Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 9~ Ditandai
Udara masih terlalu dingin untuk beraktivitas, bahkan matahari saja belum menunjukan kuasanya. Diantara langit gelap yang masih menelan siapapun makhluk di bumi, mak sudah mengantarkan Sekar ke sanggar Mayang.
Sekar melirik rumah panggung bilik yang masih menguarkan sinar lampu hangat nan keoranyean, dimana ia semakin jauh dari pandangan.
Shhh huft! Sekar merapatkan badannya pada mak, dengan kain jarik yang membalut melindungi kedua bahunya dari serbuan suhu udara, bersama penerangan obor bambu yang diangkat Mak tinggi-tinggi sebagai penerangan.
"Sing bisa jaga diri ya neng, lakukan apa yang menurutmu benar, dan hentikan jika dirasa itu telah salah. Kita tidak punya apapun selain marwah untuk dijaga." Netra senja Mak menatap Sekar penuh harap, seolah ada harga diri keluarga yang dipertaruhkan disana. Entahlah----Sekar merasa, apa mak tau dengan semua yang berhubungan dengan profesi ini?
Langkah mereka telah sampai di depan sanggar yang tampak hangat dengan siraman sinar oranye dari bohlam. Bahkan terlihat dari pendopo depan, ada obor di sisi kanan kiri gerbangnya.
"Do'ain aku ya mak," Sekar benar-benar menghirup aroma kayu bakar dari punggung tangan mak, begitupun Mak yang mengecup kening lembut Sekar seraya berkomat-kamit melangitkan do'a.
Dan langkah langkah mak yang menjauh, membuat Sekar berbalik dan menatap mantap bangunan Sanggar, bersamaan dengan datangnya teh Nuroh, dan teh Sari.
"Kar, sudah disini juga...yuk." giring mereka.
Nyatanya amih Mayang sudah menyiapkan peralatan make upnya disana.
"Masuk..."
"Yani sama Ros sudah di make up..."
Memang benar wajah kedua gadis itu sudah mulai teraplikasikan riasan benar-benar manglingin (bikin pangling). Sekar duduk, sejumlah alat riasan sudah siap menunjang penampilannya.
Ada yang ia rasa sedikit aneh, Yap! Nyai Mirah mengunyah sesuatu yang menurut Sekar sedikit aneh, bunga melati?
Sekar berdehem mengusir dahak di tenggorokannya yang mendadak mengganggu. Lantas wanita paruh baya itu meraih dagu dan wajahnya, "merem, Kar..."
Sekar menatap pantulan wajahnya di cermin sebesar dirinya, ada senyum terurai menatap dirinya sekarang.
Amih Mayang berdiri tepat di belakang Sekar, "tuh kan, baru mekar nih bunganya. Ini kalo saya yang jadi anggota rampak jaipong, udah was-was banget dapat junior kaya kamu, *meresahkan*, bisa tumplek ke kamu semua sawerannya." Selorohnya, "cocoknya jadi selir atau permaisuri raden ini..."
Sekar menggeleng dimana kembang goyang yang telah ditusukan--- dipasang di rambutnya itu ikut bergoyang.
Amar sudah siap dengan pakaian ciri khas kasepuhan, entahlah...ia kadang tak begitu suka. Hanya saja jika sedang melakukan kunjungan kerja dengan membawa bendera kasepuhan, sudah pasti pakaian ini yang mereka pakai sebagai baju kebesaran.
Amar memandang dirinya di depan cermin, mungkin benar orang bilang. Pakaian yang dipakai itu akan mendongkrak karakter dan kharisma seseorang.
Pintu kamarnya diketuk dari luar, "ya?"
"Ibunda boleh masuk?" ia sudah membuka handle pintu dan masuk dengan senyuman puasnya melihat sang putra. Jembar Kasih menaruh dagunya di pundak sang putra, "anak bunda tampan sekali."
Amar hanya terkekeh geli, "apa yang bunda mau?" seolah tau, dan Jembar Kasih menatap Amar menyipit, "bunda jujur, Amar. Sudah cocok jadi pengganti ayahanda."
Amar menggeleng dan mendengus sumbang, "apa yang bunda bicarakan. Ada kakang Bahureksa. Lagipula aku tidak mau jadi pemimpin kasepuhan selanjutnya jika ayah lengser. Bunda tau apa mauku. Aku tidak mau sesibuk ayahanda, tidak mau menghabiskan waktu hidupku di kasepuhan." Amar memasang arloji dan menyemprotkan parfumnya.
"Tapi Amar, dengan bunda....kakangmu akan bunda dan ayahanda jodohkan dengan putri mahkota, pewaris tahta dari trah Cokrosworo...yang otomatis ia akan membantu istrinya memimpin disana. Lalu kasepuhan? Ayahanda sangat berharap kamu. Kamu yang lebih cocok dan sangat pantas. Bunda dan ayahanda sudah menggantungkan harapan padamu."
"Kelak kamu akan memiliki pendamping yang setara, bunda janji akan mencari calon pendamping terbaik dari keluarga-----"
"Bunda." Amar menatap sang ibu yang membalasnya dengan tatapan getir nan memelas, "justru itu. Untuk sekali ini, untukku....aku mohon. Permintaanku tak banyak. Aku ingin menjalani kehidupan seperti apa yang kumau. Oke aku tidak akan lepas tangan membiarkan kakang Reksa sendiri, atau membiarkan ayahanda sendiri tapi----"
"Amar!" tukas bunda tak mau dengar, "memangnya kehidupan seperti apa yang kau mau? Memangnya apa yang telah kami berikan tidak cocok dan belum menjadi yang terbaik untukmu?"
Amar mengulas senyuman, berusaha berdamai dengan ego yang sebenarnya ingin sekali ia mengacak-acak kembali tatanan rambutnya saat ini, jika tak ingat ia sudah bersusah payah, "bunda dan ayahanda sudah melakukan yang terbaik untuk kami. Tapi bunda, aku sudah besar, aku ingin menjalani hidup atas keputusanku sendiri, lalu aku yang akan menanggung resiko dan tanggung jawabku sendiri."
"Aku berjanji bunda, akan melakukan yang terbaik untuk diriku sendiri."
Wajah ibunda menjadi kaku, tanda jika sang permaisuri yang tidak biasa dibantah ini sedang kesal dan marah, ia menghela nafasnya, "cukup. Lakukan apa yang kau mau, tapi bunda dan ayah juga tak akan berhenti melakukan apa yang kami mau." ia pergi dari kamar Amar tanpa meninggalkan apapun selain dari permasalahan baru yang tak ada titik temunya.
Lelaki itu menghela nafasnya berat seolah masalah ini akan menjadi masalah seumur hidupnya dan tak kan ada penyelesaiannya selain dari salah satu dari ibunda dan ayahanda atau dirinya yang mati.
Bahureksa sudah keluar, paras tampannya terbingkai pahatan wajah tegas dan bengis. Menunjukan sisi arogan dalam balutan baju merahnya. Sementara Somantri nampak kalem diantara balutan busana biru tua. Wajahnya itu nampak tenang seperti air sungai. Disusul Wardana si cowok SMA yang bersiap lulus dan banyak digandrungi teman-teman perempuannya. Dan Andayani, tentu saja ia yang paling cantik diantara keempat kakak lelakinya.
"Hati-hati...dengar kata kakangmu, dan lihat ia bekerja," amih Anarawati mengusap sang putra Wardana, karena kelak, kerajaan bisnis milik ayahanda akan jatuh pada putra-putrinya. Sama halnya dengan mereka, ia pun sudah menjinjing tas perlengkapan miliknya, bersiap untuk ke rumah sakit daerah, dimana ia bertugas dan tak dapat ditinggal. Sementara amih Mahiswar, ia memiliki kesibukan sendiri dengan beberapa sanggar.
"Mana Amar?" tanya Reksa yang langsung menunjukan dirinya dari arah ruang makan, "hadir!" ia terkekeh usil sambil mengunyah cemilan.
"Ayah dan ibunda sudah berangkat ke Bandung. Dan hanya menitipkan salam serta kalian padaku. Jangan banyak bertingkah, apalagi kau---Amar." Ia seperti menempatkan dirinya sebagai seorang kakak tertua dan pemimpin, setiap keputusan dan langkahnya tak mau terbantahkan. Bahureksa sudah melangkah duluan ke depan.
Sementara Somantri, Wardana dan Andayani, berjalan bersama Amar menyusul Reksa.
"Jangan banyak bertingkah, apalagi kau Amar, adikku yang paling ganteng!" tiru Amar menunjuk Andayani dan Wardana dimana mereka sudah cekikikan bersama Somantri, "kakang Reksa tau, habis kau..." cibir Somantri tertawa.
Amar hanya menggidik tak acuh berjalan bersama ketiga lainnya. Membantu Andayani naik ke mobil diikuti beberapa abdi dalem yang menjadi pengawal mereka.
/
Hanya dalam waktu tak lebih dari 30 menit saja, rombongan kasepuhan sampai di pabrik kerupuk yang telah beroperasi lebih dari usia mereka saat ini. Pabrik kerupuk udang yang produknya bahkan sudah tersebar ke seluruh penjuru Indonesia bahkan sampai keluar negri. Jumlah karyawan yang dimiliki pun cukup banyak, mampu menyerap masyarakat berbagai kalangan dan mengurangi angka pengangguran setiap tahunnya.
Kehadiran mereka lantas disambut oleh manager, staff-staff tertinggi yang berebut salam dengan mereka, terlebih Bahureksa dan Amar.
"Wilujeng sumping Raden bagus...Raden Ajeng ..."
"Silahkan....silahkan...."
Berpasang-pasang mata kini memaksa melihat kedatangan para keturunan ningrat kasepuhan yang mereka cintai itu. Di mata masyarakat kota udang, kasepuhan itu begitu sangat berjasa untuk kota ini.
Dan jelas, hadirnya para keturunan raja ini sangat menarik animo masyarakat, para karyawan yang ingin bertemu dan menyaksikan langsung mereka.
"Raden bagus..."
"Raden Ajeng..."
Amar mengernyit melihat gagahnya pabrik yang telah puluhan tahun memberikan penghidupan untuknya, keluarganya, masyarakat, serta devisa dan pajak negara.
Cerobong-cerobong asapnya mengepulkan asap bau pembakaran demi hidupnya puluhan penggorengan, pengukusan bahan dasar. Mesin-mesin lama dan tradisional bercampur dengan mesin canggih yang mulai merambah bisnis industri.
"Sekar, mau kemana?"
"Amih, aku mau ke toilet." ijinnya, membuat amih Mayang berdecak, pasalnya baju yang dipasang itu, cukup ribet dipakai jika sekali dilepas.
"Ck. Kamu tuh..."
"Biar saya saja yang antar Sekar, amih." ujar nyai Mirah sangat paham dengan Sekar, maklum ia baru.
"Makasih nyai..." gugup membuatnya ingin pi pis.
"Sami-sami neng. Yuk!"
"Jangan lama nyi..." pinta amih Mayang diangguki Nyai Mirah.
Sekar ditemani nyai Mirah beranjak mencari toilet.
Kelima putra raja ini sedang dituntun melihat beberapa proses dan tahapan setiap produksi, Amar berbisik pada Bahureksa, "kang saya ke toilet sebentar."
"Ya. Kalau tertinggal menyusul saja."
Amar bergegas meskipun seorang abdi dalem mengikutinya sebagai pengawal di belakang.
"Maaf jadi ngerepotin ya, nyai..." ayunan langkahnya terpaksa ia gusur lebih cepat, takut jika nanti amih Mayang marah.
Suara deheman lelaki membuat langkahnya terhenti, sejenak. Bersamaan dengan Amar yang ikut tersentak melihat Sekar bersama nyai Mirah.
"Gusti raden bagus..." nyai Mirah langsung membungkuk saat tau wajah Amar. Sementara Sekar sempat terdiam sejenak memandang lelaki dalam balutan pakaian kasepuhan warna hijaunya untuk kemudian membungkuk.
Amar terdiam, benar-benar mematung menatap wajah mungil dengan paras cantik, hidung mancung, bibir semerah da rah Sekar. Percaya atau tidak, jantungnya ikut terhenti sepersekian detik saat ia berkata.
"Nyai, kita cari toilet lain saja. Permisi Raden." sorot mata tajam diantara warna hitam itu, ya! Itu gadis yang waktu itu marah-marah pada adiknya, betul kan?
"Raden, Gusti Raden...jadi ke toiletnya?" pertanyaan sang abdi dalem menyadarkannya dari lamunan dimana matanya masih menatap kepergian gadis cantik bersama wanita tadi.
Sekar sama sekali tak menoleh. Disaat orang lain mengelu-elukan namanya, berburu salam dan ingin mengerubunginya seperti lalat, gadis itu bahkan sama sekali tak tersenyum, wajahnya justru terpantau kaku dan....judes. Padahal wanita paruh baya tadi saja sudah menunduk lungguh dan tersenyum ramah, seolah hormat dan segan.
Amar mendengus sumbang, gila! Apa pesona dan kharismanya sudah luntur? Atau tak mempan untuknya?
Amar tandai, jika ia....adalah salah satu ronggeng yang akan ngibing untuknya...oke, akan ia tandai postur tubuh dan wajah gadis itu.
.
.
.
.
.
q juga kalau jari sekar ogah hidup enak banyak duwit tapi tekanan batin, yang ada mati muda dih sayang amat🙈
Bukk jangan hina tikus ya, tikus di Ratatouille visa masak Lo.
ibuk liat Sekar itu tikus ya.. kasian aku sama ibuk ini , matanya sakit kah?? jangan² katarak ya makanya gk bisa bedain manusia sama tikus🤪
kedua kurang mempersiapkan strategi , kelamaan memantau.
ketiga anda kurang beruntung itu aja
maaf ya kamu keduluan sama adekmu tuh yg namanya amar, dia tawarin Sekar jadi. istri satu²nya
amihh jembar anakmu nih yaa yg k3gatelan sama Sekar bukan Sekar yg menggoda