Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbongkar
Amara segera menyodorkan gelas itu pada Miranda. Namun karena Miranda terlalu fokus pada ponsel, gadis itu tak menyadari jika gelas yang berisi penuh air putih itu berada tepat di depannya. Dengan tanpa melihat, Miranda yang berniat menerima gelas itu justru malah menepisnya.
Tentu saja gelas yang bergoyang itu menumpahkan isi di dalamnya. Bahkan air itu mengucur tepat di baju Miranda dan membuat pakaian gadis angkuh itu basah seketika.
Amara terhenyak dengan bola mata membulat sempurna. Ia sadar telah melakukan kesalahan meski tanpa disengaja. Bayangan mengerikan akan penyiksaan terhadapnya langsung hinggap di kepala, hingga ia berpikir untuk cepat-cepat meminta maaf sebelum hal itu benar-benar terjadi kepadanya.
"M-maaf Mira," Amara berucap terbata sambil meletakkan gelas itu di meja. "Aku tak sengaja melakukannya," lanjutnya. Gadis berkulit putih itu buru-buru mengambil tisu dan menyapukan pada baju Miranda yang basah.
Seperti yang sudah Amara duga, Miranda benar-brenar melampiaskan kemarahannya dengan menyakiti Amara. Gadis berpipi tembam itu bangkit dan menjambak rambut Amara dengan kuat, hingga membuat kepala Amara mendongak akibat tarikannya.
Amara memekik dan meringis akibat nyeri pada kulit kepalanya akibat jambakan sang sepupu. Namun Amara tak berani melawan sebab ia tak berdaya menghadapi putri dari sang paman yang telah tulus menampung dan merawatnya.
Tak bisa menyuarakan perasaan, Amara hanya meluapkan kepedihan dengan buliran air mata yang meleleh dan membasahi pipinya. Gadis itu terisak dalam diam tanpa berani untuk melawan.
"Dasar yatim piatu tak tahu diri! Mati saja kau sekalian! Susul Ibu dan Ayahmu ke surga!" bentak Miranda keras dan hampir-hampir membuat Juan yang menyaksikan dalam persembunyian itu melompat untuk menghajarnya. Namun sayang, karena masih dihinggapi rasa penasaran, Juan berusaha keras untuk menahan.
"Kau benar-brenar menjijikkan, Amara," lanjut Miranda lagi. "Hidup cuma numpang, tapi gaya selangit sudah seperti seorang jutawan. Apa kau tahu kau hanya menyusahkan orang saja! Apa kau sadar jika dirimu yang hina ini telah menjadi beban hidup keluarga kami!" Miranda mengumpat penuh kemarahan. Bahkan ia semakin menguatkan tarikannya pada rambut Amara.
"Ampun Mira, lepaskan rambutku ...." Amara mengiba sembari berusaha menarik rambutnya.
"Diam! Atau kau mau aku potong rambutmu ini pendek sekalian! Biar saja orang pikir kalau kau itu laki-laki!" Miranda langsung terbahak saat membayangkan sesuatu yang menggelikan di kepalanya. "Oh, atau kalau perlu, kugunduli saja kepalamu yang tidak ada otaknya ini!"
"Jangan Mira, ampun ,,," Amara menggeleng cepat memohon dengan sangat. Tangisnya makin tersedu saat membayangkan jika sampai Miranda benar-brenar melakukan apa yang ia katakan. Rambut adalah mahkota wanita, lalu apa jadinya jika mahkota indah itu lenyap dari kepalanya.
Tak kunjung dilepaskan, Amara berinisiatif menarik rambut panjangnya sekuat tenaga. Tanpa sengaja, kukunya yang panjang mencakar lengan Miranda hingga mengakibatkan goresan. Gadis itu memekik perih hingga Miranda melepaskan cengkeramannya.
"Owh, tanganku!" Miranda berteriak histeris sambil mengusap lengan yang membekas cakaran Amara. Gadis itu merintih. Bahkan menangis akibat rasa perih oleh lukanya.
"Dasar anak tidak tahu diri! Pembawa sial!" maki Miranda sambil melayangkan pukulannya ke tubuh Amara hingga ia lelah.
Namun lagi-lagi Amara hanya diam dan pasrah menjadi bulan-bulanan kemarahan Miranda. Entah apa dosanya hingga sang sepupu begitu membenci dia. Apa karena tidak memiliki orang tua membuatnya dianggap sebagai beban dan biang masalah? Tapi bukankah menjadi yatim piatu itu bukanlah sebuah pilihan? Andai saja bisa memilih dan meminta, tentu Amara tak ingin secepat ini kehilangan orang tuanya.
"Kau sudah merebut semuanya dariku! Kasih sayang orang tuaku! Teman-temanku! Bahkan gebetanku!" lanjut Miranda meluapkan segala isi hatinya, seolah makian dan hinaan tadi belum cukup memuaskan hatinya. "Dan sekarang kau berani melukaiku!" Air mata Miranda pun tumpah ruah tak terbendung.
Amara yang semula menunduk sambil sesenggukan memberanikan diri mengangkat pandangannya. Ditatapnya Miranda dengan ekspresi tak terima. "Tapi semuanya sudah kembali padamu, bukan! Aku bahkan tidak memiliki satupun teman di sekolah, Mira."
"Bohong!"
"Tidak!"
"Aku tahu selama ini kau bahkan masih berhubungan dengan Juan!"
"Tapi bukan aku yang mendekatinya!" teriak Amara untuk meyakinkan. Amara menatap Miranda yang masih geram sambil menyeka air matanya. Ia beringsut mendekati sang sepupu sebelum kemudian memegang tangannya seperti memohon. "Mir, percayalah padaku. Aku sudah berusaha menjauhi Juan dengan berbagai cara. Aku sudah melakukan apapun yang kau katakan termasuk memperburuk citraku di sekolah. Kau bahkan lihat sendiri seperti apa buruknya nilai ulanganku sekarang."
"Apa kau pikir aku sudah puas, hah?!" bentak Miranda sembari mendorong tubuh Amara hingga tersungkur ke belakang. "Sampai kapanpun aku tidak akan puas selama kau masih berada di rumah ini. Lihat ini!" Miranda menunjukkan tangannya yang membekas goresan berwarna merah.
Seketika Amara tersentak, seolah telah membaca pikiran sepupunya.
Miranda tersenyum penuh kemenangan lalu bangkit dari duduknya. "Akan kuadukan kau pada orang tuaku! Biar sekalian kau diusir dan hidup menjadi gelandangan di pinggir jalan!" ancamnya kemudian, lalu bergerak melangkahkan kakinya menuju pintu hendak keluar.
Namun langkahnya terhenti saat melihat Juan tengah berdiri di ambang pintu dan menatapnya dengan sorot mata tajam.
Tubuh Miranda seperti terpaku dengan bola mata membulat sempurna. Bibirnya gemetar dan menatap Juan penuh ketakutan. "Ss-sejak kapan kau disini?" tanyanya dengan suara terbata. Ia benar-benar tak menyangka jika juan berada di sana dan menyaksikan semuanya.
Juan tidak menjawab. Namun tatapan sinisnya sudah cukup membuat Miranda tau kalau dirinya telah mendengar dan melihat semua yang terjadi barusan.
Sudah kepalang tanggung, gadis itu membalas tatapan Juan tak kalah sinis. Kemudian berlalu begitu saja meninggalkan tempat itu.
Juan segera melangkah mendekati Amara yang sudah dalam posisi berdiri.
"Kamu terluka?" tanya Juan khawatir sembari mengamati tubuh Amara dengan seksama.
"Aku tak apa." balas Amara sambil tersenyum, seolah meyakinkan jika memang ia baik-baik saja. "Sejak kapan kau datang?" tanyanya kemudian.
"Sejak tadi," jawab Juan singkat.
Amara tertunduk lesu. Semua usaha yang dengan susah payah ia lakukan kini sia-sia. Juan pasti sudah tau rahasianya.
"Kenapa kaulakukan itu, Mara?!" Desak Juan sembari mencengkeram bahu Amara membuat gadis itu sontak menatapnya. "Kau bisa saja menipu orang lain. Bahkan semua orang di dunia ini, tapi tidak denganku!
"Kamu bicara apa sih, Juan, aku nggak ngerti!" kelit Amara sambil menepis tangan Juan.
"Kau mengikuti semua kemauan Miranda dan kau malah merusak citramu sendiri!"
"Aku sendiri yang mau melakukannya! Kau tak perlu ikut campur!" bantah Amara tegas. "Sekarang lebih baik kau pulang! Ini urusanku, dan bukan urusanmu!" penolakan tegas yang Amara tunjukkan itu membuat Juan tak bisa berbuat apa-apa.
Gadis keras kepala itu benar-benar tak membutuhkan bantuan siapapun untuk menyelesaikan masalahnya.
Juan hanya bisa melindungi Amara saat gadis itu berada di sampingnya saja. Juan tak bisa masuk lebih jauh kedalam kehidupan pribadinya.
Namun seiring berjalannya waktu, hidup Amara semakin terlihat lebih baik. Ia kembali pada dirinya yang asli. Pintar, baik, ceria dan sangat peduli pada lingkungan sekitarnya. Ia bahkan berhasil masuk sekolah keperawatan dengan bea siswa. Sehingga ia tak perlu lagi memberatkan paman dan bibinya.
"Kalau tidak cukup hanya dengan maaf, lalu kau mau apa?" pertanyaan Amara membuyarkan lamunan Juan. "Kenapa malah bengong? Kau melamun, ya?" tebak Amara seraya menyipitkan mata.
"Tidak!" bantah Juan cepat, tangannya kemudian menyuapkan bakso ke mulutnya.
"Kau pasti sedang memikirkan kekasihmu," Amara menebak sok tau. Gadis berjilbab itu lantas menengadahkan kepalanya seperti sedang menerawang. "Andai saja ada lelaki yang juga sedang memikirkanku," gumamnya pelan lalu bertopang dagu seperti sedang berangan.
Juan tersenyum lalu menggerakkan tangannya meraup wajah Amara. "Jangan menghayal yang tidak-tidak."
Amara melempar pandangan kearah Juan sambil mencebik kesal. "Ish, aku memikirkan yang iya-iya, kok," protesnya sembari membetulkan puncak jilbab yang sempat berantakan oleh ulah Juan.
"Juan, kau tahu tidak?"
"Tidak."
"Ih ,,, aku belum selesai bicara!" protes Amara kesal. Ia mencebik, lalu kemudian tersenyum. "Hari ini aku mendapat pasien kecelakaan seorang pria. Dia sedang koma sekarang. Tapi anehnya, dia menggenggam tanganku sangat erat, hingga sulit kulepaskan. Kau tahu bagaimana caraku membuatnya melepaskanku?"
"Bagaimana?" Juan akhirnya bertanya walaupun dengan nada acuh.
"Menciumnya."
"Apa!"
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨