"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Cengkeraman bulu hitam
Baskara merasakan sebuah tangan besar yang sangat berbulu mulai mencengkeram pundaknya dari arah belakang dengan kekuatan yang sangat luar biasa kencang. Kuku-kuku yang panjang dan runcing menembus kain seragam tim SAR miliknya hingga menggores kulit bahunya dan mengeluarkan aroma darah segar yang memicu desisan lapar.
Ia mencoba memutar tubuhnya namun lehernya seolah terkunci oleh hawa dingin yang sangat mencekam hingga ia sulit untuk sekadar menelan ludah. Bau busuk seperti tumpukan bangkai monyet yang dibiarkan kehujanan selama berbulan-bulan menyeruak masuk ke dalam hidungnya secara terus-menerus.
Mahluk itu menarik pundak Baskara hingga tubuhnya terangkat dari atas jalan pasir putih dan kakinya melayang-layang di udara yang hampa. Baskara melihat bayangan hitam raksasa menutupi seluruh pandangan matanya sementara suara geraman rendah terdengar tepat di belakang lubang telinganya yang mulai berdenging.
"Siapa kamu? Lepaskan aku atau belati perak ini akan menghujam jantungmu sekarang juga!" ancam Baskara dengan suara yang tertahan di tenggorokan.
Mahluk itu tidak menggubris ancaman Baskara dan justru membanting tubuhnya ke arah gundukan tanah yang dipenuhi oleh akar gantung yang bergerak-gerak. Baskara jatuh tersungkur dengan wajah menghantam tanah yang lembap dan berasa amis seperti lidah raksasa yang sedang mencicipi mangsanya.
"Ancamanmu hanya terdengar seperti kicauan burung yang sedang menunggu ajal di mulut ular," ucap sebuah suara yang berat dan bergetar dari kegelapan hutan.
Baskara segera bangkit dan mengarahkan cahaya lampu senter di bahunya ke arah sumber suara tersebut dengan tangan yang bergetar hebat. Di depannya berdiri sesosok mahluk dengan tinggi hampir tiga meter yang seluruh tubuhnya ditutupi oleh bulu hitam legam yang sangat lebat secara merata.
Wajah mahluk itu menyerupai gabungan antara wajah manusia dan wajah kera namun matanya bersinar merah seperti bara api yang sedang ditiup angin malam. Mahluk itu memegang sebuah kapak besar yang terbuat dari batu hitam yang masih menyisakan serpihan daging manusia yang mulai membusuk.
"Apakah kamu penjaga lembah yang penuh dengan tengkorak manusia ini?" tanya Baskara sambil mencoba menstabilkan napasnya yang tidak teratur.
Mahluk berbulu itu tertawa hingga memperlihatkan taring-taringnya yang panjang dan melengkung ke arah dalam mulutnya yang gelap. Ia melangkah maju dengan hentakan kaki yang membuat tanah di sekeliling mereka bergetar hebat hingga beberapa pohon jati merangas tumbang secara berulang-ulang.
"Aku adalah saksi dari segala dosa yang dilakukan oleh keluargamu di tanah keramat Alas Mayit ini," jawab mahluk itu sambil mengangkat kapak batunya tinggi-tinggi.
Baskara merasakan batu mustika di telapak tangannya berdenyut sangat kencang hingga mengeluarkan uap panas yang membakar kulit jahitan di tangannya tersebut. Ia menyadari bahwa mahluk di depannya adalah salah satu penjaga kasta rendah yang bertugas memburu siapa pun yang mencoba mendekati istana kristal hitam.
Ia segera menghindar ke arah samping saat kapak besar itu menghantam tanah tempatnya berdiri tadi hingga menciptakan lubang yang sangat dalam. Tanah yang terkena hantaman kapak itu seketika berubah menjadi bara api yang mengeluarkan asap biru pekat serta aroma belerang yang sangat menyengat.
"Beritahu aku di mana Arini berada! Aku tahu mahluk-mahluk seperti kalian yang telah menyembunyikannya!" bentak Baskara dengan amarah yang memuncak.
Mahluk berbulu itu hanya mendengus dan kembali menyerang dengan kecepatan yang sangat tidak masuk akal untuk ukuran tubuhnya yang sangat besar dan berat. Ia mencengkeram kaki Baskara yang terluka dan melemparkannya ke arah sebuah pohon beringin yang batunya dipenuhi oleh sisa-sisa tengkorak manusia.
Baskara merasa tulang punggungnya hampir patah saat menghantam batang pohon yang keras dan dingin tersebut hingga ia memuntahkan cairan hitam kental. Ia melihat mahluk itu mulai merangkak mendekatinya dengan posisi tubuh yang aneh seolah-olah sendi-sendi tulangnya bisa berputar ke segala arah secara terus-menerus.
"Arini sudah menjadi bagian dari persembahan bagi para bangsawan lelembut yang sedang berpesta di dalam istana," bisik mahluk itu sambil menjilat darah di ujung kapaknya.
Baskara mencoba meraih belati peraknya namun mahluk itu lebih dulu menginjak tangan kirinya hingga terdengar suara tulang yang retak dengan sangat nyaring. Ia mengerang kesakitan saat kuku-kuku kaki mahluk itu mulai masuk ke dalam daging lengannya dan menghisap energi kehidupannya secara perlahan-lahan.
Cahaya lampu senter di bahu Baskara akhirnya mati total dan menyisakan kegelapan yang hanya diterangi oleh binar merah dari mata mahluk berbulu tersebut. Baskara merasakan kehadiran ribuan pasang mata lain yang mulai muncul dari balik semak-semak berduri seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukan pembantaian.
"Jika aku harus mati di sini, maka aku akan membawamu ikut masuk ke dalam neraka bersamaku!" teriak Baskara sambil menempelkan telapak tangan kanannya ke kaki mahluk itu.
Cahaya keemasan dari kunci perak di bawah kulit Baskara meledak keluar dengan kekuatan yang jauh lebih dahsyat dari serangan-serangan sebelumnya. Mahluk berbulu itu menjerit sangat melengking saat kakinya mulai terbakar oleh api suci yang keluar dari tanda lahir di jempol tangan Baskara yang bercahaya.
Api itu merambat naik dengan sangat cepat ke seluruh tubuh mahluk tersebut hingga mengubah bulu hitamnya menjadi gumpalan bara api yang sangat panas. Mahluk itu mencoba mematikan api tersebut dengan menggulingkan tubuhnya di atas tanah namun api itu justru semakin membesar setiap kali menyentuh benda-benda gaib.
Baskara menggunakan kesempatan itu untuk merangkak menjauh dan mencari tempat persembunyian di balik akar-akar pohon beringin yang sangat besar. Ia melihat tubuh mahluk itu akhirnya hancur menjadi tumpukan abu hitam yang berbau seperti belerang yang terbakar habis secara terus-menerus.
Namun, kemenangan Baskara tidak bertahan lama karena ribuan mahluk kecil yang tadi menonton mulai keluar dari kegelapan dan mengepung posisinya sekarang. Mahluk-mahluk itu menyerupai anak kecil tanpa wajah yang membawa beling tajam dan terus tertawa cekikikan sambil mendekati kaki Baskara yang terluka parah.
"Jangan biarkan mahluk-mahluk kecil ini menyentuh luka kalian atau kalian akan tertular penyakit kutukan kulit yang mematikan," sebuah suara peringatan terdengar dari atas pohon.
Baskara mendongak dan melihat seorang pemuda berpakaian lusuh dengan ikat kepala kain hitam sedang duduk santai sambil memainkan sebuah seruling bambu. Pemuda itu meniup serulingnya dan mengeluarkan nada-nada aneh yang membuat mahluk-mahluk kecil tanpa wajah itu mundur dengan rasa ketakutan yang sangat nyata.
"Siapa kamu? Apakah kamu salah satu penduduk dari kamp pengungsian yang berhasil melarikan diri?" tanya Baskara dengan suara yang sangat lemah.
Pemuda itu melompat turun dari dahan pohon dengan gerakan yang sangat lincah dan mendarat tepat di depan Baskara tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Ia tersenyum tipis dan memperlihatkan gigi-giginya yang rapi namun matanya memiliki pupil yang berbentuk vertikal menyerupai pupil mata kucing hutan.
"Aku adalah penjaga batas yang sudah bosan melihat orang-orang sepertimu mati sia-sia di tangan para budak hutan ini," jawab pemuda itu sambil membantu Baskara berdiri.
Baskara merasa ada kekuatan misterius yang mengalir dari tangan pemuda itu hingga rasa sakit di lengannya yang retak mulai berkurang secara perlahan-lahan. Namun, ia menyadari bahwa pemuda ini memiliki aroma yang sama dengan aroma hutan Alas Mayit yaitu aroma tanah basah dan bunga kamboja yang layu.
Pemuda itu mengajak Baskara berjalan menuju ke arah lembah tengkorak putih namun kali ini melalui jalur bawah tanah yang tersembunyi di balik akar beringin. Lorong bawah tanah itu dipenuhi oleh jamur-jamur raksasa yang mengeluarkan cahaya biru redup sebagai penerang jalan mereka yang sangat lembap dan sempit.
"Kita harus sampai di gerbang istana kristal sebelum bulan mencapai puncaknya atau temanmu akan benar-benar kehilangan jiwanya selamanya," ucap pemuda itu dengan nada serius.
Baskara mengikuti pemuda itu dengan perasaan waspada karena ia tahu bahwa di hutan ini tidak ada satu pun mahluk yang bisa dipercaya sepenuhnya. Ia memegang belati peraknya erat-erat sambil terus mengamati punggung pemuda misterius yang berjalan dengan sangat tenang di depannya tersebut.
Tiba-tiba, lorong bawah tanah itu bergetar hebat dan suara geraman yang jauh lebih besar dari mahluk berbulu tadi terdengar menggema dari arah depan. Pemuda itu berhenti mendadak dan mencabut sebilah keris kecil dari balik pinggangnya sambil menatap ke kegelapan lorong yang semakin pekat.
Sebuah lidah yang sangat panjang dan berduri mendadak melesat dari kegelapan dan melilit leher pemuda misterius itu hingga matanya terbelalak.