Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MANSION VANCE
Malam menjatuhkan kota dalam cahaya lampu yang pucat.
Apartemen itu sunyi, hanya detak jam dinding yang terdengar terlalu keras.
Shima berdiri di ruang tengah ketika pintu terbuka.
Arya masuk, jas masih melekat di bahunya, wajahnya lelah tapi rapi seperti pria yang tidak membawa rasa bersalah pulang.
“Kita perlu bicara,” kata Shima lebih dulu.
Arya menutup pintu, melepas sepatunya perlahan.
“Sekarang? Aku capek.”
“Justru karena itu,” jawab Shima. “Karena aku juga capek.”
Arya menoleh, alisnya sedikit berkerut. “Kamu mulai lagi.”
Shima menarik napas.
“Aku cuma mau tahu… aku kurang apa, Arya?”
Sunyi sejenak.
Lampu ruang tengah memantulkan bayangan mereka yang berdiri berjauhan.
“Aku kerja. Aku rawat pasien. Aku bangun hidup kita,” ucap Shima pelan, suaranya bergetar tipis.
“Aku istrimu. Tapi kenapa rasanya aku sendirian?”
Arya menghela napas panjang, duduk di sofa.
“Kamu berubah, Shima.”
Kalimat itu jatuh dingin.
“Berubah karena tanggung jawab?” tanya Shima. “Atau karena aku tidak lagi punya waktu untuk memanjakan egomu?”
Arya bangkit berdiri. Nada suaranya tetap rendah, tapi tajam.
“Kamu terlalu sibuk untuk melihatku. Aku hanya manusia.”
“Manusia yang selingkuh?” Shima menatapnya lurus.
Arya tersenyum tipis bukan menyesal, melainkan defensif.
“Kamu selalu melihat semuanya terlalu hitam-putih.”
Gaslighting itu lembut. Nyaris tak terasa.
“Jadi ini salahku?” tanya Shima.
“Kamu tidak hadir,” jawab Arya datar. “Aku kesepian.”
Shima tertawa pendek, pahit.
“Kesepian bukan alasan untuk mengkhianati.”
Ia menguatkan diri, lalu berkata,
“Keluar.”
Arya terdiam sesaat. Lalu tertawa kecil.
“Kamu lupa siapa pemilik tempat ini?”
Kata-katanya membuat dada Shima runtuh perlahan.
“Apartemen ini. Mobil. Rekening,” ucap Arya tenang, satu per satu.
“Atas namaku.”
Lampu di atas kepala terasa terlalu terang.
“Kalau ada yang harus pergi malam ini,” lanjut Arya, mendekat.
“Bukan aku.”
Shima mengangguk pelan.
Bukan karena menerima tapi karena akhirnya mengerti.
“Baik,” katanya lirih.
“Terima kasih sudah menjelaskannya.”
Ia berbalik menuju kamar, menarik koper dari bawah ranjang.
Arya berdiri mematung di ruang tengah.
Untuk pertama kalinya, kemenangan terasa dingin dan sunyi. Begitu pintu tertutup ia berjalan keluar, memasuki lift dengan semua pertanyaan dipikirannya kekuatan yang ia paksakan sejak hotel runtuh seketika. Tasnya terjatuh, sepatunya bahkan belum sempat dilepas ketika lututnya melemah.
Tubuhnya melorot ke lantai.
Pandangan Shima mengabur. Suara di sekitarnya menjauh, seperti tenggelam ke dalam air. Kepalanya berdengung, dadanya terasa sesak, dan dunia berputar pelan sebelum gelap menelan kesadarannya.
Ia pingsan.
Beberapa waktu kemudian, di bawah apartemen Shima, mobil Arru berhenti perlahan. Ethan turun lebih dulu.
Ketika mereka menemukan Shima tak sadarkan diri, Arru hanya perlu satu pandangan untuk mengambil keputusan.
“Bawa dia,” katanya pendek.
Ethan sempat ragu. “Ke rumah sakit?”
Arru menggeleng. “Tidak.”
Ia menatap wajah Shima yang pucat, napasnya lemah tapi stabil.
“Menurut datanya, apartemen ini bukan miliknya.”
Ethan terdiam. Ia tahu itu.
Semua aset rumah, mobil, rekening atas nama Arya.
Meski Shima yang membeli.
Meski Shima yang bekerja lebih keras.
Kuasa tetap bukan di tangannya.
“Kalau Arya datang…” Ethan mulai.
“Dia tidak akan datang,” potong jelas Arru. “Bukan malam ini.”
Arru membuka pintu mobil belakang.
“Bawa dia ke mansion.”
Ethan mengangguk, tak lagi bertanya.
Mobil itu melaju meninggalkan apartemen Shima meninggalkan seorang istri yang kehilangan segalanya, dan tanpa ia sadari, sedang melangkah masuk ke fase hidup yang jauh lebih berbahaya… dan menentukan.
Lampu ruang kerja memantulkan bayangan Arru di dinding tegak, tenang, tanpa keraguan.
Ia meletakkan gelas kristal di meja, lalu menoleh pada Ethan.
“Siapkan perjanjiannya.”
Ethan mengangkat kepala.
“Sekarang?”
“Ya.”
Nada Arru datar. Bukan perintah keras, tapi tidak memberi ruang bantahan.
Ethan menghela napas pelan.
“Bukankah ini terlalu cepat, Ru? Dia bahkan belum sadar.”
Arru berjalan mendekati jendela besar yang menghadap taman. Tirai terbuka, menampakkan lampu-lampu yang teratur sempurna seperti hidup yang selalu ia kendalikan.
“Justru karena itu,” jawab Arru.
“Dia sedang runtuh. Dan saat seseorang runtuh, dunia tidak menunggu.”
Ethan terdiam.
Arru berbalik, menatapnya tajam.
“Kalau aku menunggu, Arya akan bergerak lebih dulu. Dia akan menghapus jejak, memutar cerita, dan menjadikan Shima pihak yang salah.”
“Dan perjanjian ini?” tanya Ethan pelan.
Arru duduk di kursinya, menyilangkan jemari.
“Perlindungan. Kendali. Dan keuntungan untukku.”
Ethan mengernyit.
“Kamu akan mengikatnya seumur hidup?”
“Tidak,” jawab Arru singkat.
“Untuk sementara.”
Ia mengetuk meja sekali.
“Cantumkan klausul kerahasiaan mutlak. Tidak boleh bocor ke media. Tidak ke rumah sakit. Tidak ke Arya, hanya untuk kontrak tapi pernikahannya akan di resmikan di depan publik.”
“Dan statusnya?”
“Istriku,” kata Arru tanpa jeda.
Kata itu jatuh berat dan final.
Ethan menghela napas, lalu membuka tabletnya.
“Kontrak pernikahan, tanpa cinta, tanpa klaim emosional.”
“Tambahkan,” lanjut Arru, “hak penuh atas aset baru atas nama Shima. Bukan pinjaman. Bukan belas kasihan.”
Ethan menoleh cepat.
“Kamu serius?”
“Dia sudah kehilangan semuanya,” ucap Arru tenang.
“Aku tidak akan membuatnya merasa berhutang.”
Hening sejenak.
Lalu Ethan mengangguk.
“Baik. Aku siapkan sebelum pagi.”
Arru berdiri.
“Lebih cepat lebih baik.”
Di lantai atas, Shima masih belum sadar.
Sementara di bawah, hidupnya sudah mulai ditulis ulang dalam bahasa hukum, kekuasaan,
dan satu keputusan dingin yang tidak bisa ditarik kembali.
***
Malam di apartemen itu kembali sunyi.
Arya berdiri di kamar tidur kamar yang selama ini disebut rumah. Ia membuka ponsel, menekan satu nama tanpa ragu.
Laura.
“Dia pergi,” katanya singkat begitu sambungan tersambung.
Di ujung sana, jeda sepersekian detik.
“Pergi ke mana?” tanya Laura, suaranya dibuat biasa.
“Keluar,” jawab Arya. “Aku bilang ini aset atasku. Dia tidak punya hak apa pun.”
Tidak ada penyesalan di nadanya. Tidak juga keraguan.
Laura tertawa kecil. “Akhirnya.”
Beberapa waktu kemudian, pintu apartemen terbuka lagi.
Laura masuk tanpa canggung, seolah sudah berkali-kali berada di sana. Tatapannya menyapu ruang tengah bingkai foto pernikahan di dinding, vas bunga yang belum layu, jejak hidup Shima yang masih tertinggal.
“Dia tidak akan kembali,” kata Arya, menutup pintu.
Laura melangkah mendekat, menyentuh lengannya. “Kamu yakin?”
Arya mengangguk. “Aku sudah memilih.”
Mereka masuk ke kamar.
Lampu dinyalakan. Ranjang itu masih rapi terlalu rapi untuk sebuah perpisahan yang baru saja terjadi. Laura membuka lemari, jari-jarinya berhenti pada gaun-gaun yang tersusun rapi.
“Aku pinjam,” katanya ringan.
Ia mengambil satu baju tidur milik Shima. Bahannya lembut, warnanya pucat. Laura memakainya tanpa ragu, seolah tidak ada batas yang perlu dihormati.
Arya memperhatikannya. Tidak ada rasa bersalah di matanya. Hanya kepastian.
“Ini aneh,” gumam Laura setengah bercanda.
“Tidak,” jawab Arya. “Ini akhirnya jujur.”
Lampu dipadamkan.
Malam menutup kamar itu rapat-rapat
ranjang yang sama,
ruang yang sama,
namun dengan kebenaran yang akhirnya tidak lagi disembunyikan.
Di tempat lain, Shima bahkan belum tahu
bahwa rumah yang ia bangun dengan tangannya sendiri sudah sepenuhnya diambil alih.
***
Cahaya pagi menyelinap masuk melalui tirai tipis.
Shima membuka mata perlahan.
Langit-langit di atasnya asing terlalu tinggi, terlalu bersih. Seprai yang menyentuh kulitnya lembut dan rapi, bukan miliknya. Aroma ruangan pun berbeda. Netral. Tenang. Terlalu tenang.
Ia bangkit setengah duduk, kepala masih terasa berat. Ingatannya terpotong-potong parkiran, gelap, lengan kuat, lalu kosong.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
Seorang wanita paruh baya masuk dengan senyum hangat. Seragamnya rapi, sikapnya tenang.
“Selamat pagi, Nona,” ucapnya sopan. “Saya kepala maid di rumah ini. Sarapan sudah disiapkan.”
Ia meletakkan nampan di meja kecil. Teh hangat, roti panggang, dan sup ringan disusun dengan perhatian.
Shima menelan ludah.
“Terima kasih,” jawabnya lirih.
Belum sempat ia bertanya apa pun, langkah kaki terdengar dari luar.
Pintu kembali terbuka.
bikin mereka yg menyakiti melongo.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.