Sebuah permintaan mengejutkan dari Maria, mama Paramitha yang sedang sakit untuk menikahi Elang, kakak kandungnya yang tinggal di London membuat keduanya menjerit histeris. Bagaimana bisa seorang ibu menyuruh sesama saudara untuk menikah? padahal ini bukan jaman nabi Adam dan Hawa yang terpaksa menikahkan anak-anak kandung mereka karena tidak ada jodoh yang lain. Apa yang bisa kakak beradik itu dilakukan jika Abimanyu, sang papa juga mendukung penuh kemauan istrinya? Siapa juga yang harus dipercaya oleh Mitha tentang statusnya? kedua orang tuanya ataukah Elang yang selalu mengatakan jika dirinya adalah anak haram.
Mampukah Elang dan Mitha bertahan dalam pernikahan untuk mewujudkan bayangan dan angan-angan kedua orang tuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sushanty areta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zahra
"Sabar ya Mith." hibur Bian saat melihat Mitha berusaha menghapus air mata yang turun satu-satu dipipi putihnya. Ada rasa iba dihatinya. Ini adalah pertama kalinya Bian melihat Mitha menangis. Bertahun-tahun bekerja pada Abi, tak pernah sekalipun dia melihat gadis periang dan baik hati itu bersedih hingga menangis seperti sekarang. Elang...dia sudah sangat keterlaluan..
"Kak, bisa antar aku ke rumah kost sahabatku?" Akhirnya suara lembut itu keluar juga dari bibirnya yang jelas masih terlihat bergetar.
"Tentu saja. Siapa? engg...dimana alamatnya? Bian mungkin terlalu sibuk memindai wajah cantik disampingnya hingga setengah terkejut saat tiba-tiba gadis itu mengucapkan sesuatu.
"Beberapa belokan ke depan. Jalan Antasari."
"Mau ngapain kesana?" tanya Bian tidak mengerti.
"Aku akan kost disana untuk sementara kak. Tempat itu dekat dengan tempatku bekerja. Aku tidak mungkin tinggal bersama dengan kak Bian kan?"
"Tapi pak Abi menyuruhku menjaga dan membawamu." seketika Bian meminggirkan kendaraannya, pembicaraan ini sudah dia anggap serius karena menyangkut perintah atasan sekaligus ayah angkat baginya. Ya, Bian sudah dianggap anak oleh keluarga Abimanyu karena dia adalah putra sahabat Abi yang tinggal di Surabaya. Selama Bian kuliah, mereka memang menitipkan Bian kepada Abi yang juga mengajarinya berbisnis. Bian yang pintar, rajin dan penurut menyita perhatian Abi yang langsung memberinya kedudukan sebagai sekretaris utama dikantornya bahkan saat dia belum diwisuda.
"Menjagaku bukan berarti kita tinggal seatap kan kak? Apalagi aku sudah menikah. Membawakupun bukan solusi terbaik karena itu hanya akan memperparah keadaan." Ujar Mitha halus seraya menatap lurus kedepan. Lama Bian berpikir dan menimbang hingga dia mengangguk setuju.
Melepas Mitha sendirian tentu bukan hal sulit baginya. Dia sudah sangat mengenal Mitha luar dalam. Gadis itu sangat ulet dan mandiri walau merupakan putri Abimanyu yang kaya raya. Dia juga sudah pandai menjaga diri karena terlatih sejak kecil. Maria adalah pemegang sabuk hitam karate yang selalu telaten mengantar jemput putri kecilnya ke tempat latihan tiap harinya.
"Kau benar. Hubungi kakak jika ada apa-apa." putus Bian kemudian dan diangguki cepat oleh Mitha. Separuh bebannya sudah hilang karena tak jadi tingga berdua saja di apartemen Bian.
Mobil melaju kembali dan beberapa menit kemudian mereka sudah sampai pada deretan rumah petak kecil yang merupakan tempat kost yang terbilang luas, lengkap dengan lahan parkirnya. Mitha turun diikuti oleh Bian. Dia menghampiri pintu rumah pertama dan mengetuknya. Seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih membukakan pintunya.
"Mitha???"
"Ya, boleh kami masuk Ra?" dan si gadis yang masih memegang daun pintu itu beringsut mundur dan membuka lebar pintunya.
"Masuklah." katanya ramah.
Rumah kost Zahra memang tidak besar. Ada ruang tamu kecil yang hanya dibentangi karepet tebal, satu kamar yang lumayan luas, dapur beserta kamar mandi dibelakangnya. Walau kecil tapi rumah itu terlihat bersih, rapi dan wangi. Maklum, Zahra adalah perawat yang bekerja dirumah sakit ternama dikota mereka.
"Kalian....."
"Kenalkan, ini kak Bian, sekretaris papaku. Kak, ini Zahra sahabatku." kata Mitha memperkenalkan mereka. Zahra meraih tangan Bian dan menjabat tangannya hangat.
"Ra, apa disini ada kamar kosong?"
"kamar? untuk apa?" tanya Zahra masih bingung dalam pikiran dan praduganya.
"Aku butuh tempat tinggal sementara." lirih Mitha masih berusaha mencari alasan untuk menjelaskan pada Zahra.
"Kau...orang tuamu atau...suamimu?" Zahra masih menduga-duga.
"Ini tidak seperti yang kau pikirkan nona Zahra. Non Mitha hanya akan tinggal sementara karena ada masalah keluarga." kali ini Bian yang memotong pembicaraan kaku diantara mereka.
"Tapi pak, Mitha sudah bersuami. Saya takut nanti suaminya marah."
"Justru suami dan papanya yang menyuruh non Mitha pergi sementara dari rumah."
"Lebih tepatnya aku diusir suamiku Ra." dan air mata itu kembali berjatuhan, membuat Zahra iba dan memeluk tubuh mungil itu erat. Ya, Zahra memang dua tahun lebih tua dari Mitha. Mereka bersahabat sejak beberapa tahun lalu saat Mitha dan dirinya bekerja paruh waktu disebuah toko kue, tempat Mitha bekerja hingga sekarang. Terbata, Mitha menceritakan semua yang terjadi padanya. Zahra mendengarkannya dalam diam, sama seperti Bian yang juga memilih bungkam. Kali ini dia sungguh tak ingin ikut menceritakan atau menambah satu patah katapun disana.
"Boleh aku memberi saran?" Zahra berlaha melepas pelukannya dan duduk bersila ditempatnya.
"Ya."
"Sebaiknya kamu tinggal disini saja Mith. Aku selalu dapat shift malam lalu pulang pagi sebulan ini. Hanya minggu saja aku ada dirumah. Dikamarku juga ada dua kasur, jika kau mau kita bisa berbagi tempat."
"Aku tidak mau merepotkanmu Ra." Sebenarnya Mitha sungkan datang-datang langsung membawa masalah ke tempat orang. Tapi sungguh dia butuh bantuan Zahra kali ini.
"Merepotkan apanya? bahkan aku lebih sering merepotkamu diakhir bulan."
"Itu dulu. Sekarang kau bukan mahsiswi lagi. Sudah kerja mapan." timpal Mitha. Zahra memang sering meminjam uang padanya saat belum lulus dulu. Orang tuanya di kampung memang sedang dalam kesulitan keuangan saat itu. Mitha yang memang anak orang kaya selalu meminjamkan gajinya karena seluruh kebutuhannya sudah ditanggung papa mamanya. Dari sanalah mereka kemudian kenal dekat dan saling berbagi.
"Sudahlah Mith, yang penting kamu tenang dulu. Nanti terserah kamu mau bagaimana. Kalau kau benar-benar tidak nyaman, kamar sebelahku kosong kok. Barusan mbaknya pulang kampung karena menikah."
"Kalau begitu aku tempati yang itu saja Ra. Tolong ya...antar aku ke pemiliknya." Sejenak Zahra menatap Bian yang memberi kode agar dia mengiyakan permintaan sang nona.
"Baik. ayo kita kesana." Zahra berdiri lebih dulu dan mengajak Mitha menyeberang jalan. Rupanya itu rumah sang pemilik kost. Bian yang ditinggal sendiri memutuskan pergi ke post satpam yang ada tak jauh dari kamar Zahra dan ngobrol disana.
Tak sulit bagi Zahra dan Mitha untuk meminta ijin tinggal. Selain karena mereka kenal baik dengan Zahra, Mitha juga membayar dimuka uang sewanya selama dua bulan. Untung saja dia tak lupa membawa tas selempangnya kemana-mana.
"Bagaimana?" tanya Bian begitu mereka sampai didepan pos satpam tempatnya ngobrol.
"Alhamdulilah boleh kak." sorak Mitha senang. Spontan dia menarik lengan Zahra dan Bian agar mengantarnya ke kamarnya.
Ruangan yang sama persis seperti milik Zahra. Bedanya belum ada apa-apa disana selain tempat tidur plus kasur dan sebuah lemari kecil. Tapi tak apalah, yang penting dia dapat tempat tinggal sementara ini.
"Mith, rasanya kau butuh beberapa barang." Kata Bian setelah melihat kondisi rumah yang kosong melompong itu.
"Tidak kak, aku hanya butuh beberapa saja. Bisa kak Bian ambilkan buku-buku dan beberapa bajuku dirumah? Aku sudah telepon bi Ijah agar menyiapkannya. Sementara itu biar Zahra mengantarku berbelanja."
"hmmm baiklah, aku akan segera kembali." ujar Bian lalu berpamitan pulang ke kediaman Abimanyu.