerima---"
"Aku udah gak suci!" serobot Aura langsung. "... aku udah ternoda. Aku udah kehilangan kehormatan. Apa kamu tetap mau menerima aku?" Aura menatap bergantian pada kedua bola mata Jeno.
Mendengar itu, mata Jeno langsung membulat sempurna. Dia sangat terkejut. Tidak, sepertinya ada yang salah disini? Ya, Jeno pasti salah dengar atau salah menafsirkan maksud perkataan Aura.
"Ra, maksud kamu--"
"Iya, benar, aku bukan seorang perawan lagi. Kamu mau menerima aku?" Aura tertawa sumbang, kini disertai dengan airmatanya yang tak bisa dibendung lagi, mengalir begitu saja.
"... meskipun kamu mau, tapi aku tetap gak bisa menerima pernikahan kita, Jen." Buru-buru Aura menyambung kalimatnya sebelum Jeno sempat menjawab.
Jeno membeku di tempatnya. Kenyataan yang baru disampaikan Aura sangat membuatnya terpukul. Ada yang terasa ngilu di dalam sana. Hatinya seperti dicengkram kencang.
"Jika kamu ragu aku bakal nerima kondisi kamu yang seperti itu, kenapa kamu gak menolak perjodohan ini dari awal?" tanya Jeno lesu sambil menatap lantai.
"Kalau aja ini terjadi jauh sebelum malam pernikahan kita, mungkin aku gak akan pernah mau membuka kehidupan untuk lelaki manapun termasuk kamu, Jen. Sayangnya ini terjadi di malam itu. Malam dimana harusnya aku mendengar ikrar suci dari mulut kamu."
Kali ini Jeno terperangah. Apa ini berarti malam saat Aura menghilang adalah malam dimana gadis ini terenggut kesuciannya?
"Sepertinya ada yang menjebak aku dan membuatku harus berakhir bersama laki-laki lain di malam itu. Agar aku gak pernah menikah sama kamu."
Dari sekian obrolannya dengan Aura hari ini, kenyataan yang baru saja Aura lontarkan lah yang paling menyakitkan bagi Jeno. Dalam kata lain, Aura kehilangan segalanya bukan karena keinginan gadis itu sendiri-- melainkan ada orang lain yang merencanakannya dan ada yang merenggutnya secara paksa. Itu artinya Aura tak pernah berniat meninggalkan acara pernikahan mereka seperti yang selama ini dia dan keluarganya tuduhkan.
Jika ditanyakan siapa yang paling sakit hati disini, jawabannya adalah Jeno. Tapi, jika kembali mempertanyakan siapa yang paling hancur, tentu saja itu adalah Aura. Jeno mendadak tersengal dengan kenyataan yang baru saja Aura sampaikan padanya.
"Siapa yang menjebak kamu, Ra?" tanyanya dengan suara tercekat, nyaris seperti berbisik.
"Aku enggak tau."
Jeno terdiam, tampak mencerna situasinya.
"Lalu siapa laki-laki itu?" Kali ini intonasi suara Jeno sedikit meroket naik ada geraman disana.
"Rayyan."
...Bersambung ......
Tinggalkan komentarnya ya kalau mau di lanjut,🙏