Di malam yang sama, Yu Xuan dan Chen Xi meregang nyawa. Namun takdir bermain jiwa Yu Xuan terbangun dalam tubuh Chen Xi, seorang budak di rumah bordil. Tak ada yang tahu, Chen Xi sejatinya adalah putri bangsawan Perdana Menteri, yang ditukar oleh selir ayahnya dengan anak sepupunya yang lahir dihari yang sama, lalu bayi itu di titipkan pada wanita penghibur, yang sudah seperti saudara dengan memerintahkan untuk melenyapkan bayi tersebut. Dan kini, Yu Xuan harus mengungkap kebenaran yang terkubur… sambil bertahan di dunia penuh tipu daya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9.Ragu.
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika kabut putih tipis melayang di atas atap-atap batu Han yue. Suara bel kecil dari kuil di ujung jalan berdentang pelan, menandai pergantian waktu antara malam dan pagi. Di halaman depan Yue zhi, udara masih dipenuhi sisa aroma dupa dan bunga melati dari pesta besar semalam.
Namun tak seperti semalam yang riuh, pagi ini hening.
Xiao long berdiri di bawah pohon plum tua, memandangi paviliun tempat “Wanita Bulan” tampil. Ia datang lebih awal dari siapa pun, berharap bisa berbicara, menjelaskan sesuatu entah apa. Tapi penjaga di gerbang menunduk sopan dan berkata,
“Nyonya Heng memerintahkan agar Wanita Bulan tidak menerima tamu hari ini, Tuan.”
Xiao long terdiam sesaat. Ia tahu maksud ucapan itu bukan sekadar larangan sementara.
Seseorang seperti Nyonya Heng tidak akan membiarkan seorang wanita seperti Chen Xi berhadapan dengan pria yang memiliki kuasa besar, terlebih seorang Jenderal Istana.
Ia akhirnya hanya mengangguk, lalu menatap gerbang tertutup itu.
“Katakan pada Nyonya Heng… aku tidak datang sebagai bangsawan,hanya sebagai penggemar bakat dari wanita bulan.”
Penjaga itu menunduk lagi. “Saya akan sampaikan, Tuan.”
Tapi bahkan setelah satu jam menunggu, tak ada pesan balasan, tak ada pintu yang terbuka.
Dari jendela lantai dua paviliun timur, Chen xi berdiri diam di balik tirai putih.
Ia melihat sosok berpunggung tegak itu dari kejauhan, berdiri tanpa gerak di bawah pohon plum.
Angin pagi berhembus, membawa serpihan kelopak bunga jatuh di pundaknya, dan entah kenapa, dada Chen xi terasa sesak.
“Mengapa kau datang ke tempat seperti ini, Paman…” bisiknya pelan.
Matanya menunduk. “Apakah aku harus percaya… bahwa setiap laki-laki, bahkan yang kupandang paling tinggi, juga tidak bisa lepas dari wanita cantik?”
Xu yuan pun teringat kenangan dirinya saat menjadi putri di istana, semua keluarga dekat menjauhinya karena dipandang sebagai putri tanpa kekuasaan dan kekuatan.
Tapi hanya Xiao long yang menemani kesepian Xu yuan, pamannya itu saat berada di istana selalu menyempatkan waktu untuk bersamanya dan hubungan mereka lebih dekat dari Kaisar ayah Xu yuan sendiri.
Karena itu hatinya terpukul melihat pamannya yang ia kagumi, datang ke rumah bordil hanya untuk melihat wanita cantik dan bersenang-senang.
Dengan itu Xu yuan memutuskan untuk tidak menemui Xiao long, bagaimanapun dia tidak boleh terlalu dekat dengan dirinya karena Xiao long bisa mengenalinya.
Namun di balik kekecewaannya, ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan—
kerinduan yang samar, rasa ingin tahu yang tumbuh tanpa izin.
Ia ingin keluar, ingin menanyakan sendiri alasan kedatangannya. Tapi Nyonya Heng sudah lebih dulu menemuinya pagi itu.
“Xi’er,” katanya lembut namun tegas, “ibu tidak mau kamu berhubungan dengan para bangsawan itu,mereka tidak ada yang baik selama ibu menjadi wanita penghibur.Mereka menginginkan kita hanya untuk bersenang-senang,jadi tuan yang ada dibawa itu aku tidak izinkan menemuimu.”
Chen xi menunduk, tak menjawab.
“Seperti keputusan mu yang dulu,kamu bukan menjadi wanita penghibur hanya belajar seni dari para gadis disini. ”
Ucapan itu menancap dalam. Maka Chen xi tetap diam di balik tirainya, sementara di luar sana, Xiao long menatap ke arah yang sama tanpa tahu bahwa hanya beberapa langkah memisahkan mereka.
Siang menjelang. Suara derap kuda dan denting logam terdengar dari arah gerbang selatan kota.
Utusan istana telah tiba,membawa perintah langsung dari kaisar untuk memanggil Jenderal Xiao long kembali ke ibu kota.
Di hadapan barisan tentaranya, Xiao long tampak tenang seperti biasa. Namun Han, pelayan kepercayaannya, sempat melihat sepasang mata yang menatap ke arah belakang sebelum Jenderal mereka naik ke kuda.
Ke arah Yue zhi.
“Tuan,” ujar Han pelan, “kita harus segera berangkat.”
“Aku tahu.”
Xiao long menunduk sebentar, lalu menatap langit kelabu.
“Katakan pada pengawal rahasia kita,untuk menjaga wanita bulan dari bahaya dan pria hidung belang.”
Han mengangguk, meski tak sepenuhnya mengerti maksudnya.
Kuda melangkah maju, meninggalkan jalan batu yang dingin. Di atas pelana, Xiao long menoleh sekali terakhir ke arah lentera yang masih tergantung di paviliun putih.
Lentera itu berayun pelan, seperti ingin berpamitan.
Sementara itu, di dalam kamar yang diterangi cahaya lembut, Chen xi menatap kertas kosong di hadapannya.
Ia mengambil kuas, mencelupkannya ke tinta, lalu menulis dengan tangan gemetar:
“Bunga bulan hanya mekar di malam yang sunyi.
Bila angin datang membawa kabar, biarkan ia berlalu—
karena siapa pun yang menatap bulan terlalu lama,
akan lupa bagaimana rasanya tidur dalam gelap.”
Tinta menetes, membentuk noda kecil di sudut kertas.
Chen xi menutup matanya sejenak, lalu berbisik lirih,
“Selamat jalan, Paman.”
Ia tidak tahu, di luar sana, seseorang di atas kuda menatap ke arah langit yang sama,
menggumam pelan,
“Jaga dirimu.”
Hari itu, mereka berpisah tanpa kata, hanya dengan dua hati yang saling tahu tapi memilih diam dan menghindar.
Namun waktu di Han yue belum selesai menulis kisah mereka
karena di balik ketenangan langit dan tembok istana, sebuah rahasia identitas Chen xi akan merubah takdir mereka.
Langit Han yue beranjak menuju musim semi. Bunga plum yang semula gugur kini mulai digantikan tunas-tunas baru, dan di setiap jalan menuju distrik hiburan, nama “Wanita Bulan” menggema seperti legenda.
Orang-orang dari luar kota datang hanya untuk melihat tarian lembutnya, suara nyanyian yang seolah menyentuh hati, dan wajahnya yang selalu tertutup selendang putih menambah pesona sekaligus misteri.
Dalam waktu singkat, Yue zhi berubah dari rumah hiburan biasa menjadi tempat paling bergengsi di wilayah utara kekaisaran.
Namun kesuksesan itu membawa konsekuensi.
Suatu malam, Nyonya Heng duduk di ruang dalam, menatap tumpukan perhiasan dan surat undangan yang datang dari bangsawan dan pejabat tinggi. Di hadapannya, Chen xi atau tepatnya Xu yuan dalam wujud Chen xi yang sedang menyusun beberapa lembar catatan dan rencana di atas meja.
“Kalau ini terus begini, ibu,” ujarnya tenang, “kita akan kewalahan melayani semua tamu. Yue zhi sudah tidak sanggup menampung banyaknya orang yang datang.”
Nyonya Heng menatapnya dengan mata tajam. “Kau ingin menolak uang dan kehormatan yang datang sendiri, Xi’er?”
Chen Xi tersenyum tipis. “Bukan menolak, Ibu. Aku ingin melipatgandakannya.”
Ia menatap peta di atas meja gambar kasar ibu kota kekaisaran yang ditariknya dengan tinta hitam.
“Lihat, di sini… dekat jembatan Chang an, distrik timur istana. Tempat itu ramai tapi belum ada rumah hiburan yang bisa menandingi Yue zhi. Jika kita membuka cabang di sana, namanya akan langsung menembus lingkaran istana.”
“Cabang Yue zhi di ibu kota?” Nyonya Heng mengulang dengan nada heran.
“Ya,” jawab Chen xi mantap. “Kita bawa seni, musik, dan tarian yang sama. Bukan untuk menjual tubuh, tapi menjual keindahan dan kebanggaan Han yue. Dengan itu, bahkan para pejabat istana akan datang bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk menghormati seni Yue zhi.”
Nyonya Heng terdiam lama. Ada kebanggaan terselip di balik kerut wajahnya.
“Anak ini… benar-benar bukan gadis biasa,” gumamnya pelan, sebelum akhirnya mengangguk setuju.
“Baik, Xi’er. Aku akan percayakan padamu. Tapi kau tahu, membuka cabang di ibu kota artinya berhadapan dengan penguasa, mata-mata, dan orang-orang istana. Sekali salah langkah, kita bisa hancur.”
Chen xi menunduk hormat. “Aku siap menanggung risikonya.”
Namun tidak semua orang menyambut rencana itu dengan suka cita.
Di malam berikutnya, ketika Chen xi sedang memeriksa desain interior dan daftar penghibur yang akan dibawa, Shi zu datang dengan wajah muram. Ia berdiri di ambang pintu dengan pakaian hitam polos, menatap Chen xi dengan tajam.
“Jadi benar kau ingin memindahkan separuh gadis Yue zhi ke ibu kota?” suaranya dingin.
Chen xi menoleh, tersenyum lembut. “Bukan memindahkan, Shi zu. Hanya membuka cabang.”
“Cabang atau bukan, itu tetap rumah bordil,” ucap Shi zu tajam. “Dan ibu kota bukan tempat bagi wanita sepertimu. Kau pikir istana akan diam melihat nama Yue zhi berdiri di bawah bayangannya?”
Chen xi menatapnya tanpa gentar. “Aku tidak berniat melawan istana. Aku hanya ingin membawa seni Yue zhi ke tempat yang lebih tinggi.”
“Lebih tinggi?” Shi zu mendengus. “Kau lupa siapa dirimu sekarang? Seorang wanita yang dulu dijual, kini hendak mengajar bangsawan tentang seni? Kau terlalu berani, Chen xi.”
Suasana menegang. Namun Chen xi tetap tenang, mengambil cawan teh dan menaruhnya di hadapan Shi zu.
“Kami disana bukan menjual tubuh,tapi seni dan hiburan untuk pria berkumpul menikmati ketenangan setelah lelah dengan pekerjaan mereka.”
Shi zu menatapnya lama, mata hitamnya berkilat di bawah cahaya lentera. “Kau akan menyesal.”
Chen xi tersenyum lembut, tapi sorot matanya tajam. “Aku melakukan nya untuk nasib wanita disini,yang memiliki bakat harus dihargai.”
“Sebakat apapun mereka, mereka tetap wanita penghibur.”
Setelah mengucapkan Shi zu pergi dengan marah, berbeda dengan Chen xi yang tenang
Beberapa hari kemudian, di aula utama Yue zhi, Chen xi kembali membicarakan rencana itu di hadapan Nyonya Heng dan semua wanita penghibur.
Ketika Nyonya Heng bertanya siapa yang akan memimpin cabang di ibu kota, Chen xi menatap Shi zu dengan senyum samar.
“Biar aku yang mengurusnya,” katanya tenang.
“Rumah bordil di pinggiran ibu kota, bukan di tengah kota. Di sana lebih aman, tapi cukup dekat dengan kalangan pejabat. Aku akan memastikan semuanya berjalan baik.”
Shi zu yang semula menunduk, spontan menatapnya kaget. “Kau sendiri yang akan mengelolanya?”
“Ya,” jawabnya lembut. “Dan kita bersama mengembangkan nama Yue zhi.”
“Kenapa aku?” Shi xu bertanya dengan nada tajam, tapi di balik matanya ada sedikit keraguan.
“Karena aku percaya padamu,” ucap Chen xi pelan. “Karena kau senior kami yang berbakat.”
Nyonya Heng tertawa pelan, memecah ketegangan. “Xi’er, kau tahu caranya membuat orang tak bisa menolakmu.”
Lalu ia menatap Shi zu. “Kalau begitu, biarkan dia yang mengurus cabang Yue zhi di pinggiran ibu kota,dan kita akan pergi memulai bisnis Yue yang baru”
Shi Zu akhirnya menghela napas panjang. “Baik. aku terima tawaran mu itu. ”
Maka pada awal musim semi itu, Yue zhi cabang ibu kota pun mulai dibangun di tepi sungai yang mengalir tenang, dengan lentera putih menggantung di setiap balkon.
Orang-orang mulai berbicara tentang tempat baru itu, tempat di mana “Wanita Bulan” konon akan menampilkan tarian untuk para tamu istana.
Namun di balik persiapan yang tampak tenang itu, Chen xi tahu satu hal:
Langkah ini akan menuntunnya semakin dekat dengan kekuasaan, dan juga… dengan Xiao long, yang kini telah kembali ke istana atas panggilan kaisar.
Dan ketika jalan mereka bersilang lagi di ibu kota, bukan hanya takdir yang akan berubah tapi juga kebenaran tentang siapa sebenarnya Wanita Bulan itu.