udihianati sahabat sendiri, Amalia malah dapat CEO.
ayok. ikuti kisahnya ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Malam itu terasa begitu panjang, namun di kamar vila yang sunyi, waktu seolah berhenti. Bara menatap Lia yang tertidur pulas di pelukannya, rambut hitamnya terurai menutupi sebagian wajah. Nafas Lia teratur, damai. Seakan semua luka yang sempat menyelimuti dirinya lenyap bersama belaian lembut Bara beberapa jam lalu.
Bara mengusap pelan pipi Lia, jemarinya menyusuri garis wajah itu seakan takut wanita itu hilang jika ia berkedip. Namun kedamaian itu terganggu ketika ponsel di meja bergetar. Bara meraihnya tanpa suara, lalu menempelkan ke telinga.
“Bebby,” suaranya rendah.
“Laporan sudah jelas, Tuan Bara,” jawab suara di seberang. “Yang menyentuh Nyonya Lia… Basuki. Papa tirinya. Dia juga yang menyuruh Rika menyeret Nyonya keluar rumah dengan kasar.”
Bara menegang. Rahangnya mengeras, sorot matanya berubah tajam. Ia menoleh pada Lia yang terlelap, lalu menutup mata sejenak menahan amarah.
“Aku ingin mereka berdua merasakan sakit yang sama,” katanya datar. “Tidak… lebih dari itu. Aku ingin mereka kehilangan segalanya.”
“Perintah siap dilaksanakan?”
“Belum sekarang,” desis Bara. “Aku punya rencana. Aku ingin mereka jatuh… perlahan. Biarkan mereka menikmati ketakutan.”
“Baik, Tuan.”
Bara menutup telepon, lalu kembali memandang Lia. Senyum tipis muncul di bibirnya. Aku akan melindungimu, sayang. Tidak akan ada yang menyakitimu lagi.
Pagi datang dengan cahaya lembut menembus tirai tipis. Lia menggeliat pelan, matanya terbuka perlahan. Wajah pertama yang ia lihat adalah Bara yang duduk di tepi ranjang, menatapnya dengan senyum yang jarang sekali dimiliki pria itu.
“Selamat pagi, istriku,” ucap Bara sambil menunduk, mencium kening Lia.
Lia tersipu, matanya masih berat. “Kau… sudah bangun dari kapan?”
“Dari lama. Aku hanya ingin melihatmu tidur.”
“Creepy sekali, Tuan Bara,” Lia terkekeh kecil.
“Kalau begitu aku akan terus menjadi creepy,” jawab Bara enteng, lalu mendekat untuk mengecup bibir Lia. Lia meraih kerah bajunya, menahan sebentar, lalu membalas ciuman itu dengan lembut.
“Hmm… kalau begini aku bisa malas bangun,” bisik Lia manja.
“Tidak apa. Aku bisa menyiapkan sarapan di ranjang,” jawab Bara, suaranya rendah penuh godaan.
Lia tertawa dan mendorongnya pelan. “Kau ini, masa calon ayah tetap nakal begini?”
Bara hanya mengangkat bahu. “Aku lapar. Lagi.”
“Bara!” Lia menepuk dada pria itu, lalu turun dari ranjang. “Ayo, kita sarapan di meja. Aku ingin duduk manis, kau yang melayani.”
“Seperti seorang ratu?”
“Ya. Dan jangan protes.”
Meja makan kembali dipenuhi hidangan hangat. Bara menata sendiri: roti, selai, omelet, susu hangat, hingga buah segar. Lia duduk manis sambil mengusap perutnya yang masih rata.
“Rasanya seperti mimpi,” ucapnya pelan.
“Apa?”
“Diperhatikan begini. Dimanja begini. Aku bahkan lupa rasanya punya rumah yang hangat.”
Bara menatapnya dalam. “Sekarang, rumahmu ada di sini. Di mana pun aku berada, kau dan anak kita akan selalu aman.”
Lia tersenyum, matanya sedikit berkaca. “Kau ini, membuatku jatuh cinta lagi.”
“Lagi?” Bara mengernyit.
“Ya, lagi. Karena aku jatuh cinta setiap kali kau bicara manis begini.”
Bara menghela napas, pura-pura tersinggung. “Aku seharusnya marah, karena berarti kau sempat ragu padaku.”
Lia terkekeh, lalu menyodorkan sepotong buah ke mulut Bara. “Diam dan makan, Tuan Bara.”
Bara menunduk, menelan buah itu sambil tersenyum samar.
Setelah sarapan, Bara menggandeng Lia keluar. Mereka berjalan di taman kecil vila, lalu masuk ke mobil. “Kita pergi sebentar. Aku ingin kau merasa bebas,” ucap Bara.
“Mau ke mana?”
“Belanja.”
“Belanja?” Lia menatapnya heran. “Kau, Bara yang dingin, mau menemaniku belanja?”
“Aku ingin memastikan apa pun yang kau inginkan, kau dapatkan.”
Lia tertawa bahagia. “Baiklah. Tapi hati-hati, aku bisa belanja banyak.”
“Belanjalah semua yang kau mau. Aku yang bayar.”
Lia menggeleng, tak berhenti tersenyum sepanjang perjalanan.
Sementara itu, di pusat kota, Basuki berjalan masuk ke sebuah kantor megah dengan jas rapi dan senyum sombong. Ia menepuk pundak satpam, melangkah penuh percaya diri.
“Aku ingin bertemu dengan Bara,” katanya pada resepsionis.
“Maaf, Tuan. Tuan Bara tidak ada jadwal menerima tamu hari ini.”
Basuki mendengus. “Kau tahu siapa aku? Aku ayah mertua Bara! Suruh dia keluar menemuiku!”
Resepsionis menatapnya datar. “Kami tidak menerima tamu tanpa janji. Silakan meninggalkan pesan.”
Orang-orang di sekitar mulai memperhatikan. Bisik-bisik terdengar.
“Katanya ayah mertua Bara?”
“Tidak mirip sekali.”
“Ah, mungkin hanya cari muka.”
Wajah Basuki memerah. Ia mengetuk meja dengan kasar. “Aku bilang aku ayah mertua Bara! Kalian semua harus hormat padaku!”
Seorang staf lain maju, suaranya sopan tapi tegas. “Mohon maaf, Tuan. Nama Anda tidak terdaftar sebagai keluarga Tuan Bara.”
Gelak tawa kecil terdengar dari sudut ruangan. Basuki menoleh, melihat beberapa karyawan menutupi mulut sambil tertawa.
“Beraninya kalian!” teriak Basuki, wajahnya panas menahan malu.
Namun tak ada yang peduli. Resepsionis kembali menunduk ke layar komputernya, mengabaikannya.
Dengan amarah yang mendidih, Basuki berbalik dan keluar dari kantor. Langkahnya cepat, napasnya memburu. Bara, kau kira bisa merendahkanku? Aku akan buat kau menyesal.
Di sisi lain, Bara menatap Lia yang tertawa sambil memilih pakaian bayi di sebuah butik mewah. Wanita itu memeluk baju mungil warna putih, matanya berbinar.
“Lucu sekali! Padahal masih lama, tapi aku ingin membelinya,” ucap Lia.
“Belilah,” jawab Bara tanpa pikir panjang.
“Kau tidak protes?”
“Aku akan protes kalau kau tidak membeli.”
Lia menatapnya lama, senyum lembut terbit. “Bara… aku bahagia.”
Bara menggenggam tangannya, lalu menunduk mengecup jemari itu. “Dan aku berjanji, kau akan selalu bahagia bersamaku.”
Namun dalam hatinya, tekad Bara semakin membara. Basuki. Rika. Aku tidak akan membiarkan kalian menghancurkan senyum ini lagi.