NovelToon NovelToon
Teman Level Adalah Pokoknya

Teman Level Adalah Pokoknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Teen Angst / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.

​Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.

​Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22: KUNCI DI BALIK KABUT MALANG

Udara pagi di Malang menyentuh kulit dengan dingin yang menusuk, jauh berbeda dengan hawa Surabaya yang gerah dan menyesakkan. Di sebuah rumah tua bergaya kolonial yang terletak di pinggiran kota, kabut tipis masih menyelimuti halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon pinus tinggi. Rumah ini milik Pak Haris, seorang jurnalis senior yang sudah pensiun, satu-satunya orang yang masih berani memberikan perlindungan bagi Firman dan Yasmin di tengah kejaran kekuasaan Dr. Syarifuddin.

Firman berdiri di beranda kayu yang sedikit lapuk, menatap ke arah lembah yang masih tertutup kabut. Di tangannya, ia memegang sebuah folder cokelat yang sudah mulai menguning. Berkas "Proyek Lentera". Ia telah membacanya berulang kali sepanjang malam, namun ada satu hal yang terus mengusik pikirannya: ada urutan halaman yang melompat dari angka 14 langsung ke 16. Halaman 15 menghilang.

"Mas..."

Suara lembut itu memecah keheningan. Firman menoleh dan melihat Yasmin berdiri di ambang pintu. Perempuan itu mengenakan sweater rajut tebal berwarna abu-abu, matanya masih tampak sembab namun sudah lebih tenang. Di tangannya, ia memegang sebuah kunci kuno dengan gantungan berbahan perak berbentuk bunga melati.

"Ibu baru saja menelepon lagi," Yasmin berjalan mendekat, suaranya bergetar. "Ayah benar-benar tidak bisa dihubungi. Tapi kemarin malam, sebelum dia menghilang, dia sempat menitipkan kunci ini kepada Ibu melalui seorang kurir tanpa identitas. Ayah bilang, jika terjadi sesuatu padanya, kunci ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan hidupku... dan hidupmu."

Firman menerima kunci itu. Berat dan dingin. "Kunci loker? Ibu bilang di mana lokasinya?"

"Di sebuah klinik tua di kawasan Ampel, Surabaya. Klinik Al-Ikhlas. Itu adalah tempat praktek pertama Kakek sebelum dia pindah ke rumah sakit besar," Yasmin menatap Firman dengan penuh harap sekaligus ketakutan. "Ayah bilang, ada sesuatu yang harus kamu tahu tentang ibumu, Firman. Dan sesuatu yang harus aku tahu tentang ibuku."

Firman tertegun. Ibumu? "Ibuku meninggal karena komplikasi saat aku masih kecil, Yas. Ayah selalu bilang begitu."

"Tapi kenapa Ayahku bilang ada rahasia di sana? Kenapa Kakek menyimpan sesuatu di klinik itu selama dua puluh tahun?" Yasmin meremas ujung sweater-nya. "Aku merasa... aku merasa identitasku selama ini hanyalah sebuah karangan bunga yang menutupi kuburan rahasia."

Firman mengembuskan napas panjang, kepalanya mendongak menatap langit Malang yang perlahan mulai terang. "Kita harus kembali ke Surabaya, Yas. Malam ini juga."

Perjalanan Kembali ke Surabaya, Pukul 20.00 WIB.

Mereka menggunakan mobil tua milik Pak Haris yang tidak mencolok. Rendy mengemudi di depan, matanya terus waspada melihat ke kaca spion, memastikan tidak ada mobil hitam yang membuntuti. Firman dan Yasmin duduk di kursi belakang, tangan mereka saling bertautan erat di bawah selimut tipis.

"Man, lo yakin nggak mau minta pengawalan dari rekan pers kita di Surabaya?" tanya Rendy pelan. "Kawasan Ampel itu padat, tapi kalau orang-orang Syarifuddin sudah nunggu di sana, kita bakal terjebak."

"Jangan," jawab Firman tegas. "Semakin sedikit orang yang tahu, semakin aman. Syarifuddin saat ini sedang sibuk memulihkan citranya di media nasional. Dia tidak akan berani melakukan tindakan terbuka di tempat umum seperti Ampel. Dia akan menunggu sampai kita menemukan apa yang dia cari."

Yasmin menyandarkan kepalanya di bahu Firman. Ia bisa merasakan detak jantung Firman yang stabil, namun otot-otot bahu pria itu masih terasa kaku karena ketegangan.

"Mas..." bisik Yasmin.

"Iya?"

"Jika nanti di klinik itu kita menemukan sesuatu yang membuat kita harus saling membenci... apakah kamu akan melepaskan tanganku?"

Firman terdiam sejenak. Ia teringat wajah ayahnya di foto lama. Ia teringat bagaimana perjuangan ayahnya mengungkap kebenaran yang berakhir tragis. Namun, ia juga menatap wajah Yasmin satu-satunya alasan ia masih merasa memiliki hati di tengah dunia jurnalisme yang sinis.

"Yas, Level 4 yang saya bilang di Surabaya itu bukan sekadar kata-kata," jawab Firman sambil mengecup puncak kepala Yasmin. "Kita sudah melewati level di mana kita saling menyelamatkan nyawa. Sekarang kita ada di level di mana kita harus menyelamatkan masa depan kita dari hantu masa lalu. Apapun yang ada di klinik itu, itu adalah kesalahan orang tua kita, bukan kesalahan kita. Saya tidak akan pernah melepaskan tanganmu, kecuali kamu sendiri yang memintanya."

Yasmin memejamkan mata, membiarkan setetes air mata jatuh di lengan jaket Firman. Ia ingin percaya. Ia harus percaya.

Kawasan Ampel, Surabaya, Pukul 22.30 WIB.

Suasana di kawasan Ampel masih cukup ramai dengan para peziarah dan pedagang makanan khas Timur Tengah. Namun, di sebuah gang sempit yang jauh dari keramaian makam, berdiri sebuah bangunan tua berlantai dua yang tampak suram. Plang bertuliskan "Klinik Al-Ikhlas" sudah berkarat dan tertutup tanaman merambat.

Firman, Yasmin, dan Rendy turun dari mobil dan berjalan cepat menuju pintu kayu besar klinik tersebut. Firman memasukkan kunci melati ke dalam lubang kunci yang sudah berdebu.

Klik.

Pintu terbuka dengan suara derit yang panjang, menyebarkan aroma debu, kertas lama, dan sisa-sisa antiseptik yang sudah kedaluwarsa. Rendy menyalakan senter kuatnya, menyisir ruangan yang dipenuhi peralatan medis kuno yang sudah diselimuti kain putih.

"Loker nomor 09. Ayah bilang di ruang arsip lantai dua," bisik Yasmin.

Mereka menaiki tangga kayu yang berbunyi setiap kali diinjak. Di lantai dua, sebuah ruangan kecil dengan deretan loker besi tua menyambut mereka. Firman mencari nomor 09. Begitu menemukannya, ia kembali menggunakan kunci melati tersebut.

Di dalam loker itu, tidak ada emas atau uang. Hanya ada sebuah kotak kayu kecil yang didalamnya berisi sebuah diari bersampul kulit merah dan sebuah map plastik bening berisi dokumen medis.

Firman membuka map plastik itu terlebih dahulu. Matanya menyipit saat membaca judul di halaman pertama: "SUBJEK LENTERA 01: ELIZA PUTRA."

"Eliza Putra?" Rendy bergumam di samping Firman. "Man... itu kan nama ibu lo?"

Tangan Firman gemetar hebat. Ia membaca dengan cepat. Catatan medis itu menunjukkan bahwa ibunya, Eliza, bukan meninggal karena sakit biasa. Eliza adalah salah satu relawan "uji coba" pertama dari Proyek Lentera yang dirancang oleh kakek Yasmin dan Syarifuddin. Ibunya diberikan obat eksperimental yang ternyata memiliki efek samping mematikan bagi jantung.

"Ibuku... ibuku dijadikan kelinci percobaan?" suara Firman terdengar parau, penuh dengan amarah yang meledak-ledak di dalam dadanya.

Namun, kejutan sesungguhnya belum selesai. Yasmin meraih diari merah itu. Ia membukanya ke halaman tengah. Di sana, tertempel sebuah foto dua orang wanita muda yang sedang tersenyum bahagia sambil menggendong bayi.

Satu wanita adalah Eliza, ibu Firman. Dan wanita satunya lagi...

"Ibu?" Yasmin tertegun. Wanita di samping Eliza adalah ibunya sendiri, yang ia kenal sebagai istri dari Dokter Hendrawan.

Namun, tulisan di bawah foto itu membuat Yasmin hampir pingsan.

"Sahabatku Eliza, meski kita mencintai pria yang berseteru Baskara dengan idealismenya dan Hendrawan dengan ambisinya bayi-bayi kita, Firman dan Yasmin, harus tetap bersaudara di bawah cahaya yang sama. Semoga Proyek Lentera ini benar-benar membawa kesembuhan, bukan kutukan seperti yang Baskara khawatirkan."

Yasmin terus membalik halaman diari itu. Ia menemukan sebuah surat yang ditulis oleh ibunya sendiri sebelum meninggal.

"Hendrawan, jika kamu membaca ini, artinya aku sudah tiada. Aku tahu apa yang kamu lakukan pada Eliza. Aku tahu kamu membiarkan dia mati demi menutupi kegagalan obat itu agar dana investasi internasional tetap mengalir. Tapi ada satu hal yang tidak kamu tahu... Yasmin bukan anak kandungmu. Eliza melahirkan bayi kembar di klinik ini, namun karena kondisinya kritis, dia hanya mampu menjaga satu. Aku mengambil Yasmin untuk melindunginya dari ambisimu, menjadikannya anakku agar dia memiliki kehidupan yang layak sebagai putri seorang dokter. Firman dan Yasmin adalah saudara sedarah. Tolong, jangan hancurkan mereka seperti kamu menghancurkan Eliza dan Baskara."

Keheningan yang mematikan jatuh di ruangan arsip itu. Senter di tangan Rendy terjatuh ke lantai, cahayanya berputar menciptakan bayangan yang mengerikan di dinding.

Firman menatap Yasmin. Wajah perempuan itu seputih kertas. Kunci melati yang ia pegang terjatuh, denting logamnya terdengar seperti suara kaca yang pecah.

"Saudara... sedarah?" bisik Firman. Suaranya terdengar seperti berasal dari tempat yang sangat jauh.

Dunia seolah berhenti berputar bagi Firman. Semua perjuangannya, semua rasa cintanya, semua rencananya untuk Level 4... semuanya mendadak berubah menjadi sebuah tragedi yang paling kejam. Wanita yang ia cintai, wanita yang ia lindungi dengan nyawanya, ternyata adalah adik kembarnya yang selama ini dianggap sudah meninggal saat lahir.

"Nggak mungkin... Mas, ini pasti bohong! Ayahku... Ayahku nggak mungkin setega itu!" Yasmin berteriak histeris, ia merampas diari itu dan membacanya lagi dengan mata yang dipenuhi air mata.

"Fakta medis ini tidak bisa bohong, Yas," ucap Firman, suaranya kini terdengar sangat dingin dan hampa. Ia menunjuk hasil tes DNA janin dan catatan kelahiran yang juga ada di dalam map tersebut. "Kakekmu, atau pria yang kamu sebut kakek, memisahkan kita. Dia membunuh ibu kita, dan dia menjadikan kamu sebagai kompensasi atas rasa bersalahnya, sambil terus menghancurkan ayah kita."

Yasmin mundur perlahan, menatap Firman dengan tatapan horor. "Jadi... semua ini adalah rencana Syarifuddin dan kakekku? Mereka membiarkan kita bertemu di Samarinda? Mereka membiarkan kita saling jatuh cinta hanya untuk menghancurkan kita saat kita menemukan kebenarannya?"

Tiba-tiba, suara tepuk tangan terdengar dari arah tangga.

Dr. Syarifuddin muncul di kegelapan pintu arsip, diikuti oleh beberapa pria berseragam hitam. Ia tidak lagi mengenakan jas menteri, melainkan jaket kulit hitam yang membuatnya tampak seperti malaikat maut.

"Luar biasa," ucap Syarifuddin dengan senyum yang sangat ramah. "Akhirnya kalian menemukan halaman 15 yang hilang itu. Halaman yang menjelaskan kenapa Baskara Putra harus mati. Dia tahu kalian kembar, dan dia berniat membawa Yasmin pergi dari Hendrawan. Itulah kenapa dia harus dihentikan di tol Cipularang."

Syarifuddin melangkah masuk ke dalam ruangan. "Sekarang kalian tahu rahasia terbesarnya. Kalian mencintai darah kalian sendiri. Sebuah dosa yang indah, bukan? Dan sekarang, Firmansah, serahkan seluruh berkas itu padaku. Biarkan Proyek Lentera tetap menjadi legenda, dan aku akan membiarkan kalian berdua hidup di pengasingan, jauh dari satu sama lain."

Firman berdiri di depan Yasmin, meskipun kakinya terasa lemas. Ia menatap Syarifuddin dengan kebencian yang sudah mencapai puncaknya. "Anda bukan manusia. Anda adalah iblis."

"Iblis yang memegang kendali atas hidupmu, anak muda," Syarifuddin memberikan isyarat pada anak buahnya. "Ambil berkasnya. Dan bawa dr. Yasmin ke mobil. Dia masih memiliki nilai guna sebagai 'putri' Hendrawan untuk menenangkan para pemegang saham."

"Nggak! Jangan sentuh dia!" teriak Firman.

Terjadi keributan singkat. Firman mencoba melawan, namun bahunya yang masih cedera membuatnya mudah dilumpuhkan. Rendy mencoba membantu, namun ia segera dipukul hingga pingsan. Syarifuddin berjalan mendekati Yasmin yang sedang terpaku dalam syok berat.

"Ayo, Yasmin. Mari pulang ke rumah yang sebenarnya. Rumah yang dibangun di atas kebohongan yang rapi," bisik Syarifuddin.

Saat Yasmin diseret keluar, ia menatap Firman untuk terakhir kalinya. Mata mereka bertemu. Tidak ada lagi binar cinta, hanya ada luka yang begitu dalam hingga tidak ada kata yang sanggup melukiskannya.

"Mas Firman..." lirih Yasmin sebelum ia menghilang di balik kegelapan tangga.

Firman terkapar di lantai ruang arsip yang dingin, memeluk diari merah ibunya. Ia telah menemukan kebenaran yang ia cari selama dua puluh tahun, namun kebenaran itu justru membunuh bagian terbaik dari dirinya.

Satu Jam Kemudian.

Firman duduk di lantai, sendirian di tengah kegelapan klinik tua itu. Rendy mulai siuman di sampingnya. Di luar, suara sirine polisi mulai terdengar mendekat, namun Firman tidak peduli.

Ia membuka halaman terakhir diari ibunya. Ada satu baris tulisan yang hampir tidak terbaca karena noda darah.

"Firman, jika kamu menemukan adikmu... jangan biarkan dia menjadi seperti mereka. Jadilah cahaya baginya, meski kamu harus membakar dirimu sendiri dalam kegelapan."

Firman mengepalkan tangannya. Ia menghapus air matanya. Sorot matanya kini tidak lagi dingin, tapi membara dengan jenis api yang berbeda.

"Level 5," gumam Firman. "Level di mana aku akan menghancurkan seluruh duniamu, Syarifuddin. Dan aku akan membawa Yasmin kembali, bukan sebagai kekasih, tapi sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa bagiku."

Firman secara resmi dinyatakan sebagai buronan nasional atas tuduhan 'pencurian dokumen negara' dan 'penyerangan terhadap menteri'. Sementara itu, Yasmin dikurung di sebuah sanatorium mewah milik keluarga Syarifuddin di kaki Gunung Bromo, dipaksa untuk menjalani 'terapi pembersihan memori'. Firman kini harus bekerja sama dengan seseorang yang sangat ia benci Sarah yang ternyata memiliki kunci akses ke sanatorium tersebut. Akankah Firman sanggup bekerja sama dengan wanita yang menghancurkan hidupnya demi menyelamatkan kembarannya? Dan rahasia apa yang disembunyikan ibunda Yasmin (Ibu Diana) yang sebenarnya masih hidup dan bersembunyi di Singapura?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!