"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Surat Cerai
...୨ৎ L A V I N I A જ⁀➴...
“Dua bulan, Lavinia! Enggak boleh lebih ... dan Mama mau kamu tahu kalau Mama sebenarnya enggak setuju sama keputusan ini.”
Mama berdiri di samping Taxi-nya di parkiran Marrone- Inn, penginapan milik Maisie. Kopernya sudah di bagasi.
“Maisie enggak mau nerima cash dari Mama. Jadi beresin semua sendiri, ya! Jangan nyusahin orang lain, oke.”
“Tenang aja, enggak bakal, kok.”
Mama geleng-geleng kepala, masih tampak kesal. Aku enggak tega membiarkan dia naik pesawat sendiri.
“Ma,” panggilku, menahan dia sebelum masuk ke kursi belakang. “Lavinia bukan mau bikin Mama kesal.”
Dia mengeluarkan napas panjang. “Mama sebenarnya pingin jagain kamu dari semua ini, tapi sekarang, Mama sadar kalau Mama enggak bisa. Hidupmu ya milik kamu. Kamu udah bilang itu ke Mama dari dulu, kan?”
Aku langsung peluk dia erat, berharap ketegangan di antara kita bisa hilang sekarang, beda sama saat terakhir kali aku meninggalkan Ernest.
“I love you, Ma,” kataku.
“Hati-hati ya, Nak.” Dia usap punggungku, terus melepas pelukannya.
Aku mundur selangkah, dan dia masuk ke mobil, melambai sekali, sebelum taxi-nya meninggalkan parkiran.
HPku berbunyi ... alarm. Aku lupa kalau dokter sarafku minta video call buat cek kabarku sekarang, setelah beberapa hari di sini. Aku masih belepotan dengan lumpur dan enggak ada waktu.
Aku balik ke kamar, bersyukur lah, kalau aku masih bisa tinggal lebih lama lagi di tempat ini. Aku naik tangga, masuk kamar, dan lihat apa yang terjadi?
Mama sudah sempat bereskan tempat tidur sebelum pergi.
Aku ambil laptop, duduk di kasur, dan taruh laptop di atas bantal. Begitu panggilan tersambung, muncul kepala botaknya Dr. Zulhan di layar.
“Lavinia,” katanya sambil mengatur posisi laptopnya.
“Halo, Dok,” sapaku.
“Gimana Bali?” Dia bersandar ke kursi santai.
Satu hal yang aku suka dari Dr. Zulhan, dia orangnya santai banget. Enggak pernah membuatku merasa kalau ada yang salah sama aku. Dari awal, dia sudah jujur mengatakannya, mungkin memori aku bisa kembali, mungkin juga enggak. Dan itu enggak apa-apa.
Konsultasi pertama, dia menyarankanku buat mengikuti grup. Di situ ada yang ingatannya pulih semua, ada juga yang enggak. Tapi mereka semua tetap bisa menjalani hidup. Itu yang membuatku semangat dan memutuskan buat datang ke Bali sama Mama.
“Lumayan,” balasku sambil mengangkat bahu.
“Lumayan?” ulangnya.
“Mama udah balik ke Jogja. Aku tetap di sini.”
Senyum kecil muncul di wajahnya.
“Kenapa, Dok?” tanyaku.
Dia tertawa. “Aku udah merasa, dari awal ini enggak bakal semulus yang kamu bayangin.”
“Maksudnya?”
Dia memiringkan kepala, terlihat ragu. “Aku udah lama di bidang ini. Soalnya, kehilangan memori itu kadang bisa bikin orang-orang dari masa lalu balik lagi ke hidup kamu, padahal sebelumnya mereka udah enggak ada ... udah berhasil kamu lupain."
“Aku tuh ... ternyata masih nikah,” gumamku.
Mata dia langsung membesar. “Orang tua kamu enggak bilang?”
Aku mengangguk, masih kesal karena Mama berusaha menghilangkan bagian hidup itu dari memoriku.
“Kayaknya aku ninggalin dia sekitar setahun yang lalu. Tapi aku enggak ingat alasannya. Dan aku pingin ingat.”
“Dia nyamperin kamu begitu kamu sampai, atau ada yang kasih tahu?”
Aku geleng-geleng kepala, senyum sedikit karena bangga.
“Kamu ingat sendiri?”
“Gila sih. Aku sama Mama lagi jalan-jalan, kan, terus ramai banget karena besoknya di tempat ini tuh udah mulai musim turis. Terus aku enggak sengaja lihat ke kanan ... dan Ernest ada di sana. Aku langsung lari ke dia. Rasanya ... aku kayak masih jadi istrinya.”
“Terus Ernest gimana?”
Senyumku menghilang. “Bingung. Pas aku lihat dia, rasanya kayak enggak ada yang hilang. Aku lupa kalau ternyata sudah lebih dari setahun sejak aku terakhir di Palomino.”
“Aku bisa lihat kamu kecewa, dan itu wajar. Kamu ingat dia, ingat kalau kamu nikah sama dia. Ada memori lain?”
“Sedikit-sedikit, mulai muncul. Kayak pas kita umur tiga belas, terus pas umur enam belas.”
“Lavinia, itu luar biasa! Makanya kamu masih stay di Palomino?”
Aku mengangguk, menggigit bibir. “Kayaknya emang di sini tempat yang aku butuhin sekarang.”
“Oke. Aku setuju. Sayang Mama kamu enggak ngerasa gitu juga, ya.”
Aku angkat bahu, lega karena Dr. Zulhan setuju kalau aku tetap di sini.
“Kayaknya dia emang enggak pernah datang ke pernikahan aku. Dia enggak suka sama suamiku atau keluarganya.”
Dia mengangguk pelan.
“Aku kesal karena dia berusaha menghalangi aku buat mengingatnya. Hemm ... Aku enggak nyangka Mamaku sekejam itu.”
Dia mengangguk lagi.
Air mata mulai menetes di pipiku. Aku bingung harus curhat ke siapa. Satu-satunya orang yang bisa aku ajak ngobrol sekarang adalah dokter sarafku.
“Lavinia, sabar, ya. Kadang kala keluarga itu mikir, kalau mereka sebenernya lagi bantu kamu. Mungkin dia cuma pingin ngehindarin kamu dari sakit hati, sakit yang kamu rasain dulu, waktu ninggalin suamimu. Aku enggak bilang dia jahat, ya.”
“Jadi Dokter setuju sama dia?” Aku lap air mata dengan punggung tangan.
Dia geleng-geleng kepala. “Enggak. Tapi aku ngerti. Kadang seseorang punya bagian hidup yang pingin banget buat dilupain. Mungkin ini lebih ke tentang mama kamu ... bukan tentang kamu.” Dia angkat bahu. “Tapi sekarang fokus aja ke saat ini. Kamu di sana, aman, kan?”
“Aku lagi di penginapan.”
“Good, aku yakin kamu punya teman-teman di sana. Udah nyoba reconnect lagi belom?”
Aku mengangguk. “Iya. Mungkin sama Talia? Hemm ... Maksud aku, Maisie, sih baik, tapi dia kan adeknya Ernest.”
“Kamu, tuh butuh orang yang bisa kamu percaya.”
“Aku masih percaya sama Ernest, sih. Walaupun dia mungkin benci aku karena ninggalin dia. Dan ya ... aku ngerti kalau dia benci. Aku sendiri juga mungkin bakal benci kalau aku jadi dia.”
“Iya, aku ngerti. Pokoknya santai aja deh di sana. Jangan maksain diri. Kelilingin diri kamu sama orang-orang atau hal-hal yang familiar. Mungkin nanti pelan-pelan ingat lagi. Tapi, seperti yang aku bilang, bisa jadi kamu enggak bakal ingat semuanya. Mungkin kamu enggak bakal ingat apa yang sebenarnya terjadi antara kamu sama suamimu.”
Bahu Dr. Zulhan jatuh. Itu satu-satunya hal yang paling ingin aku tahu sebenarnya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pelan di pintu.
“Oke, kita ketemu lagi minggu depan, di jam yang sama. Gimana?”
“Ya, udah, boleh.”
“Kamu keren, Lavinia. Tetep semangat ya.” Dr. Zulhan mengedipkan mata, terus kita saling berpamitan.
Saat aku mau balik ke kasur, pintunya diketok lagi. Aku bergerak untuk membukanya. Begitu kutarik pintunya, aku pun terkejut.
“Ernest?”
Ernest masuk. Aromanya langsung tercium saat dia lewat di dekatku. Aku memejamkan mata sebentar, menarik napas dalam-dalam. Rasanya ... aman. Tapi sepertinya aku enggak boleh mudah percaya sama rasa itu, seperti yang dikatakan Dr. Zulhan.
Dia duduk di tepi ranjang Mamaku. “Aku dengar kamu ketemu sama Talia.”
Aku mengangguk sambil berjalan menuju tempat tidurku sendiri. Aku yakin dia enggak ingin aku duduk di ranjang yang sama dengannya, meskipun tubuhku ingin banget ke sana.
“Dia punya bayi,” kataku, walau aku yakin dia sudah tahu.
“Joshua. Iya, anaknya lucu.”
“Mereka tadi ke sesi dongeng, di pusat kota.”
Aku kesal sendiri. Mengobrol dengannya terasa canggung. Aku seperti enggak tahu harus berkata apa.
“Kamu ingat enggak dia nikah sama Krisna?” Ernest menatapku, tangannya bersandar di paha.
“Dia bilang sih gitu.”
“Jadi kamu enggak ingat pas mereka nikah?”
Aku menggeleng.
“Mereka nikahnya setelah kita. Terakhir kamu ingat apa?” tanyanya.
Aku duduk tegak, menyilangkan kaki.
“Ada sih yang mulai keingat sedikit-sedikit. Kayak ulang tahun kamu yang ke-13, terus pas perlombaan kita cosplay jadi Sakura sama Sasuke. Aku enggak ingat pernikahan kita, tapi aku tahu kamu itu suamiku. Aneh enggak, sih? Aneh ya?”
Dia mengangkat bahu. “Aku bukan dokter.”
“Aku habis ngobrol sama dokter soal Mama dan semua yang dia lakuin. Kayaknya aku harusnya minta maaf.”
“Ke Mamamu? Please deh. Kamu enggak perlu minta maaf buat dia. Apalagi ke aku.”
Aku mengangguk, tapi aku belum tahu alasan dia datang ke sini sebenarnya apa. Dia berdiri, mondar-mandir. “Aku mau bantu kamu, tapi aku pingin beberapa hal harus jelas dulu.”
“Mau bantu aku?” Dahiku berkerut.
Dia berhenti, dan menatapku. “Pas kamu pergi, aku pindah ke rumah kakak-kakakku. Rumah kita aku sewain. Tapi buat penyewa yang harusnya datang Sabtu ini, udah aku cariin tempat lain. Penyewa untuk musim liburan juga udah aku batalin. Jadi kamu bisa balik tinggal di situ.”
“Balik ke rumah kita?” Sebenarnya aku ingin banget ke sana, tapi aku enggak menyangka kalau dia bakal mengizinkannya.
“Itu rumah kita, Lavinia. Dan aku bisa bawa kamu ke tempat-tempat yang berharga buat kamu.”
“Kamu masih ingat tempat-tempat itu?”
Ekspresinya mengeras. Dia menarik napas panjang. “Kamu itu istriku. Kamu itu hidup aku dari aku umur tiga belas, ngerti, enggak? Iya, jelas, lah aku ingat semuanya.”
“Oh ... oke.”
“Tapi sekarang aku udah punya pacar. Jadi aku mau semuanya jelas. Enggak akan ada apa-apa di antara kita.”
Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas dari saku belakang celananya dan melemparkannya ke atas ranjang.
“Kita udah bukan pasangan suami istri lagi. Dan kamu harus tandatangani ini!”
Aku mengambil kertas itu, ternyata surat cerai. Rasanya ingin menangis. Nama kami berdua tertulis di sana, dipisahkan oleh kata "Ikrar Talak". Aku pikir nama kami akan selalu disatukan dengan kata "Love", bukan dipisahkan seperti musuh begini.
Aku melempar kertas itu ke ranjang. “Aku enggak mau tanda tangan!”
“Bukan perkara kamu mau atau enggak.” Ernest menyisir rambut gelapnya dengan tangan. Tiba-tiba aku teringat satu momen, saat kami duduk di sofa, kepalanya di pangkuanku. Jari-jariku menyisir rambutnya sambil dia bercerita tentang beruang. Aku tertawa, lalu dia menarik kepalaku untuk menciumku.
Aku mengangguk pelan. “Aku enggak bakal tandatangani. Enggak sampai aku tahu alasannya!”
“Alasan apaan?” Dia mengangkat tangan, terlihat kesal.
“Kenapa aku ninggalin kamu. Soalnya aku ngerasa, aku enggak pernah ngelakuin itu.”
Dia mengepalkan tangan. “Tanya aja ke semua orang. Kamu memang ninggalin aku.”
“Ya aku enggak ingat, jadi aku enggak bakal tanda tangan sampai aku tahu kenapa alasannya.”
Tatapannya tajam, matanya menyala. “Ya ampun, Lavinia ... Aku tuh lagi nyoba bantu kamu di sini. Ngerti, enggak, sih? Kasih aku feedback lah, paling, enggak!”
“Aku bakal kasih sesuatu, kok. Dan aku enggak bakal nyerah buat ini.”
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu.” Dia jalan mendekat.
“Itu dulu. Sekarang beda!” Kakiku mengetuk lantai. Kami pun berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!” teriaknya.
Aku letakkan tanganku di dadanya. Detak jantungnya terasa kencang di telapak tanganku. Dia menelan ludah, rahangnya mengeras. Tapi dia enggak menyingkirkan tanganku. Mungkin itu pertanda baik. Aku masih bisa merasakan cinta di antara kami yang belum mati.
“Kamu masih sayang sama aku, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tanda tanganin suratnya, Lavinia!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?” Aku menggeser pelan tanganku di dadanya.
Dia menangkap pergelangan tanganku, menahan agar tanganku enggak bergerak lebih jauh. Tapi dia juga enggak melepasnya. “Enggak ada kesepakatan. Tandatanganin!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi, apa pun yang terjadi ... mau aku ingat atau enggak ... kalau kamu masih ingin cerai, aku bakal tandatangani!”
Tatapan kami terkunci. Aku bisa melihat dia benar-benar mendengarkannya. Biasanya saat aku dekat dengannya, dia seperti pura-pura enggak melihatku. Tapi sekarang, dia benar-benar memperhatikanku seperti saat aku pertama kali kembali padanya.
Aku sedikit berjinjit. Dia melepaskan pegangan di pergelangan tanganku, lalu tangannya jatuh ke pinggangku. Napasku enggak karuan. Perlahan, kami semakin dekat. Saat bibir kami tinggal beberapa senti, dia tiba-tiba melepaskanku, mundur, dan berjalan menuju pintu.
“Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi.” Lalu dia menutup pintu.
Aku mengambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak bakal tanda tangan.
lanjut kak