Ayra tak pernah menyangka bahwa hidupnya bisa seabsurd ini. Baru saja ia gagal menikah karena sang tunangan-Bima berselingkuh dengan sepupunya sendiri hingga hamil, kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah mengejutkan: bos barunya adalah Arsal—lelaki dari masa lalunya.
Arsal bukan hanya sekadar atasan baru di tempatnya bekerja, tetapi juga sosok yang pernah melamarnya dulu, namun ia tolak. Dulu, ia menolak dengan alasan prinsip. Sekarang, prinsip itu entah menguap ke mana ketika Arsal tiba-tiba mengumumkan di hadapan keluarganya bahwa Ayra adalah calon istrinya, tepat saat Ayra kepergok keluar dari kamar apartemen Arsal.
Ayra awalnya mengelak. Hingga ketika ia melihat Bima bermesraan dengan Sarah di depan matanya di lorong apartemen, ia malah memilih untuk masuk ke dalam permainan Arsal. Tapi benarkah ini hanya permainan? Atau ada perasaan lama yang perlahan bangkit kembali?
Lantas bagaimana jika ia harus berhadapan dengan sifat jutek dan dingin Arsal setiap hari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ARSAL JATUH CINTA
Jika biasanya Arsal akan menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan yang memungkinkan untuk diselesaikan di hari libur atau ia hanya menemani Kalya berjalan di mall, maka weekend kali ini berbeda. Tiba-tiba ia dipaksa oleh Kalya dan Ayra untuk piknik di pantai. Kedua perempuan berbeda generasi itu begitu kompak.
Selain kompak mengajaknya, outfit mereka pun begitu serasi. Kalya bilang, karena hari ini begitu cerah, maka warna yang mereka pilih adalah kuning dan putih. Hal itu membuat Arsal mau tidak mau, juga harus memakai outfit warna senada.
Saat Arsal sedang menyiapkan bekal yang mereka bawa-tentunya makanan tersebut adalah hasil masakan Ayra, kedua perempuan itu masih sibuk di kamar. Akhir-akhir ini Kalya begitu akrab dengan Ayra. Ia tidak lagi merengek ingin bertemu Amanda saat liburan.
"Papa, bagusan jilbab ini atau yang ini?" Tiba-tiba Kalya muncul membawa dua pashmina kaos polos. Yang satunya berwarna kuning, yang satunya berwarna putih gading.
Arsal menatapnya bingung. "Buat siapa?" tanya Arsal.
"Buat aku. Jilbabnya dibeliin Tante Ayra. Katanya biar aku bisa belajar pakai jilbab, sama kayak mama." jawab Kalya dengan senang.
Mendengar jawaban polos Kalya, Arsal tersenyum. "Pilih yang kamu suka." jawab Arsal.
"Aku suka dua-duanya. Kata Tante, aku bisa tanya Papa agar bisa menentukan pilihannya."
Arsal menghentikan aktivitasnya, lalu berjalan mendekati Kalya. Arsal menatap wajah Kalya dengan lembut. "Kamu bisa pilih ini." kata Arsal menunjuk pashmina kaos warna putih gading yang ada di tangan kanan Kalya.
Gadis kecil itu mengangguk. "Pilihan Papa sama Tante Ayra sama." celetuknya dengan gaya khasnya.
"Namanya juga suami-istri. Harus selalu kompak." Ayra muncul dengan tunik bermotif bunga matahari kecil-kecil, dengan rok tunik putih dan pashmina berwarna putih gading.
Tak lupa tas selempang kecil berwarna putih dengan bentuk bunga matahari ikut membuat penampilannya begitu manis.
"Jadi gimana? Kamu bebas berpendapat, Kalya. Pakailah pakaian yang membuatmu nyaman dan percaya diri." tanya Ayra pada Kalya.
"Hmmh, aku setujuh deh. Tapi ini karena Papa bukan karena Tante." sahut Kalya menatap sinis Ayra.
Kalya segera berlari ke kamarnya. Sedangkan Ayra berjalan menuju meja tempat Arsal menata perbekalan mereka. Mata Arsal mengamati setiap pergerakan Ayra. Perempuan itu memeriksa kembali bekal mereka, lalu memasukkannya ke keranjang.
"Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Arsal datar.
Ayra menoleh. Dahinya mengernyit bingung. "Apanya?"
Arsal tertawa sinis. Ia membantu Ayra merapikan beberapa perlengkapan lain.
"Kenapa membuat ide seperti ini? Kamu membuat Kalya akan bergantung padamu. Itu akan membuatmu sulit. Kalya akan sulit melepaskan seseorang yang telah dekat dengannya." ujar Arsal tanpa menoleh pada Ayra.
"Ya bagus. Lagipula aku istrimu. Artinya Kalya adalah-"
"Kalya bukan anakmu. Jangan bersikap seperti kamu adalah ibunya."
Ayra menghela napasnya. "Oke. Anggap saja aku kakaknya. Hidup jangan terlalu serius, Pak. Nanti bisa gila." kata Ayra santai, lalu berlalu dari hadapan Arsal.
"Kalya! Perlu Tante bantu?" seru Ayra sambil menatap Arsal dengan tajam.
Dari dapur, Arsal bisa mendengar celotehan dua perempuan tersebut dari kamar Kalya. Sesekali terdengar suara tawa, namun suara omelan Kalya juga terdengar. Sedangkan, Ayra, gadis itu tetap saja tertawa menanggapi setiap perkataan ketus Kalya.
Lalu Arsal sendiri tanpa sadar tersenyum tipis. Cara Ayra memperlakukan Kalya dan kedekatan keduanya membuat Arsal senang. Namun terlintas rasa takut di hatinya, jika nanti Ayra meninggalkan mereka, maka Kalya akan sangat terpukul.
"Papaaa! Ayo kita berangkat." Arsal mendongak. Seruan Kalya membuatnya tersentak.
Arsal tertegun. Di depannya kini berdiri dua perempuan dengan rupa tak sama namun penampilan mereka terlihat seperti ibu dan anak.
"Kamu cantik sekali, Sayang." puji Arsal pada Kalya.
"Iya dong. Tante Ayra bilang, Mama kan cantik, jadi aku juga cantik. Iya kan, Tante?"
Ayra mengangguk cepat. " Tentu dong. Iya kan, Pak?"
Arsal hanya berdeham. Tidak ada jawaban apapun dari mulutnya. Hal itu membuat Ayra berdecih kesal. Namun ia segera tersenyum saat Kalya menatapnya dengan tajam.
"Dasar bermuka dua." desis Arsal menatap Ayra tajam.
...****************...
Langit cerah membentang di atas pasir putih yang hangat. Ombak bergulung tenang, seolah menyambut riang keluarga kecil itu. Pantai belum terlalu ramai, masih pagi. Angin laut berhembus pelan, namun cukup mampu membuat jilbab Ayra berkibar-kibar.
Sementara Kalya sudah berlarian di tepi ombak dengan tawa lepas, meninggalkan jejak kaki kecil yang segera tersapu air laut.
Arsal duduk di tikar dengan santai, tangannya memegang botol minum yang belum ia buka. Ia masih dalam mode diam, wajahnya menatap Kalya, namun sudut matanya sesekali melirik ke arah Ayra yang tengah sibuk menyiapkan makanan, bahkan sesekali memotret Kalya dari kejauhan.
Ayra menyadari lirikan itu, tapi ia hanya tersenyum sendiri.
“Natap istrinya kenapa malu-malu gitu, sih? Daripada cuma liatin aku begitu, mending bantuin aku sini,” goda Ayra sambil menepuk sisi di sampingnya.
“Saya sibuk." sahut Arsal ketus, lalu bergaya sibuk memainkan ponselnya.
“Sibuk apa sih? Ini kan hari libur.”
Arsal mendengus pelan. “Bukan urusan kamu. Lakukan saja apa yang perlu kamu lakukan." jawab Arsal berusaha tidak melihat Ayra. Walaupun kenyataannya, ia tetap saja melirik Ayra dari sudut matanya.
Ayra diam. Arsal kemudian menoleh pada gadis itu. Sempat terbersit kecemasan dalam hatinya kalau perkataannya terlalu ketus sehingga menyakiti hati Ayra. Gadis itu masih diam. Wajahnya begitu serius menatap lurus ke arah laut lepas.
Melihat Ayra dari samping dengan wajah setenang itu, lagi-lagi membuat jantung Arsal berdegup kencang. Bohong jika ia sudah melupakan perasaannya untuk Ayra. Nyatanya sekarang perasaan itu justru tumbuh subur, bahkan lebih dari yang ia rasakan beberapa tahun silam.
"Salah satu hal yang nggak pernah aku bayangkan adalah dari sekian banyak lelaki yang hadir dan aku kasih kesempatan, ternyata takdir justru membawaku menjadi istrimu." kata Ayra memecah kesunyian di antara mereka. Wajah tenangnya itu seketika menampilkan senyum tipis.
Arsal masih diam. Bahkan ketika Ayra menoleh padanya, ia masih menempatkan dirinya menjadi pendengar yang baik.
"Aku nggak tahu apa alasan kamu menikahiku. Tapi apapun itu, izinkan aku untuk menjadi istri yang baik ya. Kasih aku kesempatan, Sal." lanjut Ayra menatap Arsal dengan sorot yang begitu lembut.
Sial! Arsal merutuk dalam hati. Tatapan teduh itulah yang membuat Arsal lemah. Sedari dulu, Ayra itu dikenal dengan kepribadiannya yang hangat dan baik kepada siapapun. Namun kelemahannya adalah ia tidak pernah sadar bahwa sifatnya itu seringkali membuat teman mereka yang lelaki itu salah paham, termasuk Arsal dulu.
"Saya-"
"Aakh, PAPA!"
Bertepatan saat Arsal ingin mengutarakan isi pikirannya, saat itulah ia mendengar suara teriakan Kalya. Arsal segera berlari menuju Kalya yang tiba-tiba terjerembab di pasir. Sedangkan Ayra sudah berada di sana lebih dulu.
Kalya tidak sengaja tertabrak sepeda listrik yang dikendarai seorang anak kecil.
"Maaf ya, Tante, saya nggak sengaja." Anak lelaki yang Arsal taksir usianya sekitar 10 tahunan itu berjalan mendekati Ayra.
Arsal mengepal kedua tangannya. Melihat luka di siku Kalya membuat Arsal ingin memarahi anak itu. Lagipula mengapa orang tua anak ini mengizinkan dia mengendarai sepeda listrik di pinggiran pantai seperti ini.
Namun saat Arsal hendak mendekati anak itu, Ayra yang kini sudah menggendong Kalya yang sudah mulai berhenti menangis justru mengusap lembut kepala anak itu.
"Iya. Tapi lain kali kamu hati-hati, ya. Bahaya kalau kamu pakai itu di tempat ramai kayak begini." ucap Ayra dengan tenang.
Anak itu mengangguk. Ia yang tadinya menunduk takut kini tersenyum lega. Hingga tiba-tiba seorang perempuan datang dengan wajah memerah karena emosi.
"Aduuh, kamu kenapa sih buat masalah terus? Mama udah bilang, kan, jangan pakai sepeda ini di sini. Bebal banget sih."
Sementara si perempuan itu terus mengomeli anak tersebut, Ayra segera mendekati Arsal.
"Kalya sama Papa dulu, ya." Ayra memberi kode pada Arsal untuk mengambil alih Kalya yang masih trauma.
Arsal segera mengambil alih Kalya. Namun tiba-tiba langsung menahan Ayra saat gadis itu hendak pergi. "Kamu mau ngapain?"
"Kamu tenangin Kalya dulu di sana, ya. Aku mau kesitu sebentar." jawab Ayra menunjuk anak lelaki tadi yang sedang dimarahi oleh perempuan yang Arsal kira adalah ibunya.
"Jangan lama-lama. Saya tinggalin kalau kamu lama." jawab Arsal ketus.
"Siap, Suamiku Sayang." goda Ayra dengan senyum khasnya.
"Nggak usah aneh-aneh." sahut Arsal ketus lalu segera pergi menuju tempat mereka tadi.
Mendengar panggilan manis dari mulut Ayra, tak urung membuat senyum Arsal muncul. Tentu saja itu akan ia lalukan saat tidak berhadapan dengan Ayra. Selain senyumnya, nyatanya Arsal begitu menikmati saat jantungnya berdegup kencang mendengar panggilan manis itu. Hingga suara polos Kalya membuat Arsal sadar, bahwa perlakuan manis Ayra sekecil apapun mampu membuat hatinya bahagia.
"Papa kenapa senyum-senyum begitu?"
berdebar dan selalu ternanti