#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Mendapat restu
.
Bu Sukma baru saja mengakhiri panggilan telepon. Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku daster. Alangkah terkejutnya Bu Sukma, saat dia berbalik badan, dan mendapati Amelia berdiri di belakangnya dengan kening berkerut.
"Amelia?" ucap Bu Sukma, tergagap. Wajahnya berubah tegang dengan satu pertanyaan dalam hati, apakah Amelia mendengar percakapannya dengan orang di telepon barusan?
“Kapan kamu pulang? Kok Ibu nggak dengar sepeda motor kamu? Itu tadi ada orang dealer nganterin sepeda motor yang baru kamu beli loh." Ucap bu Sukma ketika dia sudah berhasil meredakan ketegangan dalam hatinya.
"Amel barusan datang, Bu. Ibu sih, asik banget teleponan, sampai Amel teriak-teriak pun ibu nggak dengar,” ucap Amelia dengan wajah cemberut.
Bu Sukma menggaruk tengkuknya, berusaha berpikir jawaban apa yang paling masuk akal untuk diberikan pada Amelia.
"Siapa sih, Bu, yang menelepon? Ngapain teleponan di belakang rumah?" tanya Amelia, dengan tatapan menyelidik.
Bu Sukma berusaha tersenyum. "Eng... itu..." ucapnya ragu. Ia menggaruk-garuk kepalanya lagi sambil berpikir keras. "Itu, Nak. Juragan Sastro, yang punya traktor sama diesel. Dia nagih bayaran karena Ibu belum bayar." Bu Sukma bernafas lega karena bisa menemukan jawaban yang masuk akal.
"Ya ampun, Ibu," ucap Amelia dengan nada khawatir. Kecurigaan yang musnah seketika.
"Kenapa Ibu tidak bilang kalau Ibu membutuhkan uang untuk membayar diesel dan traktor? Kan nggak enak sama juragan itu."
Bu Sukma meringis, menunjukkan deretan giginya yang sudah tidak terlalu rapi. "Ibu lupa, Nak. Kemarin kan memang baru selesai panen. Jadi, kelupaan karena kita kan repot terus."
Amelia menghela napas. "Ya sudah, biar Amelia ambilkan uangnya untuk membayar," ucapnya. Ia hendak berbalik menuju kamarnya, namun Bu Sukma mencegahnya.
"Eh, jangan, Neng," cegah Bu Sukma dengan cepat. "Ibu juga punya uang kok. Ibu bisa bayar sendiri."
Amelia mengernyitkan keningnya. "Benar, Bu?" tanyanya, kurang yakin.
Bu Sukma mengangguk mantap. "Iya, Nak. Ibu benar-benar punya uang. Kamu tenang saja," jawabnya dengan nada meyakinkan. "Uang kamu, simpan saja untuk keperluan kamu. Katanya mau nabung buat buka toko pertanian?"
“Ibu gak lagi bohongin Amel karena merasa gak enak, kan?” Amelia menatap ibunya dengan tatapan menyelidik. Entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang aneh. Namun, ia tidak tahu itu apa.
Bu Sukma menggenggam tangan Amelia. “Ya benar, lah, Neng. Kan Neng juga tahu kalau kemarin baru panen. Hasil penjualan gabah masih utuh."
Amelia menghela nafas lega. "Ya sudah, deh. Tapi kalau ada apa-apa Ibu harus ngomong sama Amel loh, ya?”
"Iya, iya." Bu Sukma mengangguk dan tersenyum senang. Dalam hatinya, Bu Sukma merasa lega karena Amelia mempercayai alasan yang ia berikan. Ia berharap, Amelia tidak akan bertanya lebih jauh tentang panggilan telepon tadi.
“Oh, iya, Bu. Itu ada Mas Raka mampir. Katanya, ada sesuatu yang dia ingin omong sama Ibu sama Bapak," ucap Amel yang baru teringat akan tujuannya mencari bu Sukma. Mereka berdua pun segera masuk kembali ke dalam rumah dengan bergandengan tangan.
"Assalamualaikum," sapa Raka ketika mereka telah sampai di ruang tamu. Pemuda itu telah duduk di sana bersama dengan pak Marzuki.
"Waalaikumsalam," jawab Amelia dan Bu Sukma serempak.
"Maaf, Bu Sukma, Pak Mar,” ucap Raka dengan sopan. "Saya mau bicara sebentar dengan Ibu, dan Bapak."
Bu Sukma yang baru saja duduk di samping pak Marzuki menatap suaminya dengan dagu terangkat seolah ingin bertanya, 'ada apa’. Namun yang ditanya hanya mengangkat kedua bahunya. Amelia yang duduk di kursi single menundukkan kepala dengan dada berdegup kencang.
Raka menatap Bu Sukma dan Pak Marzuki dengan tatapan serius. "Pak, Bu, kedatangan saya ke sini, karena saya ingin meminta restu dari Bu Sukma dan Pak Marzuki," ucap Raka, dengan nada mantap.
“Restu?” tanya Bu Sukma, dengan nada terkejut. Ia merasa gugup dan bingung. "Restu untuk apa, Den Raka?"
Raka menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Ini adalah momen yang penting dalam hidupnya.
"Saya ingin melamar Amelia dan menjadikannya istri saya," jawab Raka, dengan nada mantap dan penuh keyakinan. “Ini belum lamaran resmi. Tapi saya ingin Bapak dan Ibu mengetahui kalau saya menyukai Amelia."
Bu Sukma dan suaminya saling pandang. Keduanya bingung harus memutuskan apa. Masalahnya adalah mereka berdua bukan orang tua kandung Amelia. Mereka berdua tidak bisa memutuskan apakah menerima atau menolak.
"Kami tidak tahu harus bagaimana. Secara pribadi saya menyukai jika memang Neng Amel berjodoh dengan Den Raka. Jadi, kami serahkan semua keputusan kepada Amelia," ucap Pak Marzuki akhirnya.
Raka tersenyum lega mendengar ucapan Pak Marzuki. "Saya mengerti, yang penting Bapak dan Ibu sudah merestui saya. Dan sebenarnya saya dan Amelia memang sudah sama-sama saling menyukai.”
Amelia tersentak mendengar ucapan Raka. Tapi dia juga tidak ingin membantah. Lagi pula Raka juga pemuda yang baik. Dan sejujurnya ia memang juga menyukai pemuda itu.
"Kalau tidak ada halangan, minggu depan saya akan segera membawa Amelia ke rumah saya untuk diperkenalkan kepada keluarga saya," ucap Raka kepada Bu Sukma dan Pak Marzuki.
“Minggu depan Mas? Kenapa harus buru-buru?" tanya Amelia terkejut.
Raka mengangguk dengan mantap. "Aku tidak mau menunda-nunda waktu," jawabnya dengan senyum yang penuh keyakinan. "Lagi pula kita sudah sama-sama dewasa. Dan kamu juga sudah menerima aku. Jadi, aku ingin kita secepatnya menikah, agar terhindar dari fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan.”
Amelia terdiam sejenak. Ia merasa gugup dan bingung. Ia tidak menyangka Raka akan bertindak secepat ini. Tapi ia juga membenarkan ucapan Raka.
"Tapi, Den Raka." Bu Sukma mencoba menengahi. “Apa Den Raka sudah benar-benar yakin? Lalu bagaimana dengan kedua orang tua Den Raka?"
Ada sesuatu yang membuat Bu Sukma gelisah. Mengingat semua perlakuan Bu Sundari ketika mereka datang saat Raka baru saja menang pilihan kepala desa, dan juga ketika mereka berseteru di pasar.
"Saya tahu apa yang Ibu khawatirkan. Dan sebenarnya, saya juga sudah mendengar bagaimana kelakuan ibu saya. Untuk itu, saya minta maaf pada ibu dan Amel. Tapi percayalah, Saya tidak akan membiarkan Amelia ditindas oleh siapapun di rumah saya termasuk ibu saya,” ucap Raka mencoba meyakinkan Bu Sukma.
"Kalau Den Raka sudah berkata demikian, Saya hanya bisa menyerahkan semuanya pada Neng Amel. Dan saya harap, Den Raka tidak akan membuat saya kecewa." Bu Sukma menghela nafas berat. Hanya berharap semoga Raka bisa menepati janjinya.
"Saya berjanji,” jawab Raka mantap.
Setelah pembicaraan berakhir, Raka kemudian berpamitan kepada Bu Sukma dan Pak Marzuki. Ia berjanji akan segera kembali untuk membicarakan persiapan pernikahan mereka.
bentar lagi nanam padi jg 🥰